bantengwillis
17th January 2010, 11:15 PM
Direktur Institute of Strategic and International Studies Mahani Zainal Abidin berdiam sejenak saat ditanya mengapa ekonomi Malaysia begitu cepat berkembang. Tidak lama kemudian dengan nada serius dia berkata, "Kami (Malaysia) beruntung memiliki orang China. Mereka cerdas, kreatif, inovatif, dan pintar cari uang."
Pernyataan perempuan bersuku Melayu yang merupakan pakar ekonomi di Malaysia ini tentu bukan kebetulan dan tidak bergurau. Kalimat yang diucapkan tersebut pasti lahir dari pemikiran yang matang setelah melihat kenyataan yang terjadi selama ini di negara itu.
Jumlah penduduk Malaysia pada tahun 2005 sebanyak 26,1 juta jiwa. Mereka terdiri atas etnis Melayu 50,86 persen, China 23,57 persen, India 7,08 persen, Dayak (Iban dan Kadasan) 11,45 persen, bukan Malaysia 5,80 persen, dan lain-lain 1,24 persen.
Masyarakat etnis China dan India hadir serta bermukim di Malaysia sejak sebelum negara itu merdeka pada 31 Agustus 1957. Bahkan, warga China, misalnya, ikut berjuang dan bergerilya bersama masyarakat Melayu untuk membebaskan negara itu dari penjajahan Inggris.
Kebersamaan itu membuat kehadiran masyarakat China dan India diterima sebagai saudara dalam kehidupan masyarakat Melayu. Mereka diberi kebebasan beribadah sesuai agama yang dianut. Orang China di Malaysia juga dibolehkan menggunakan nama aslinya.
Khusus etnis Melayu, sebetulnya sekitar 70 persen berasal dari berbagai suku di Indonesia, yakni Minang, Aceh, Jawa, Padang, Riau, dan Bugis. Wakil Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Mohammad Najib, misalnya, keturunan Bugis. Ayahnya almarhum Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia kedua adalah cucu Raja Gowa ke-15. Istri Najib, yakni Datin Sri Rosmah Mansoor, masih keturunan Minang.
Kesenjangan ekonomi
Sejak awal kemerdekaan, secara ekonomi tampak ada ketimpangan yang cukup besar. Hingga tahun 1970, sebanyak 49 persen masyarakat Melayu masih hidup miskin. Roda perekonomian saat itu hanya 2,4 persen dipegang kelompok bumiputra (Melayu dan Dayak), masyarakat China dan India mengendalikan 33 persen, serta asing 60 persen. Jumlah penduduk Malaysia saat itu 10,81 juta jiwa.
Melihat ketimpangan itu, Pemerintah Malaysia membuat kebijakan ekonomi baru pada tahun 1970. Tujuannya, menaikkan tarif hidup masyarakat bumiputra agar setara dengan komunitas China dan India.
Mula-mula didirikan berbagai perguruan tinggi. Warga bumiputra diberi peluang seluas-luasnya untuk kuliah. Para sarjana dari komunitas itu yang punya prestasi baik dikirim melanjutkan studi doktoral di Inggris, Australia, dan negara lainnya. Setelah lulus, mereka kembali mengabdi di Malaysia.
Selain itu, bank-bank pemerintah diwajibkan memberi kredit lunak dengan suku bunga rendah kepada masyarakat bumiputra untuk usaha bidang pertanian, kerajinan, dan lainnya. Masyarakat juga didorong melakukan kegiatan ekonomi produktif lain untuk peningkatan pendapatan dan taraf hidup.
Jika terjadi kredit macet, para debitor (terutama bumiputra) tak dikenai sanksi, tetapi cenderung diputihkan. Malah, yang bersangkutan dikucuri lagi kredit guna menggiatkan usahanya. Petugas perbankan juga aktif mendatangi pedagang kecil dan petani menawarkan kredit lunak.
"Pokoknya, demi kesejahteraan kalangan bumiputra, apa pun dilakukan Pemerintah Malaysia. Kesalahan mereka sebelumnya dengan mudah dimaafkan," kata pakar ekonomi Universitas Malaya, Sadono Sukirno.
Sukses dan bumerang
Langkah berani yang dilakukan Pemerintah Malaysia, menurut Sadono, boleh dibilang sukses. Terbukti, saat ini hampir semua posisi pemerintahan, dosen pada berbagai perguruan tinggi ternama, dan badan usaha milik negara (BUMN) di Malaysia dikendalikan kaum bumiputra.
Jumlah warga miskin di kalangan bumiputra juga berkurang menjadi 17 persen dari target semula 16 persen. Kini, kalangan bumiputra mengendalikan 30 persen roda perekonomian, sedangkan masyarakat India dan China sekitar 40 persen dan sisanya 30 persen dikuasai asing.
