PDA

View Full Version : Relativisme VS Toleransi


Pastur
18th November 2010, 10:04 AM
Salam Damai

Setelah topik2 "panas" yg keras dan sensitif karena membongkar "aib" Gereja, yg dituduhkan oleh pihak2 tertentu secara "terstruktur" dengan tendensi memojokkan Gereja Katolik (GK) hingga saat ini, sekarang kita akan mencoba membahas masalah yg lebih adem.

Di forum ini, saya pernah menjadi "terdakwa" atas 2 buah kasus:
"Musuh dalam selimut" bagi GK dan "Fanatik" akan GK.
Walaupun, bagi saya, "dakwaan" tersebut sangat aneh karena satu sama lain bertentangan! Seharusnya, apabila saya menjadi "musuh dalam selimut" bagi GK, semestinyalah bahwa saya bukan seorang yg fanatik, atau sebaliknya.

Mengapa sampai terjadi dakwaan semacam itu?
Kesimpulan saya adalah bahwa kita terjebak dalam pemahaman relativisme iman untuk menunjukkan toleransi kita.

Untuk itu, marilah kita mencoba melihat apa yg dikatakan Paus Yohanes Paulus II dan juga Kardinal Yoseph Ratzinger, sebelum beliau dipilih menggantikan pendahulunya tersebut.

Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 14 September 1998 mengumumkan secara resmi ensiklik kepausan: Fides et Ratio (Iman dan Akal Budi yang membahas hubungan antara iman dan akal budi.

Sri Paus percaya bahwa iman dan akal budi tidak hanya sepadan, namun penting bagi satu dengan yang lain. Iman tanpa akal budi, ia berargumen, akan menjurus pada ketakhyulan (superstisi). Akal budi tanpa iman akan menjurus pada paham Nihilisme dan Relativisme.


Sekarang kita lihat apa yg dikatakan Kardinal Yoseph Ratzinger, seperti ditulis oleh Rm. Dhesy Ramadhani SJ:

KARDINAL Joseph Ratzinger menjadi Paus ke-265 dan memilih nama Benediktus XVI. Sebelum konklaf dimulai, Ratzinger mengatakan bahwa satu bahaya besar bagi Gereja Katolik Roma adalah tersebarnya suatu "relativisme iman". Pernyataan tersebut merangkum inti keyakinan Ratzinger selama ini.

Pada tahun 1984 Vittorio Messori, seorang wartawan Italia, melakukan wawancara dengan Ratzinger. Dalam terjemahan bahasa Inggris, hasil wawancara tersebut diterbitkan dengan judul The Ratzinger Report: An Exclusive Interview on the State of the Church (1985). Salah satu pertanyaan kritis-atau mungkin lebih tepat dikatakan sebagai salah satu kekhawatiran di kalangan orang Katolik Roma-adalah bahwa keyakinan Ratzinger akan menghambat berkembangnya dialog antar-agama. Dalam kerangka pembicaraan tentang hubungan Gereja Katolik Roma dengan Gereja-gereja lain, ia mengatakan, "dialog dapat memperdalam dan memurnikan iman Katolik, tetapi tidak dapat mengubahnya dalam tataran esensinya yang sejati" (1985:155).

Dalam kesempatan yang sama Ratzinger juga menegaskan, "definisi-definisi jelas dari iman seseorang akan membantu semua pihak, termasuk partner dalam dialog" (1985:155). Dengan kata lain, dialog hanya bisa terjadi justru kalau masing- masing pihak sungguh meyakini imannya. Di sini terlihat kembali keyakinan Ratzinger bahwa dialog antar-agama tidak boleh jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan "relativisme iman".

Dalam konteks dialog antar-agama, sebuah sikap yang bisa muncul adalah sikap yang begitu saja menganggap bahwa semua iman itu sama. Sikap semacam ini mengidentikkan "toleransi" dengan "relativisme". Toleransi (Latin: tollerare, berarti ?mengangkat?) adalah sikap yang memperlihatkan kesediaan tulus untuk mengangkat, memikul, menopang bersama perbedaan yang ada antara satu agama dan agama lain. Relativisme adalah sikap yang yakin bahwa segala sesuatu adalah relatif; bahwa segala sesuatu ditentukan bukan oleh apa yang ada dalam dirinya sendiri, melainkan oleh hubungan (Latin: relatio) antara sesuatu dan sesuatu yang lain.

