dionless
5th September 2011, 09:33 AM
Ndan ane nemu artikel bagus nih, monggo di simak & jangan lupa ningalin komen ya
Hari Raya Idul Fitri lalu pemimpin kami sangatlah sibuk. Sebelum Idul Fitri ia melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya untuk memantau arus mudik. Pada saat Idul Fitri dan beberapa hari kemudian, ia sibuk mengunjungi rakyatnya sembari bersilaturahim. Pemimpin kami itu, biasa dipanggil Pak Elbeje (singkatan dari nama Langit Biru Jagatraya), berbeda dengan para pemimpin lainnya. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di lapangan ketimbang di istana nan megah dengan ruangan berpendingin. Ia menikmati hawa panas di jalanan. Ia tak peduli tetesan keringat membasahi tubuhnya. Semua itu demi memfungsikan inderanya; indera seorang pemimpin.
Pak Elbeje beranggapan indera pemimpin itu tak boleh dibiarkan tumpul. Telinga harus dilatih mendengarkan aspirasi rakyat. Mata senantiasa digunakan melihat kondisi rakyatnya. Pemimpin ideal digambarkan mampu mendengar dan melihat sepanjang waktu. Ia mendengarkan apa yang dikeluhkan rakyatnya, dan melihat peristiwa yang menghimpit rakyatnya. Tatkala fungsi pendengaran dan penglihatan ini tetap peka maka pemimpin itu akan segera bertindak mengambil solusinya. Sebaliknya pemimpin yang tidak lagi mendengar dan melihat membuat kesulitan rakyat dibiarkan berlarut-larut.
Oleh sebab itu, Pak Elbeje ingin mendengarkan sendiri tanpa lewat orang lain. Ingin pula melihat langsung tanpa melalui cerita orang-orang di sekitarnya. Inilah yang membuatnya terlihat sangat sibuk dan jarang di istananya.
Tatkala melihat kesibukan mudik di stasiun, Pak Elbeje mengaku trenyuh saat melihat seorang bocah harus berhimpit-himpitan masuk ke dalam kereta api. Begitupun saat berada di jalan raya, Pak Elbeje kembali dibuat trenyuh ketika seorang anak kecil mengenakan helm ukuran besar harus digencet ayah ibunya di atas sadel motor. Praktis si anak harus berbagi sadel itu dengan ayahnya, ibunya dan dus di bagian belakang. Kondisi tak nyaman itu dialami berjam-jam sampai tujuan. Lebih mengenaskan lagi ketika melihat pengemudi motor yang terkapar di aspal karena "disenggol" sebuah mobil pemudik lainnya. Atas beberapa peristiwa mudik yang dilihatnya itu, Pak Elbeje hanya bergumam, "Maafkan pemimpinmu ini..."
Hal-hal tragis juga didengar dan dilihat oleh Pak Elbeje ketika sedang bersilaturahim dari rumah ke rumah. Betapa tidak tragis, ketika umat lainnya sedang berlebaran dengan ceria, warga di sebuah kawasan justru bersedih karena rumah mereka dilalap api. Di kawasan lain, warga berebut air bersih karena pasokan berkurang gara-gara tanggul jebol. Belum lagi ketika menemukan seorang nenek tergolek lesu di rumah kartonnya yang dibangun di belakang gedung bertingkat. Pak Elbeje menyadari betapa nelangsa jika berlebaran dalam kondisi miskin, dan lagi-lagi ia bergumam, "Maafkan pemimpinmu..."
Kasus-kasus yag ditemukan Pak Elbeje ini acap disebut sebagai ketimpangan keadilan sosial. Pak Elbeje menyadari bukan soal mudah untuk menegakkan keadilan sosial bagi rakyatnya. Apa tolok ukur rakyat sudah menikmati keadilan sosial ini? Banyak pengamat, aneka versi. Tetapi ada baiknya mencuplik satu versi saja yang bisa mewakili makna keadilan sosial dimaksud. Bahwa keadilan sosial terpenuhi bilamana hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dan hak atas pelayanan kesehatan sudah tercapai.
