vals
6th February 2012, 02:32 PM
Orang Muda Katolik (OMK) dan Liturgi
http://katolisitas.org/wp-content/uploads/2012/01/omk-liturgi-400x300.jpg
Prasangka
Dalam praktek, banyak kali muncul masalah pada relasi antara OMK dan liturgi (perayaan iman, ibadat). Di antara liturgi dan OMK seolah ada hubungan �enggan tapi rindu�. Di balik tema �liturgi dan orang muda�, masih bercokol prasangka laten baik terhadap Orang Muda Katolik (OMK), maupun terhadap Liturgi Gereja Katolik Roma. OMK seolah-olah suka hura-hura, semaunya sendiri, tidak bisa diatur dalam berliturgi. Sebaliknya, liturgi sering dipandang sebagai aturan sakral dan baku, seakan-akan jauh dari gelora kerinduan orang muda. Terhadap OMK, Tim Liturgi Paroki biasanya mengenakan frasa �OMK yang pragmatis, maunya serba lain�. Seakan-akan OMK diperlawankan dengan liturgi yang tak memberi ruang kebebasan ungkapan iman. Dari pihak OMK, ada pula prasangka, bahwa liturgi itu serba kaku.
Prasangka ini bisa dipahami, karena sifat umum orang muda yang masih dalam masa pertumbuhan yang pesat. Mereka sedang berkembang dalam dimensi psikologis, intelektual, seksual-hormonal, emosi, peran sosial dan iman. OMK memang sedang mengalami transformasi menuju kepribadian yang integral. Rentang masa muda yang panjang (usia 13-35 th) adalah masa distingtif, saat mencari, mempertanyakan, belajar dan mengambil keputusan. Kita yang pernah menjalani masa muda tentu merasakan bahwa saat itu merupakan saat yang sukar, menantang sekaligus menggairahkan karena penemuan-penemuan baru. Sering kali kita ingin sesuatu yang �lain dari pada yang lain� pada masa muda. Sedangkan di pihak lain, Liturgi Gereja Katolik Roma, sudah berkembang dalam 20 abad dan sering dipandang sebagai peraturan yang kaku alih-alih sebagai perayaan yang membebaskan. Padahal, potret berliturgi oleh OMK tak selamanya demikian.
Prasangka dan kecurigaan yang digeneralisasi begitu saja terhadap OMK itu tentu tidak akan memecahkan persoalan yang sering kali muncul dalam praktek penghayatan OMK terhadap liturgi. Tidak bijaksana, generalisasi mengenai OMK yang �pragmatis dan maunya serba lain� itu. Liturgi Gereja pun tidak sepantasnya diperlawankan dengan gejolak dan selera orang muda. Kenyataannya, bahwa banyak orang terpanggil menjadi kudus pada masa muda, dan panggilan kekudusan itu banyak yang bermula dari penghayatan liturgi. Kita pun tahu, Ekaristi Kaum Muda (EKM) baik yang diselenggarakan oleh paroki, maupun oleh Panitia World Youth Day yang mendatangkan Sri Paus sebagai pemimpin liturgi, selalu dipenuhi OMK dengan kerinduan mendalam. Bahkan, kelompok misa bahasa Latin yang terkesan �penuh aturan ketat� ada yang digerakkan oleh orang muda.
Memerlukan Dukungan
Seperti pada umumnya orang Katolik Indonesia, tua maupun muda, penghayatan OMK akan liturgi sebenarnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman mereka akan liturgi itu sendiri. Bahwa praktek liturgi OMK kadang-kadang membuat para penanggungjawab liturgi mengerutkan kening, bagi saya lumrah saja dalam konteks pembelajaran. Gelegak kreativitas masa muda sekaligus tingkat pengetahuan dan pengalaman OMK akan liturgi haruslah bisa dipahami dan didukung. Tak usahlah daya kreatif mereka dalam ber-liturgi dihakimi dengan sewenang-wenang seperti yang sering terdengar dari keluhan mereka. Gara-gara maunya kreatif, mereka �dikecam secara liturgis�.
