GadoGado
18th September 2010, 12:27 PM
http://i83.photobucket.com/albums/j309/aegis-1/bc4284f8.jpg
Mengamati Kebiasaan Menjelang Tidur
Salah satu hal yang kerap terabaikan adalah kebiasaan menjelang tidur, terutama pada anak-anak. Padahal, kebiasaan ini bila tidak diwaspadai bisa berlanjut hingga dewasa, bahkan dapat menjadi tanda awal autis.
Dalam sebuah pertemuan, seorang ibu muda mengeluh anak perempuannya yang berusia dua tahun belakangan ini terlihat suka memasukkan ibu jari ke mulut. Ini memang bukan kebiasaan yang benar-benar baru. Kata si ibu, sejak anaknya berusia sekitar delapan bulan, saat menjelang tidur anak itu suka memasukkan dan mengisap-isap ibu jarinya.
"Saya pikir itu kebiasaan mengisap botol susu yang keterusan saja. Jadi, saya biarkan. Toh dia tidak rewel, enggak bahaya, dan enggak mengganggu pertumbuhan," ujar Risa (30) yang tinggal di Cinere, Depok.
Namun, belakangan ini kebiasaan putrinya itu berlanjut. Dia tak cuma mengisap jempol saat menjelang tidur, tetapi ketika bermain, saat menonton televisi, atau menikmati perjalanan dalam mobil pun jempol tangan itu masuk ke mulut. Risa khawatir kebiasaan ini akan semakin menjadi-jadi.
"Di mana saja, begitu ada kesempatan, dia mengisap jempol. Orang-orang bilang ini tidak baik karena akan membuat giginya tonggos. Tetapi, kalau saya larang dia menangis keras-keras. Saya enggak tahan dengar tangisnya, jadi saya biarkan saja," cerita Risa bernada frustrasi.
Kebiasaan serupa hingga saat ini dilakukan Rahma (8), murid kelas III SD yang tinggal di Duren Sawit, Jakarta Timur. Dia tak bisa tidur kalau tidak mengisap jempol. Awalnya kebiasaan itu tak menjadi masalah, namun ketika ada temannya yang tahu kebiasaan Rahma, dia kerap menjadi bahan olok-olok.
Rupanya tak hanya Rahma yang punya kebiasaan khas menjelang tidur. Adiknya, Sari (5), punya kebiasaan mengelus-elus jari kelingking ibunya. Oleh karena itulah, masalah "besar" akan muncul kalau Sari hendak tidur, sementara ibunya tak berada di sampingnya.
Ini terjadi saat kedua kakak-beradik itu menginap di rumah sahabat keluarga mereka. Ketika tiba saatnya tidur, Sari rewel. Ibu pemilik rumah berusaha menenangkannya dengan berbagai cara, tetapi tak berhasil. Ternyata dia kehilangan kelingking ibunya. Sesuatu yang sulit digantikan dengan hal lain, dan tentu saja merepotkan pemilik rumah.
Kebiasaan serupa juga dilakukan Ine (8) sejak bayi hingga kini. Murid kelas III SD di Jakarta Timur ini terbiasa berangkat tidur sambil mengelus-elus bagian siku tangan ibunya.
"Sambil tidur, tangannya yang satu pegang botol susu, dan tangan satu lagi mengusap-usap siku tangan saya. Kadang-kadang tangannya naik sampai pundak, dan enggak jarang juga dia milih mengusap-usap kuping saya. Geliii banget rasanya," cerita Icu (38), ibu Ine yang bekerja di perusahaan asuransi.
Berlanjut sampai dewasa
Kebiasaan yang awalnya dilakukan anak-anak menjelang tidur itu pada sebagian anak kemudian dikerjakan pula pada saat lain. Biasanya, ini karena tak adanya larangan tegas dari orangtua.
Airin (37), ibu dua anak usia delapan dan dua tahun, bercerita, ketika anak pertamanya menunjukkan tanda-tanda senang mengusap-usap ujung bantal menjelang tidur, langsung ditegur dengan keras. Ini berkaitan dengan pengalaman masa kecil Airin sendiri.
"Waktu SD, saya punya teman yang suka mengisap jempol. Kalau lagi main bareng, dia ngisap jempol sampai basah dan berkerut-kerut. Saya jijik dan malas main sama teman yang satu itu. Saya enggak mau anak saya nanti dijauhi teman karena punya kebiasaan aneh seperti itu," katanya.