Relativisme iman adalah sikap yang menghayati iman bukan dengan keyakinan akan apa yang ada dalam kekayaan iman tertentu, melainkan dengan pemutlakan adanya hubungan dengan iman lain. Relativisme menomorduakan gerakan ke arah dalam karena terus menyibukkan diri dengan pandangan ke arah luar. Relativisme menghindari kejujuran untuk melihat ke-khas-an yang berbeda di dalam karena terus mencoba menemukan ke-umum-an yang sama di luar.

Sebuah dialog antar-agama yang sejati tidak mungkin ada tanpa sebuah keyakinan akan apa yang ada di dalam kekayaan iman tertentu. Dengan kata lain, relativisme iman, dalam bentuknya yang paling ekstrem, justru akan membawa orang pada sebuah keengganan, atau bahkan ketakutan, untuk berpegang pada komitmen imannya. Tanpa sebuah komitmen iman ke dalam, tidak mungkin seseorang bisa menopang bersama apa yang ada di luar. Relativisme iman, dengan demikian, justru merupakan musuh terbesar yang bisa menghambat terciptanya sebuah toleransi antar-agama yang sejati.


Sebuah uraian yg sangat lengkap sudah diungkapkan Paus Yohanes Paulus II dan Kardinal Yoseph Ratzinger, tentang bagaimana kita harus mendudukkan Iman yg benar dalam hubungannya dengan dialog dan toleransi kehidupan beragama.

Yang menjadi pertanyaan adalah:
Apakah Iman yg benar mendukung dialog dan toleransi kehidupan beragama?
Jawaban saya: Belum tentu!
Tetapi apabila pertanyaan tersebut diganti demikian:
Apakah Iman katolik yg benar mendukung dialog dan toleransi kehidupan beragama?
Jawaban saya: Ya!
Karena Ajaran GK yg benar tidak mendukung antitoleransi sekaligus juga tidak mendukung Relativisme Iman

Ajaran GK tentang diluar Gereja (katolik) tidak ada keselamatan (Extra Ecclesiam Nulla Salus) adalah salah satu dari Ajaran GK (yg sangat alkitabiah) yg mencerminkan anti-relativisme iman. (tidak akan saya bahas lebih lanjut di topik ini)
Ajaran Keselamatan ini tidak bertentangan dengan ajaran toleransi GK.

Dalam KS kita menemukan banyak hal ttg bagaimana kita harus bersikap kepada orang yg "berbeda", misalnya cerita tentang "Orang Samaria yg baik hati", dan yg lebih lagi adalah ajaran Yesus: Barang siapa berbuat bagi saudaraku yg paling hina ini (bukan seiman, sebangsa, etc) telah melakukan untuk Aku!

Ajaran Yesus ini secara lebih mendetail di ungkapkan oleh GK dalam konsili Vatikan II dengan diterbitkannya: Ajaran Sosial Gereja (ASG)

Saya memang tidak akan membahas lebih dalam ttg Ajaran Sosial Gereja atau Ajaran GK dari KS yg menyatakan toleransi secara lebih mendalam (silakan kalau memang ada yg ingin membahasnya, bisa juga di topik ini)
Tetapi yg akan saya utarakan adalah:
Bagi kita, umat katolik, akal budi dan toleransi mengharuskan adanya iman katolik yg benar, karena tanpa iman katolik yg benar akan terjerumus dalam "relativisme iman" yang dinyatakan sesat oleh GK.
Iman yg benar bukan hanya cukup dengan apa yg diungkapkan dalam credo: aku percaya tetapi juga ttg pemahaman yg benar akan Ajaran-Ajaran GK dan juga Sejarah GK yg telah berziarah di dunia ini lebih dari 2000 tahun.

Semoga hal ini membantu meningkatkan iman sekaligus toleransi kita sebagai umat Katolik!


Salam
Jebling