Sepanjang pengalaman para pendamping, tak ada OMK yang menjadi buruk karena mau kreatif dalam merencanakan dan mengolah liturgi. Justeru sebaliknya, para aktivis kelompok-kelompok OMK yang mau proaktif , mau belajar, mau secara jujur mengusulkan berbagai kreasi dalam liturgi, dan karenanya berani mencari dan melakukan yang benar, berani mengakui kesalahan bila terjadi dan berani memperbaikinya) terbukti menjadi aktivis dengan penghayatan liturgi yang nyata dalam perilaku. Lagipula, jika OMK membuat kesalahan dalam ber-liturgi, ternyata kesalahan itu tidaklah fatal, normal saja. Kesalahan mereka pun kadang-kadang karena pengaruh kelompok kategorial yang lebih senior. Justeru kelompok-kelompok kategorial yang beranggotakan orang-orang tidak muda lagi lah yang sering bikin kesalahan fatal, dan keras kepala, bukan? Sebaliknya, biasanya dengan taat OMK mau belajar dari kesalahan. Mereka tetap gembira dan kreatif, asalkan pendamping dengan empati mau setia mendampingi, menjelaskan makna simbol dan hakikat liturgi yang kaya makna itu kepada mereka, memetakan posisi kelompok dalam lebensrauung Gereja lokal, dsb. Saya yakin, dalam kerja sama yang baik dengan pendamping itu dapatlah dihindarkan kesalahan-kesalahan fatal yang tidak perlu terjadi.
Sebenarnyalah di antara Liturgi dan OMK ada hubungan batin yang saling mendukung. Liturgi menjadi ongoing formation bagi OMK. Sedangkan daya kreativitas dan gelora kemudaan OMK membuat liturgi dirayakan dengan bersemangat. Liturgi tanpa keterlibatan orang muda, merupakan tanda nyata kematian Gereja.
Liturgi Kelompok OMK
Ketika naskah ini diketik (Mei 2008-pen), kantor Youth Desk � FABC di Manila sedang mengolah survei mengenai penghayatan OMK akan Liturgi Ekaristi. Munculnya jajak pendapat untuk OMK mengenai Ekaristi ini didasari praduga bahwa kerinduan OMK akan liturgi berbanding lurus dengan pengetahuan dan pengalaman mereka ber-liturgi. Tema Liturgi Ekaristi menjadi pembahasan dalam Asian Youth Daytahun 2009 di Manila. Mengapa tema ini diagendakan? Saya menduga, di satu sisi ada kecemasan kalau-kalau Liturgi �ditinggalkan� alias �tidak laku� lagi di kalangan OMK. Liturgi disangka tidak mampu menjawab kerinduan OMK di tengah arus percepatan globalisasi yang mengasingkan OMK. Di sisi lain ada pula kecemasan kalau-kalau OMK di berbagai kelompok kategorial yang masih mau aktif ber-liturgi mulai �meninggalkan� kaidah liturgi, alias �mengikuti maunya sendiri�. Komunitas-Komunitas OMK lebih mementingkan �rasa kepuasan kelompok� dalam berliturgi dibandingkan �rasa universal� Gereja. Dua macam kecemasan itu bermuara pada dua pertanyaan atas satu kenyataan liturgi: 1. Bagaimanakah liturgi menjawab kerinduan OMK akan perasaan ditemani oleh
�Yang Ilahi� di tengah arus zaman dan perubahan selera ini? 2. Bagaimanakan OMK menyadari tanggungjawab dan penghayatannya akan liturgi yang bergairah karena setia pada aturan Gereja?
Saya menemukan dua prasyarat atas jawaban pertanyaan di atas setelah mengamati beberapa komunitas OMK. Prasyarat itu adalah: 1. Jika mereka mendapatkan komunitas yang digembalakan dengan semangat berbagi dan mereka dipercaya dalam kegiatan komunitas. 2. Jika ungkapan kemudaan mereka diberi ruang dan waktu yang cukup dalam liturgi komunitas.
Pada beberapa kelompok OMK, liturgi mereka hayati sepenuh hati. Tampaknya mereka �puas� dan selalu rindu dengan liturgi komunitas mereka. Sebabnya, liturgi tak mereka lepaskan dari kehidupan komunitas kategorial mereka, dan bahwa komunitas memberi ruang dan waktu bagi karakter kemudaan mereka dalam liturgi. Ada �gembala� (pendamping/ moderator) yang secara tetap mempercayai mereka dalam kegiatan komunitas. Sang pendamping ini (imam dan biarawati/awam) mendampingi liturgi mereka dengan tak bosan mengajarkan prinsip-prinsip liturgi sesuai maksud Gereja.