Kebiasaan seperti mengisap jari, mengelus-elus suatu benda seperti bantal atau guling, menggoyang-goyangkan kaki, atau mencium-cium boneka, biasanya diawali sebagai pengantar tidur. Lama-kelamaan hal itu dapat berlanjut pada kegiatan lain, yang tak jarang melibatkan orang di luar keluarga inti.
Bahkan, seperti dialami Mella (27) yang tinggal di Jatinegara, Jakarta Timur, kebiasaan masa kecil itu berlanjut hingga kini, sampai dewasa dan telah menikah. Awalnya, saat Mella masih kecil, dia suka mengelus-elus bordir yang menghiasi celana dalam. Ibunya mencoba memindahkan kebiasaannya itu dengan membuat sarung bantal berbordir.
Maka, kebiasaan Mella mengelus-elus motif bordir pun berpindah pada bantal. Oleh karena selalu tersedia bantal berbordir, dan tak ada yang keberatan, maka kebiasaan Mella itu berlanjut.
Mella beruntung karena suaminya tak keberatan dengan kebiasaan tersebut. Ketika mereka menikah, untuk ranjang pengantin sengaja disediakan bantal dengan banyak bordir.
Meski tak lagi mengelus-elus boneka tikus, David (25) yang bekerja pada perusahaan komputer dan tinggal di kawasan Matraman, Jakarta Timur, tak bisa melupakan kesedihannya saat boneka yang telah menemaninya tidur selama enam tahun pertama hidupnya mendadak hilang.
Ibunya, Evita (43), bercerita, David tak hanya memeluk boneka tikusnya menjelang tidur, tetapi juga saat menonton televisi atau tengah bermain sendiri. Oleh karena setiap hari dipakai, maka bentuk dan warna boneka itu pun semakin lusuh, namun David tak mau membuang atau mengganti dengan boneka lain.
"Sampai sekarang, kalau kita bicara soal boneka, dia pasti cemberut. Waktu itu, saya terpaksa pakai cara keras. Saya keluarkan busa bonekanya, baru dibuang ke tempat sampah yang jauh dari rumah," cerita Evita yang selama beberapa minggu menemani David, membantunya menghapuskan rasa kehilangan boneka itu.
Perkembangan jiwa
Berbagai kebiasaan menjelang tidur pada anak-anak, bagi sebagian orang, dianggap sebagai sesuatu yang tak perlu dirisaukan. Namun, LS Chandra SpKJ, dokter spesialis kesehatan jiwa dari Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta Selatan, mengatakan, ada baiknya orangtua mulai mengamati kebiasaan pada anak tersebut.
"Kebiasaan itu bisa terjadi karena si anak merasa kesepian atau dia menderita depresi ringan. Dia memerlukan sesuatu yang bisa selalu bersamanya," kata Chandra.
Kebiasaan tersebut merupakan perilaku yang timbul dalam masa perkembangan jiwa seorang anak. Ini merupakan suatu kebutuhan psikologis tertentu untuk yang bersangkutan. Kebiasaan ini biasanya muncul ketika anak berada pada tahap attachment atau pelekatan pada sesuatu. Ini biasa terjadi saat anak berusia sekitar satu tahun.
"Pada tahap ini sebenarnya yang diharapkan adalah anak melekatkan diri kepada orangtua. Jika dia melekatkan diri pada orangtua, maka terjadi proses identifikasi. Anak perempuan mengidentifikasikan diri pada ibunya dan anak lelaki pada ayahnya. Maka, di sini banyak sifat atau kebiasaan orangtua yang diserap anak, dan dijadikan kebiasaannya juga," tutur Chandra.
Namun, pada sebagian anak, proses pelekatan itu terjadi bukan pada orangtua, tetapi pada bantal, guling, boneka, jari tangan, dan sebagainya. Akibatnya, benda-benda tersebut atau kegiatan itu mengandung nilai emosional yang tinggi bagi si anak.
"Dia sudah merasa nyaman dengan kebiasaannya, tidak lagi rewel karena sudah asyik dengan dunianya sendiri," ucap Chandra.
Perilaku itu biasanya juga didukung sikap orangtua yang membiarkannya. Orangtua merasa anak tak lagi terlalu bergantung padanya dan dia pun bisa melakukan hal-hal lain.
