PDA

View Full Version : Misteri di balik merapi


tuyulsakti
22nd April 2012, 05:24 PM
Pada hari Rabu tanggal 13 Oktober 2010, YM Sultan Adji Sulaiman Raja Kutai Kertanegara ke 18 memerintah pada pertengahan abad 18, mengingatkan supaya segera melaksanakan perintah untuk ritual labuh ke puncak Gunung Merapi. Tak boleh mundur lagi. Batas akhir yang ditentukan adalah hari Jumat Legi, tanggal 15 Oktober 2010. Secara logika, pada tanggal 13 Oktober 2010 saat itu status Gunung Merapi sudah berada pada status siaga (satu tingkat di atas status waspada, satu tingkat di bawah status tertinggi awas), tak ada orang yang bersedia naik ke Merapi jika tak ingin mati konyol. Namun apa boleh buat, sudah merupakan dawuh (perintah) dari para leluhur agung, saya percaya 100% leluhur, tak ada perintah leluhur yang membuat celaka diri kita. Gaib pun tak pernah bohong. YM Sultan Sulaiman berkata,�laksanakan segera nak, tidak baik menunda perintah, karena akan melawan kodrat, jika Merapi kelamaan menahan letusan akan sangat berbahaya!. Apa yang kamu lakukan bukan untuk kepentingan dirimu sendiri, melainkan untuk kepentingan orang banyak, bangsa ini di waktu yad. Sendiko dawuh Yang Mulia, siap laksanakan segera pada hari Jumat Legi besok, demi lahirnya Satriyo Pambukaning Gapura. Kasihan rakyat sudah banyak yang menjadi korban.



Tampilnya satriyo baru, tentu membawa konsekuensi turunnya �satriyo� lama �di tengah jalan�. Musti bagaimana lagi, jika seorang �satriyo� sudah tidak disengkuyung oleh para leluhur besar dan para gaib bangsa ini, karena tiada menghargai kearifan lokal, tidak menghargai pusaka nusantara. Itu sama saja tidak berbakti kepada bangsa dan para leluhur besarnya sendiri. Alias menjadi generasi yang durhaka. Tentu saja akan selalu membawa musibah dan bencana berkepanjangan tiada berhenti. Ibarat seseorang yang sakit parah, sembuhnya kalau sudah mati. Maka, musibah dan bencana baru akan reda jika sang satriyo lama itu telah lengser keprabon. Dengan penuh maaf. Apa adanya terpaksa harus saya sampaikan.



Jumat Legi sore, ditemani 2 orang abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat kami naik ke puncak Merapi dalam cuaca hujan sangat lebat dan berkabut. Benar saja, gunung paling aktif di dunia itu seolah memberikan jeda tidak bergolak. Walau masih terasa saat tanah bergetar akibat gerakan magma dari dalam perut bumi. Kabar dari posko Merapi saat itu statusnya pun ternyata turun menjadi waspada. Gunung Merapi mirip dengan makhluk hidup, kali ini bagaikan anak kecil sedang merengek lalu tiba-tiba diam karena mendapat makanan kesukaannya. Selesai acara labuh, hingga Sabtu siang tanggal 16 Oktober tiba-tiba Merapi seperti mendapat komando, mulai bergolak lagi dengan 246 kali gempa vulkanik. Hari minggu statusnya naik kembali menjadi siaga, lalu seminggu kemudian statusnya naik menjadi awas. Perubahan status Merapi yang sangat cepat dan belum pernah terjadi selama ini.