Dari tolok ukur itu kita bisa tahu bahwa keadilan sosial tidak bisa dicapai dengan upaya individual. Pelaksanaan keadilan sosial sangat tergantung struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik maupun budaya. Bicara soal struktur masyarakat maka akan terlihat peran seorang pemimpin. Bagaimana pemimpin bisa membangun struktur masyarakat yang mapan tentu saja tergantung kepada kepiawaian memimpin. Inilah alasan mengapa Pak Elbeje harus meminta maaf kepada rakyatnya manakala masih dijumpai ketimpangan keadilan sosial dimaksud. Pak Elbeje merasa ia ikut bersalah lantaran rakyatnya belum menikmati keadilan sosial itu.
Berdasarkan rasa bersalah itu, Pak Elbeje ingin sekali mendatangi rakyatnya yang miskin, rakyatnya yang termarjinalkan, rakyatnya yang acap terlupakan, dan meminta maaf atas kelalaiannya sebagai pemimpin. Namun rakyatnya sangatlah banyak, dan terlalu komplek problematikanya sehingga keinginan itu belum terpenuhi semuanya.
Jika sudah begitu, Pak Elbeje kembali duduk termenung di ruang kerjanya sembari memikirkan solusi buat rakyatnya. Kadang-kadang ia menghidupkan televisi untuk sekadar menonton berita. Dan betapa ia terkejut ketika menonton tayangan berita yang menginformasikan ribuan rakyat di sebuah negeri rela antre demi bisa meminta maaf kepada pemimpinnya. Presenter televisi menyebutnya "open house". Dalam "open house" itu sang pemimpin mengumbar senyum sambil menerima uluran tangan rakyatnya, seolah-olah sang pemimpin sedang memaafkan rakyatnya.
Pak Elbeje jadi berpikir, salah apakah rakyat itu sampai mendatangi rumah pemimpinnya untuk meminta maaf? Enak juga jadi pemimpin macam itu tak perlu turun meminta maaf kepada rakyatnya. Logika Pak Elbeje berbeda dengan logika pemimpin di negeri itu, bahwa pemimpin tak pernah bersalah. Maka, rakyatlah yang "sungkem" kepada pemimpin. Pak Elbeje pun bertanya-tanya, kemanakah nurani pemimpin di negeri itu? Belum menemukan jawaban, Pak Elbeje tertidur karena lelah memikirkan rakyatnya. (*)
Toto Suparto
Esais, e-mail: [email protected]
Sumber (http://mbayuisa.blogspot.com/2011/09/maafkan-pemimpinmu.html)
Hari Raya Idul Fitri lalu pemimpin kami sangatlah sibuk. Sebelum Idul Fitri ia melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya untuk memantau arus mudik. Pada saat Idul Fitri dan beberapa hari kemudian, ia sibuk mengunjungi rakyatnya sembari bersilaturahim. Pemimpin kami itu, biasa dipanggil Pak Elbeje (singkatan dari nama Langit Biru Jagatraya), berbeda dengan para pemimpin lainnya. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di lapangan ketimbang di istana nan megah dengan ruangan berpendingin. Ia menikmati hawa panas di jalanan. Ia tak peduli tetesan keringat membasahi tubuhnya. Semua itu demi memfungsikan inderanya; indera seorang pemimpin.
Pak Elbeje beranggapan indera pemimpin itu tak boleh dibiarkan tumpul. Telinga harus dilatih mendengarkan aspirasi rakyat. Mata senantiasa digunakan melihat kondisi rakyatnya. Pemimpin ideal digambarkan mampu mendengar dan melihat sepanjang waktu. Ia mendengarkan apa yang dikeluhkan rakyatnya, dan melihat peristiwa yang menghimpit rakyatnya. Tatkala fungsi pendengaran dan penglihatan ini tetap peka maka pemimpin itu akan segera bertindak mengambil solusinya. Sebaliknya pemimpin yang tidak lagi mendengar dan melihat membuat kesulitan rakyat dibiarkan berlarut-larut.
Oleh sebab itu, Pak Elbeje ingin mendengarkan sendiri tanpa lewat orang lain. Ingin pula melihat langsung tanpa melalui cerita orang-orang di sekitarnya. Inilah yang membuatnya terlihat sangat sibuk dan jarang di istananya.