Bagaimanapun, menurut Chandra, ada baiknya orangtua memerhatikan kebiasaan anak semacam itu. Kebiasaan tersebut bisa bersifat temporer, tetapi dapat menetap. Kalau kebiasaan ini berkembang secara patologis, orangtua harus waspada karena bisa menjadi salah satu pertanda autis.
"Perhatikan, apakah anak semakin senang menyendiri dan asyik dengan kegiatannya itu? Lalu, apakah dia juga tidak merasa perlu bersosialisasi dengan orang lain?" kata Chandra.
Kalau kebiasaan tersebut sifatnya temporer, relatif tak masalah. Namun, bila kebiasaan itu terbawa hingga dewasa, anak bisa terganggu dalam bersosialisasi. Ketika teman-temannya tahu kebiasaan anak yang dianggap aneh tersebut, dia bisa menjadi bahan olok-olok. Kondisi ini bisa mengganggu rasa percaya diri anak.
Tunggu sampai Usia Enam Tahun
Setiap orang pasti mempunyai kebiasaan tertentu. Kebiasaan seakan tak bisa dipisahkan dari diri seseorang karena menyangkut rasa nyaman dan aman. Begitu juga dengan kebiasaan menjelang tidur. Kesulitan tidur bisa menimbulkan masalah, karena tidur penting bagi metabolisme tubuh. Oleh karena itulah, orangtua biasanya bingung bila anak rewel dan tak kunjung bisa tidur.
Menurut LS Chandra SpKJ, dokter spesialis kesehatan jiwa dari Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta, kebiasaan tersebut tidak bisa disebut kebiasaan baik, tetapi juga tidak bisa dibilang buruk.
"Sepanjang tidak mengganggu orang lain dan perkembangan diri, kebiasaan itu tak jadi persoalan. Ada balita berusia 26 bulan bisa berkembang baik tanpa punya kebiasaan seperti itu. Sementara saya juga menemukan seorang perempuan berusia 50 tahun yang sukses dalam hidup, walau pernah punya kebiasaan tertentu sebelum tidur ketika masih kecil," kata Chandra.
Walau tidak berbahaya, Chandra mengingatkan jika kebiasaan ini terbawa hingga dewasa, bisa mengganggu rasa percaya diri anak. Seorang remaja yang mempunyai kebiasaan mengisap jempol sebelum tidur bisa menjadi bahan ejekan teman-temannya. Menjadi bahan olok-olok terus-menerus bisa membuat dia malu dan tidak percaya diri. Jika tekanan terus berlanjut, bisa menimbulkan depresi.
Nilai emosional tinggi
Namun, untuk menghilangkan kebiasaan itu, Chandra mengingatkan agar orangtua melakukannya dengan bijaksana.
"Kebiasaan itu mempunyai nilai emosional yang tinggi bagi si anak. Biar bagaimanapun kebiasaan itu telah membantu pembentukan dirinya. Oleh karena itu, sebaiknya orangtua tidak terlalu menekan dan menjadikannya sebagai sebuah masalah besar," kata Chandra.
Jika orangtua menganggap masalah itu sebagai masalah besar dan buruk, lalu terus membicarakannya pada anak, maka perhatian anak justru semakin terfokus pada kebiasaannya. Dia akan merasa tidak aman dan takut kehilangan benda kesayangannya. Jika ini diteruskan, justru akan menyakitkan hati anak.
Jika orangtua ingin menghilangkan kebiasaan itu, lakukan ketika anak telah mencapai usia enam tahun. Hal ini karena pada usia enam tahun kepribadian anak sudah terbentuk.
"Kehilangan benda kesayangan tentu akan menimbulkan guncangan. Namun, jika kepribadiannya sudah terbentuk, guncangan itu tidak terlalu terasa berat," ujar Chandra.
Akan lebih baik bila sebelumnya orangtua sudah menumbuhkan rasa percaya diri anak, yakni dengan berbagai macam kemampuan, sebelum anak menginjak usia enam tahun. Rasa percaya diri akan membuat risiko depresi akibat kehilangan semakin kecil. Ketika rasa percaya diri anak sudah ada, tanyakan kepadanya, apakah masih memerlukan benda atau kebiasaan itu.
Chandra mengingatkan, sejak bayi seorang manusia memiliki refleks untuk mengisap. Dengan mengisap anak akan merasa tenang. Memutuskan kebiasaan ini secara paksa dikhawatirkan akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi si anak di kemudian hari.