MEMBANGUN SINERGI DENGAN KOSMOS



Sedikit set back membahas soal makna esensial ritual labuh. Ritual labuh (labuhan) atau larung sesaji bukan sekedar latah ikut-ikutan saja. Larung sesaji yang melibatkan ubo rampe dan tata cara adalah soal teknis saja. Lebih dari itu orang harus memahami hakekatnya. Yakni sebagai upaya manusia memahami dan menghormati alam semesta beserta seluruh makhluk penghuninya sebagai sesama ciptaan tuhan, derivasi kebijaksanaan alam semesta. Acara labuh sebagai salah satu wujud adanya kesadaran kosmos, yakni tanggungjawab manusia tanpa kecuali untuk selalu hamemayu hayuning bawana. Menjaga dan melestarikan alam semesta serta mengambil manfaat secara proporsional tanpa meninggalkan kerusakan. Kesadaran itu menjadikan kita sebagai sosok manusia kosmologis. Berkesadaran spiritual tinggi yang selalu selaras, sinergis dan harmonis dengan kodrat (hukum) alam semesta. Satriyo yang berjiwa kosmologis akan selalu mendatangkan berkah dan anugrah bagi lingkungan alam dan seluruh isinya. Berkah dan anugrah agung bagi keluarga, orang lain, dan masyarakat yang dipimpinnya.



Desa mawa cara, negara mawa tata. Setiap wilayah, atau lingkungan alam, memiliki tata dan cara masing-masing. Beda masyarakat, berbeda pula adat istiadat, tradisi, dan budayanya. Itulah makna kearifan lokal, yakni nilai luhur hasil interaksi manusia dengan lingkungan alamnya yang kemudian melahirkan kearifan dan kebijaksanaan. Sehingga di dalam nilai kearifan lokal (local wisdom) terkandung kesadaran akan jati diri suatu bangsa. �Jati diri� yang meliputi karakter geografi, geologi, dan karakter sosialnya. Bagi siapa yang lebih memahami �jati diri� tersebut, seseorang dapat bersikap lebih arif dan bijaksana dalam menjalani tata kosmos kehidupan ini. Alias menjadi manusia yang tunduk patuh, manembah kepada tuhan.



TIGA TITIK SENTRA SPIRITUAL



Merapi-Kraton-Laut Selatan merupakan tiga titik sentral dalam spiritual Jawa khususnya Jogjakarta yang merangkum makna AGNI-UDAKA-MARUTA (AUM). Merapi melambangkan unsur api atau agni. Merapi memiliki hakekat vertikal manembah kepada Yang Transenden. Sehingga Merapi bermakna sebagai jagad alit. Spiritual adalah urusan pribadi dalam jiwa masing-masing orang (mikrokosmos). Kraton adalah sentral atau pancer (guru sejati) yang meliputi pancer di dalam jagad alit (mikrokosmos) maupun pancer di dalam jagad ageng (makrokosmos). Laut Kidul adalah bermakna spiritual horisontal. Sedangkan Kunci gunung Merapi ialah pemegang amanat yang harus memiliki lakutama (budi pekerti luhur) sebagai penghubung antara jagad alit dengan jagad ageng. Dalam dirinya ada naar atau agni harus teratasi dengan nur atau cahyo sejati. Juru kunci bertanggungjawab menselarasakan antara perilaku alam dengan perilaku manusia. Oleh sebab itu jika juru kunci tidak mengenal alam dengan seluruh makhluk isinya akan berakibat fatal. Dapat terjadi disharmoni antara mikrokosmos dengan makrokosmos. Tentu saja kekuatan alam yang akan bekerja sesuai koridor keadilannya.



GAIB TAK PERNAH BOHONG



Jika ada yang bilang gaib dapat berubah-ubah, kamuflase, dengan target untuk mengecoh pemahaman manusia, itu bukanlah kesalahan gaib, melainkan kebodohan unsur �ke-aku-an� dalam diri manusia. Yang selalu dilimput oleh imajinasi dan ilusi belaka. Senin tanggal 25 Oktober 2010 kami siap berangkat ke Balikpapan. Sejak hari Sabtu maskapai mengirim sms pemberitahuan pesawat akan didelay selama 1,5 jam. Pada hari Senin sore kami check in, kemudian bayar airport tax, dan masuk ke boarding room. Menunggu pesawat yang akan membawa kami ke Balikpapan. Jam keberangkatan tinggal 15 menit lagi, boro-boro petugas bandara mengumumkan para penumpang segera naik pesawat. Info jam berapa pesawat pengangkut kami akan tiba di bandara saja tak ada kabarnya. Hari menjelang petang, kami mulai ragu untuk melanjutkan perjalanan.