Tatkala melihat kesibukan mudik di stasiun, Pak Elbeje mengaku trenyuh saat melihat seorang bocah harus berhimpit-himpitan masuk ke dalam kereta api. Begitupun saat berada di jalan raya, Pak Elbeje kembali dibuat trenyuh ketika seorang anak kecil mengenakan helm ukuran besar harus digencet ayah ibunya di atas sadel motor. Praktis si anak harus berbagi sadel itu dengan ayahnya, ibunya dan dus di bagian belakang. Kondisi tak nyaman itu dialami berjam-jam sampai tujuan. Lebih mengenaskan lagi ketika melihat pengemudi motor yang terkapar di aspal karena "disenggol" sebuah mobil pemudik lainnya. Atas beberapa peristiwa mudik yang dilihatnya itu, Pak Elbeje hanya bergumam, "Maafkan pemimpinmu ini..."
Hal-hal tragis juga didengar dan dilihat oleh Pak Elbeje ketika sedang bersilaturahim dari rumah ke rumah. Betapa tidak tragis, ketika umat lainnya sedang berlebaran dengan ceria, warga di sebuah kawasan justru bersedih karena rumah mereka dilalap api. Di kawasan lain, warga berebut air bersih karena pasokan berkurang gara-gara tanggul jebol. Belum lagi ketika menemukan seorang nenek tergolek lesu di rumah kartonnya yang dibangun di belakang gedung bertingkat. Pak Elbeje menyadari betapa nelangsa jika berlebaran dalam kondisi miskin, dan lagi-lagi ia bergumam, "Maafkan pemimpinmu..."
Kasus-kasus yag ditemukan Pak Elbeje ini acap disebut sebagai ketimpangan keadilan sosial. Pak Elbeje menyadari bukan soal mudah untuk menegakkan keadilan sosial bagi rakyatnya. Apa tolok ukur rakyat sudah menikmati keadilan sosial ini? Banyak pengamat, aneka versi. Tetapi ada baiknya mencuplik satu versi saja yang bisa mewakili makna keadilan sosial dimaksud. Bahwa keadilan sosial terpenuhi bilamana hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dan hak atas pelayanan kesehatan sudah tercapai.
Dari tolok ukur itu kita bisa tahu bahwa keadilan sosial tidak bisa dicapai dengan upaya individual. Pelaksanaan keadilan sosial sangat tergantung struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik maupun budaya. Bicara soal struktur masyarakat maka akan terlihat peran seorang pemimpin. Bagaimana pemimpin bisa membangun struktur masyarakat yang mapan tentu saja tergantung kepada kepiawaian memimpin. Inilah alasan mengapa Pak Elbeje harus meminta maaf kepada rakyatnya manakala masih dijumpai ketimpangan keadilan sosial dimaksud. Pak Elbeje merasa ia ikut bersalah lantaran rakyatnya belum menikmati keadilan sosial itu.
Berdasarkan rasa bersalah itu, Pak Elbeje ingin sekali mendatangi rakyatnya yang miskin, rakyatnya yang termarjinalkan, rakyatnya yang acap terlupakan, dan meminta maaf atas kelalaiannya sebagai pemimpin. Namun rakyatnya sangatlah banyak, dan terlalu komplek problematikanya sehingga keinginan itu belum terpenuhi semuanya.
Jika sudah begitu, Pak Elbeje kembali duduk termenung di ruang kerjanya sembari memikirkan solusi buat rakyatnya. Kadang-kadang ia menghidupkan televisi untuk sekadar menonton berita. Dan betapa ia terkejut ketika menonton tayangan berita yang menginformasikan ribuan rakyat di sebuah negeri rela antre demi bisa meminta maaf kepada pemimpinnya. Presenter televisi menyebutnya "open house". Dalam "open house" itu sang pemimpin mengumbar senyum sambil menerima uluran tangan rakyatnya, seolah-olah sang pemimpin sedang memaafkan rakyatnya.
Pak Elbeje jadi berpikir, salah apakah rakyat itu sampai mendatangi rumah pemimpinnya untuk meminta maaf? Enak juga jadi pemimpin macam itu tak perlu turun meminta maaf kepada rakyatnya. Logika Pak Elbeje berbeda dengan logika pemimpin di negeri itu, bahwa pemimpin tak pernah bersalah. Maka, rakyatlah yang "sungkem" kepada pemimpin. Pak Elbeje pun bertanya-tanya, kemanakah nurani pemimpin di negeri itu? Belum menemukan jawaban, Pak Elbeje tertidur karena lelah memikirkan rakyatnya. (*)
Toto Suparto
Esais, e-mail: [email protected]
Sumber (http://mbayuisa.blogspot.com/2011/09/maafkan-pemimpinmu.html)