Mengamati Kebiasaan Menjelang Tidur
Salah satu hal yang kerap terabaikan adalah kebiasaan menjelang tidur, terutama pada anak-anak. Padahal, kebiasaan ini bila tidak diwaspadai bisa berlanjut hingga dewasa, bahkan dapat menjadi tanda awal autis.
Dalam sebuah pertemuan, seorang ibu muda mengeluh anak perempuannya yang berusia dua tahun belakangan ini terlihat suka memasukkan ibu jari ke mulut. Ini memang bukan kebiasaan yang benar-benar baru. Kata si ibu, sejak anaknya berusia sekitar delapan bulan, saat menjelang tidur anak itu suka memasukkan dan mengisap-isap ibu jarinya.
"Saya pikir itu kebiasaan mengisap botol susu yang keterusan saja. Jadi, saya biarkan. Toh dia tidak rewel, enggak bahaya, dan enggak mengganggu pertumbuhan," ujar Risa (30) yang tinggal di Cinere, Depok.
Namun, belakangan ini kebiasaan putrinya itu berlanjut. Dia tak cuma mengisap jempol saat menjelang tidur, tetapi ketika bermain, saat menonton televisi, atau menikmati perjalanan dalam mobil pun jempol tangan itu masuk ke mulut. Risa khawatir kebiasaan ini akan semakin menjadi-jadi.
"Di mana saja, begitu ada kesempatan, dia mengisap jempol. Orang-orang bilang ini tidak baik karena akan membuat giginya tonggos. Tetapi, kalau saya larang dia menangis keras-keras. Saya enggak tahan dengar tangisnya, jadi saya biarkan saja," cerita Risa bernada frustrasi.
Kebiasaan serupa hingga saat ini dilakukan Rahma (8), murid kelas III SD yang tinggal di Duren Sawit, Jakarta Timur. Dia tak bisa tidur kalau tidak mengisap jempol. Awalnya kebiasaan itu tak menjadi masalah, namun ketika ada temannya yang tahu kebiasaan Rahma, dia kerap menjadi bahan olok-olok.
Rupanya tak hanya Rahma yang punya kebiasaan khas menjelang tidur. Adiknya, Sari (5), punya kebiasaan mengelus-elus jari kelingking ibunya. Oleh karena itulah, masalah "besar" akan muncul kalau Sari hendak tidur, sementara ibunya tak berada di sampingnya.
Ini terjadi saat kedua kakak-beradik itu menginap di rumah sahabat keluarga mereka. Ketika tiba saatnya tidur, Sari rewel. Ibu pemilik rumah berusaha menenangkannya dengan berbagai cara, tetapi tak berhasil. Ternyata dia kehilangan kelingking ibunya. Sesuatu yang sulit digantikan dengan hal lain, dan tentu saja merepotkan pemilik rumah.
Kebiasaan serupa juga dilakukan Ine (8) sejak bayi hingga kini. Murid kelas III SD di Jakarta Timur ini terbiasa berangkat tidur sambil mengelus-elus bagian siku tangan ibunya.
"Sambil tidur, tangannya yang satu pegang botol susu, dan tangan satu lagi mengusap-usap siku tangan saya. Kadang-kadang tangannya naik sampai pundak, dan enggak jarang juga dia milih mengusap-usap kuping saya. Geliii banget rasanya," cerita Icu (38), ibu Ine yang bekerja di perusahaan asuransi.
Berlanjut sampai dewasa
Kebiasaan yang awalnya dilakukan anak-anak menjelang tidur itu pada sebagian anak kemudian dikerjakan pula pada saat lain. Biasanya, ini karena tak adanya larangan tegas dari orangtua.
Airin (37), ibu dua anak usia delapan dan dua tahun, bercerita, ketika anak pertamanya menunjukkan tanda-tanda senang mengusap-usap ujung bantal menjelang tidur, langsung ditegur dengan keras. Ini berkaitan dengan pengalaman masa kecil Airin sendiri.
"Waktu SD, saya punya teman yang suka mengisap jempol. Kalau lagi main bareng, dia ngisap jempol sampai basah dan berkerut-kerut. Saya jijik dan malas main sama teman yang satu itu. Saya enggak mau anak saya nanti dijauhi teman karena punya kebiasaan aneh seperti itu," katanya.