Pada saat terasa bosen menunggu pesawat, datanglah YM Sultan Sulaiman,�..nak�batalkan saja keberangkatan ke Balikpapan. Jangan sanyang uangnya yang hangus. Para leluhur juga tidak memperbolehkan berangkat saat ini. Tunda lah sejenak nak ! YM Sultan memerintahkan supaya hari Selasa Pahing besok tgl 26 Oktober 2010 marak sowan (ziarah) ke pasarean agung Kotagede, sowan Panembahan Senopati karena akan diberikan �sesuatu�. Berarti musti membatalkan tiket pesawat. Sendiko�terpaksa bagasi saya ambil kembali, tiket pun ditukar untuk jadwal hari rabu besok.



Besoknya, hari Selasa Pahing tanggal 26 Oktober 2010, kami marak sowan ke Panembahan Senopati, Nyi Ageng Enis, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Kali ini, perintah langsung dari Panembahan Senopati, dan juga perintah dari YM Sultan Sulaiman supaya sore itu pula berangkat naik Merapi ke dusun Kinahrejo rumah Mbah Marijan untuk berbagai sembako, makanan, minuman, kepada para pengungsi di sana. Ternyata sinkron dengan kejadian malam Selasa Pahing, di mana beberapa hari sebelumnya hati ini merasa tak enak, risau, khawatir campur takut jika mengingat sosok Mbah Marijan. Ada apa gerangan? Hal ini dipertegas pada malam Selasa, di mana �badan alus� mbah Marijan datang menemuiistri saya, Mbah minta supaya dimintakan uang Pak Isran (Bupati Kutim) sebanyak Rp. 700,- Kami akan turuti keinginanmu Mbah!. Uang pun segera saya dapatkan langsung dari Pak Isran. Bukankah Rp. 700,- di depannya ada unsur angka 7 (Jawa; pitu) bermakna nyuwun pitulungan (minta pertolongan) dumateng Gusti Mahawisesa. Pertolongan yang berkelipatan ratusan kali. Entah..pertolongan dalam wujud dan makna yang bagaimana, menjadi teka-teki besar.



PERINGATAN KI JURUTAMAN



Selasa Pahing sore tanggal 26 Oktober 2010 setelah selesai kami marak sowan Panembahan Senopati di pasarean Agung Kotagede, jam 16.00 WIB kami berlima berangkat menuju rumah Mbah Marijan dengan tujuan untuk berbagi sembako, oleh-oleh makanan ringan, dan menyerahkan uang Rp.700,- sesuai permintaannya. Jogja masih cerah, tetapi begitu memasuki Jl Kaliurang KM 14 cuaca di sekitar Merapi berubah diselimuti kegelapan seolah menyembunyikan sesuatu. Pukul menunjukkan 16.30 WIB suasana terasa misterius dan mencekam, tiba-tiba menjadi sangat gelap seperti sehabis magrib. Lalulintas menuju Kaliurang macet, padat merayap. Sesampai di Umbulharjo Kec Hargobinangun, jalan menuju Mbah Marijan sudah ditutup rapat oleh aparat. Tak ada lagi kendaraan boleh naik. Tapi kami merasa ada beban batin yang sangat berat jika gagal naik bertemu Mbah Marijan. Lalu saya bilang ke aparat mau mengantarkan pesanan Mbah Marijan dan menjemput Mas Asih putra Mbah Marijan, dan lajulah kendaraan mendaki jalan aspal tanjakan terjal m



TERUSANYA SINI (http://bit.ly/bB4wOi)



nb kalo mau baca terusanya adf.lynya di skip aja,...ada di pojok kanan atas

</div>