Beberapa kelompok OMK itu adalah: Komunitas Sant� Egidio (SE), beberapa komunitas Persekutuan Doa Karismatik Katolik (PDKK) muda-mudi, beberapa sel Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM) muda-mudi; beberapa presidium Legio Mariae (LM) muda-mudi, kelompok Imago Dei (ID), dan kelompok Doa Taize (DT). Mereka memiliki kesamaan pengalaman, bahwa perjumpaan dengan Allah dalam doa, teristimewa liturgi merupakan puncak dan sumber spiritualitas dan kegiatan komunitas.
http://katolisitas.org/wp-content/uploads/2012/01/omk-liturgi-400x300.jpg
Prasangka
Dalam praktek, banyak kali muncul masalah pada relasi antara OMK dan liturgi (perayaan iman, ibadat). Di antara liturgi dan OMK seolah ada hubungan �enggan tapi rindu�. Di balik tema �liturgi dan orang muda�, masih bercokol prasangka laten baik terhadap Orang Muda Katolik (OMK), maupun terhadap Liturgi Gereja Katolik Roma. OMK seolah-olah suka hura-hura, semaunya sendiri, tidak bisa diatur dalam berliturgi. Sebaliknya, liturgi sering dipandang sebagai aturan sakral dan baku, seakan-akan jauh dari gelora kerinduan orang muda. Terhadap OMK, Tim Liturgi Paroki biasanya mengenakan frasa �OMK yang pragmatis, maunya serba lain�. Seakan-akan OMK diperlawankan dengan liturgi yang tak memberi ruang kebebasan ungkapan iman. Dari pihak OMK, ada pula prasangka, bahwa liturgi itu serba kaku.
Prasangka ini bisa dipahami, karena sifat umum orang muda yang masih dalam masa pertumbuhan yang pesat. Mereka sedang berkembang dalam dimensi psikologis, intelektual, seksual-hormonal, emosi, peran sosial dan iman. OMK memang sedang mengalami transformasi menuju kepribadian yang integral. Rentang masa muda yang panjang (usia 13-35 th) adalah masa distingtif, saat mencari, mempertanyakan, belajar dan mengambil keputusan. Kita yang pernah menjalani masa muda tentu merasakan bahwa saat itu merupakan saat yang sukar, menantang sekaligus menggairahkan karena penemuan-penemuan baru. Sering kali kita ingin sesuatu yang �lain dari pada yang lain� pada masa muda. Sedangkan di pihak lain, Liturgi Gereja Katolik Roma, sudah berkembang dalam 20 abad dan sering dipandang sebagai peraturan yang kaku alih-alih sebagai perayaan yang membebaskan. Padahal, potret berliturgi oleh OMK tak selamanya demikian.
Prasangka dan kecurigaan yang digeneralisasi begitu saja terhadap OMK itu tentu tidak akan memecahkan persoalan yang sering kali muncul dalam praktek penghayatan OMK terhadap liturgi. Tidak bijaksana, generalisasi mengenai OMK yang �pragmatis dan maunya serba lain� itu. Liturgi Gereja pun tidak sepantasnya diperlawankan dengan gejolak dan selera orang muda. Kenyataannya, bahwa banyak orang terpanggil menjadi kudus pada masa muda, dan panggilan kekudusan itu banyak yang bermula dari penghayatan liturgi. Kita pun tahu, Ekaristi Kaum Muda (EKM) baik yang diselenggarakan oleh paroki, maupun oleh Panitia World Youth Day yang mendatangkan Sri Paus sebagai pemimpin liturgi, selalu dipenuhi OMK dengan kerinduan mendalam. Bahkan, kelompok misa bahasa Latin yang terkesan �penuh aturan ketat� ada yang digerakkan oleh orang muda.
Memerlukan Dukungan
Seperti pada umumnya orang Katolik Indonesia, tua maupun muda, penghayatan OMK akan liturgi sebenarnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman mereka akan liturgi itu sendiri. Bahwa praktek liturgi OMK kadang-kadang membuat para penanggungjawab liturgi mengerutkan kening, bagi saya lumrah saja dalam konteks pembelajaran. Gelegak kreativitas masa muda sekaligus tingkat pengetahuan dan pengalaman OMK akan liturgi haruslah bisa dipahami dan didukung. Tak usahlah daya kreatif mereka dalam ber-liturgi dihakimi dengan sewenang-wenang seperti yang sering terdengar dari keluhan mereka. Gara-gara maunya kreatif, mereka �dikecam secara liturgis�.