Kebiasaan seperti mengisap jari, mengelus-elus suatu benda seperti bantal atau guling, menggoyang-goyangkan kaki, atau mencium-cium boneka, biasanya diawali sebagai pengantar tidur. Lama-kelamaan hal itu dapat berlanjut pada kegiatan lain, yang tak jarang melibatkan orang di luar keluarga inti.
Bahkan, seperti dialami Mella (27) yang tinggal di Jatinegara, Jakarta Timur, kebiasaan masa kecil itu berlanjut hingga kini, sampai dewasa dan telah menikah. Awalnya, saat Mella masih kecil, dia suka mengelus-elus bordir yang menghiasi celana dalam. Ibunya mencoba memindahkan kebiasaannya itu dengan membuat sarung bantal berbordir.
Maka, kebiasaan Mella mengelus-elus motif bordir pun berpindah pada bantal. Oleh karena selalu tersedia bantal berbordir, dan tak ada yang keberatan, maka kebiasaan Mella itu berlanjut.
Mella beruntung karena suaminya tak keberatan dengan kebiasaan tersebut. Ketika mereka menikah, untuk ranjang pengantin sengaja disediakan bantal dengan banyak bordir.
Meski tak lagi mengelus-elus boneka tikus, David (25) yang bekerja pada perusahaan komputer dan tinggal di kawasan Matraman, Jakarta Timur, tak bisa melupakan kesedihannya saat boneka yang telah menemaninya tidur selama enam tahun pertama hidupnya mendadak hilang.
Ibunya, Evita (43), bercerita, David tak hanya memeluk boneka tikusnya menjelang tidur, tetapi juga saat menonton televisi atau tengah bermain sendiri. Oleh karena setiap hari dipakai, maka bentuk dan warna boneka itu pun semakin lusuh, namun David tak mau membuang atau mengganti dengan boneka lain.
"Sampai sekarang, kalau kita bicara soal boneka, dia pasti cemberut. Waktu itu, saya terpaksa pakai cara keras. Saya keluarkan busa bonekanya, baru dibuang ke tempat sampah yang jauh dari rumah," cerita Evita yang selama beberapa minggu menemani David, membantunya menghapuskan rasa kehilangan boneka itu.
Perkembangan jiwa
Berbagai kebiasaan menjelang tidur pada anak-anak, bagi sebagian orang, dianggap sebagai sesuatu yang tak perlu dirisaukan. Namun, LS Chandra SpKJ, dokter spesialis kesehatan jiwa dari Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta Selatan, mengatakan, ada baiknya orangtua mulai mengamati kebiasaan pada anak tersebut.
"Kebiasaan itu bisa terjadi karena si anak merasa kesepian atau dia menderita depresi ringan. Dia memerlukan sesuatu yang bisa selalu bersamanya," kata Chandra.
Kebiasaan tersebut merupakan perilaku yang timbul dalam masa perkembangan jiwa seorang anak. Ini merupakan suatu kebutuhan psikologis tertentu untuk yang bersangkutan. Kebiasaan ini biasanya muncul ketika anak berada pada tahap attachment atau pelekatan pada sesuatu. Ini biasa terjadi saat anak berusia sekitar satu tahun.
"Pada tahap ini sebenarnya yang diharapkan adalah anak melekatkan diri kepada orangtua. Jika dia melekatkan diri pada orangtua, maka terjadi proses identifikasi. Anak perempuan mengidentifikasikan diri pada ibunya dan anak lelaki pada ayahnya. Maka, di sini banyak sifat atau kebiasaan orangtua yang diserap anak, dan dijadikan kebiasaannya juga," tutur Chandra.
Namun, pada sebagian anak, proses pelekatan itu terjadi bukan pada orangtua, tetapi pada bantal, guling, boneka, jari tangan, dan sebagainya. Akibatnya, benda-benda tersebut atau kegiatan itu mengandung nilai emosional yang tinggi bagi si anak.
"Dia sudah merasa nyaman dengan kebiasaannya, tidak lagi rewel karena sudah asyik dengan dunianya sendiri," ucap Chandra.
Perilaku itu biasanya juga didukung sikap orangtua yang membiarkannya. Orangtua merasa anak tak lagi terlalu bergantung padanya dan dia pun bisa melakukan hal-hal lain.
Bagaimanapun, menurut Chandra, ada baiknya orangtua memerhatikan kebiasaan anak semacam itu. Kebiasaan tersebut bisa bersifat temporer, tetapi dapat menetap. Kalau kebiasaan ini berkembang secara patologis, orangtua harus waspada karena bisa menjadi salah satu pertanda autis.
"Perhatikan, apakah anak semakin senang menyendiri dan asyik dengan kegiatannya itu? Lalu, apakah dia juga tidak merasa perlu bersosialisasi dengan orang lain?" kata Chandra.
Kalau kebiasaan tersebut sifatnya temporer, relatif tak masalah. Namun, bila kebiasaan itu terbawa hingga dewasa, anak bisa terganggu dalam bersosialisasi. Ketika teman-temannya tahu kebiasaan anak yang dianggap aneh tersebut, dia bisa menjadi bahan olok-olok. Kondisi ini bisa mengganggu rasa percaya diri anak.
Tunggu sampai Usia Enam Tahun
Setiap orang pasti mempunyai kebiasaan tertentu. Kebiasaan seakan tak bisa dipisahkan dari diri seseorang karena menyangkut rasa nyaman dan aman. Begitu juga dengan kebiasaan menjelang tidur. Kesulitan tidur bisa menimbulkan masalah, karena tidur penting bagi metabolisme tubuh. Oleh karena itulah, orangtua biasanya bingung bila anak rewel dan tak kunjung bisa tidur.
Menurut LS Chandra SpKJ, dokter spesialis kesehatan jiwa dari Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta, kebiasaan tersebut tidak bisa disebut kebiasaan baik, tetapi juga tidak bisa dibilang buruk.
"Sepanjang tidak mengganggu orang lain dan perkembangan diri, kebiasaan itu tak jadi persoalan. Ada balita berusia 26 bulan bisa berkembang baik tanpa punya kebiasaan seperti itu. Sementara saya juga menemukan seorang perempuan berusia 50 tahun yang sukses dalam hidup, walau pernah punya kebiasaan tertentu sebelum tidur ketika masih kecil," kata Chandra.
Walau tidak berbahaya, Chandra mengingatkan jika kebiasaan ini terbawa hingga dewasa, bisa mengganggu rasa percaya diri anak. Seorang remaja yang mempunyai kebiasaan mengisap jempol sebelum tidur bisa menjadi bahan ejekan teman-temannya. Menjadi bahan olok-olok terus-menerus bisa membuat dia malu dan tidak percaya diri. Jika tekanan terus berlanjut, bisa menimbulkan depresi.
Nilai emosional tinggi
Namun, untuk menghilangkan kebiasaan itu, Chandra mengingatkan agar orangtua melakukannya dengan bijaksana.
"Kebiasaan itu mempunyai nilai emosional yang tinggi bagi si anak. Biar bagaimanapun kebiasaan itu telah membantu pembentukan dirinya. Oleh karena itu, sebaiknya orangtua tidak terlalu menekan dan menjadikannya sebagai sebuah masalah besar," kata Chandra.
Jika orangtua menganggap masalah itu sebagai masalah besar dan buruk, lalu terus membicarakannya pada anak, maka perhatian anak justru semakin terfokus pada kebiasaannya. Dia akan merasa tidak aman dan takut kehilangan benda kesayangannya. Jika ini diteruskan, justru akan menyakitkan hati anak.
Jika orangtua ingin menghilangkan kebiasaan itu, lakukan ketika anak telah mencapai usia enam tahun. Hal ini karena pada usia enam tahun kepribadian anak sudah terbentuk.
"Kehilangan benda kesayangan tentu akan menimbulkan guncangan. Namun, jika kepribadiannya sudah terbentuk, guncangan itu tidak terlalu terasa berat," ujar Chandra.
Akan lebih baik bila sebelumnya orangtua sudah menumbuhkan rasa percaya diri anak, yakni dengan berbagai macam kemampuan, sebelum anak menginjak usia enam tahun. Rasa percaya diri akan membuat risiko depresi akibat kehilangan semakin kecil. Ketika rasa percaya diri anak sudah ada, tanyakan kepadanya, apakah masih memerlukan benda atau kebiasaan itu.
Chandra mengingatkan, sejak bayi seorang manusia memiliki refleks untuk mengisap. Dengan mengisap anak akan merasa tenang. Memutuskan kebiasaan ini secara paksa dikhawatirkan akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi si anak di kemudian hari.