Sepanjang pengalaman para pendamping, tak ada OMK yang menjadi buruk karena mau kreatif dalam merencanakan dan mengolah liturgi. Justeru sebaliknya, para aktivis kelompok-kelompok OMK yang mau proaktif , mau belajar, mau secara jujur mengusulkan berbagai kreasi dalam liturgi, dan karenanya berani mencari dan melakukan yang benar, berani mengakui kesalahan bila terjadi dan berani memperbaikinya) terbukti menjadi aktivis dengan penghayatan liturgi yang nyata dalam perilaku. Lagipula, jika OMK membuat kesalahan dalam ber-liturgi, ternyata kesalahan itu tidaklah fatal, normal saja. Kesalahan mereka pun kadang-kadang karena pengaruh kelompok kategorial yang lebih senior. Justeru kelompok-kelompok kategorial yang beranggotakan orang-orang tidak muda lagi lah yang sering bikin kesalahan fatal, dan keras kepala, bukan? Sebaliknya, biasanya dengan taat OMK mau belajar dari kesalahan. Mereka tetap gembira dan kreatif, asalkan pendamping dengan empati mau setia mendampingi, menjelaskan makna simbol dan hakikat liturgi yang kaya makna itu kepada mereka, memetakan posisi kelompok dalam lebensrauung Gereja lokal, dsb. Saya yakin, dalam kerja sama yang baik dengan pendamping itu dapatlah dihindarkan kesalahan-kesalahan fatal yang tidak perlu terjadi.
Sebenarnyalah di antara Liturgi dan OMK ada hubungan batin yang saling mendukung. Liturgi menjadi ongoing formation bagi OMK. Sedangkan daya kreativitas dan gelora kemudaan OMK membuat liturgi dirayakan dengan bersemangat. Liturgi tanpa keterlibatan orang muda, merupakan tanda nyata kematian Gereja.
Liturgi Kelompok OMK
Ketika naskah ini diketik (Mei 2008-pen), kantor Youth Desk � FABC di Manila sedang mengolah survei mengenai penghayatan OMK akan Liturgi Ekaristi. Munculnya jajak pendapat untuk OMK mengenai Ekaristi ini didasari praduga bahwa kerinduan OMK akan liturgi berbanding lurus dengan pengetahuan dan pengalaman mereka ber-liturgi. Tema Liturgi Ekaristi menjadi pembahasan dalam Asian Youth Daytahun 2009 di Manila. Mengapa tema ini diagendakan? Saya menduga, di satu sisi ada kecemasan kalau-kalau Liturgi �ditinggalkan� alias �tidak laku� lagi di kalangan OMK. Liturgi disangka tidak mampu menjawab kerinduan OMK di tengah arus percepatan globalisasi yang mengasingkan OMK. Di sisi lain ada pula kecemasan kalau-kalau OMK di berbagai kelompok kategorial yang masih mau aktif ber-liturgi mulai �meninggalkan� kaidah liturgi, alias �mengikuti maunya sendiri�. Komunitas-Komunitas OMK lebih mementingkan �rasa kepuasan kelompok� dalam berliturgi dibandingkan �rasa universal� Gereja. Dua macam kecemasan itu bermuara pada dua pertanyaan atas satu kenyataan liturgi: 1. Bagaimanakah liturgi menjawab kerinduan OMK akan perasaan ditemani oleh
�Yang Ilahi� di tengah arus zaman dan perubahan selera ini? 2. Bagaimanakan OMK menyadari tanggungjawab dan penghayatannya akan liturgi yang bergairah karena setia pada aturan Gereja?
Saya menemukan dua prasyarat atas jawaban pertanyaan di atas setelah mengamati beberapa komunitas OMK. Prasyarat itu adalah: 1. Jika mereka mendapatkan komunitas yang digembalakan dengan semangat berbagi dan mereka dipercaya dalam kegiatan komunitas. 2. Jika ungkapan kemudaan mereka diberi ruang dan waktu yang cukup dalam liturgi komunitas.
Pada beberapa kelompok OMK, liturgi mereka hayati sepenuh hati. Tampaknya mereka �puas� dan selalu rindu dengan liturgi komunitas mereka. Sebabnya, liturgi tak mereka lepaskan dari kehidupan komunitas kategorial mereka, dan bahwa komunitas memberi ruang dan waktu bagi karakter kemudaan mereka dalam liturgi. Ada �gembala� (pendamping/ moderator) yang secara tetap mempercayai mereka dalam kegiatan komunitas. Sang pendamping ini (imam dan biarawati/awam) mendampingi liturgi mereka dengan tak bosan mengajarkan prinsip-prinsip liturgi sesuai maksud Gereja.
Beberapa kelompok OMK itu adalah: Komunitas Sant� Egidio (SE), beberapa komunitas Persekutuan Doa Karismatik Katolik (PDKK) muda-mudi, beberapa sel Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM) muda-mudi; beberapa presidium Legio Mariae (LM) muda-mudi, kelompok Imago Dei (ID), dan kelompok Doa Taize (DT). Mereka memiliki kesamaan pengalaman, bahwa perjumpaan dengan Allah dalam doa, teristimewa liturgi merupakan puncak dan sumber spiritualitas dan kegiatan komunitas.