Namun, di luar lembaga dan perusahaan milik pemerintah, kalangan bumiputra nyaris tak berkembang optimal. Untuk profesi dokter dan pengacara, misalnya, didominasi masyarakat India.
"Tengok saja pada bank atau perusahaan swasta atau perusahaan asing, kaum bumiputra kurang berkembang. Lebih parah lagi, proses pembauran dalam masyarakat pun nyaris tidak terjadi sehingga cenderung melahirkan prasangka. Jadi, itulah kegagalan dari kebijakan itu," papar Sadono.
Sebetulnya, lanjut Sadono, maraknya investasi asing di Malaysia menjadi bagian dari upaya untuk menahan laju pergerakan ekonomi yang dikendalikan masyarakat China dan India. Namun, strategi itu juga gagal sebab para investor asing pun lebih memercayakan pengelolaan perusahaan mereka kepada komunitas China dan India.
Perlakuan istimewa dari Pemerintah Malaysia kepada kaum bumiputra selama puluhan tahun itu kini mulai memicu kecemburuan dan protes dari masyarakat China. Hari demi hari suara kejengkelan itu semakin menggema.
"Jika kebijakan diskriminasi itu tidak segera ditangani secara baik, bukan tidak mungkin berpotensi menimbulkan gejolak dan perlawanan. Salah satu yang mungkin dilakukan orang China adalah berpindah investasi dan permukiman ke negara lain," kata Sadono.
Mahani Zainal Abidin pun menyadari hal itu. Dia juga sangat sadar, kebijakan yang memanjakan kaum bumiputra tidak menguntungkan untuk jangka panjang, terutama dalam membentuk etos kerja kaum bumiputra. Namun, dia sendiri tidak bisa memastikan sampai kapan kebijakan diskriminasi itu diakhiri.
"Terlalu lama memanjakan seseorang juga kurang baik. Namun, saya kira pemerintah masih membutuhkan waktu lama memberi ruang dan peluang yang lebih besar kepada kaum bumiputra untuk maju," ujar Mahani.
Dari grafik populasi penduduk, jumlah komunitas China di Malaysia pun cenderung berkurang. Di kawasan Semenanjung Malaysia, misalnya, dari jumlah penduduk pada tahun 1970 sebanyak 8,8 juta jiwa, sebanyak 45 persen adalah warga China. Namun, tahun 2006 hanya tersisa 25 persen, dan tahun 2050 bakal menyisakan 12-13 persen.
Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa masyarakat malaysia bisa makmur karena memanfaatkan jerih payah orang lain tanpa dia berusaha sendiri, pesen ane bagi para malon LO JANGAN SOMBONG DULU DECH!! INGET SEJARAH LO!!!
Pernyataan perempuan bersuku Melayu yang merupakan pakar ekonomi di Malaysia ini tentu bukan kebetulan dan tidak bergurau. Kalimat yang diucapkan tersebut pasti lahir dari pemikiran yang matang setelah melihat kenyataan yang terjadi selama ini di negara itu.
Jumlah penduduk Malaysia pada tahun 2005 sebanyak 26,1 juta jiwa. Mereka terdiri atas etnis Melayu 50,86 persen, China 23,57 persen, India 7,08 persen, Dayak (Iban dan Kadasan) 11,45 persen, bukan Malaysia 5,80 persen, dan lain-lain 1,24 persen.
Masyarakat etnis China dan India hadir serta bermukim di Malaysia sejak sebelum negara itu merdeka pada 31 Agustus 1957. Bahkan, warga China, misalnya, ikut berjuang dan bergerilya bersama masyarakat Melayu untuk membebaskan negara itu dari penjajahan Inggris.
Kebersamaan itu membuat kehadiran masyarakat China dan India diterima sebagai saudara dalam kehidupan masyarakat Melayu. Mereka diberi kebebasan beribadah sesuai agama yang dianut. Orang China di Malaysia juga dibolehkan menggunakan nama aslinya.
Khusus etnis Melayu, sebetulnya sekitar 70 persen berasal dari berbagai suku di Indonesia, yakni Minang, Aceh, Jawa, Padang, Riau, dan Bugis. Wakil Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Mohammad Najib, misalnya, keturunan Bugis. Ayahnya almarhum Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia kedua adalah cucu Raja Gowa ke-15. Istri Najib, yakni Datin Sri Rosmah Mansoor, masih keturunan Minang.
Kesenjangan ekonomi
Sejak awal kemerdekaan, secara ekonomi tampak ada ketimpangan yang cukup besar. Hingga tahun 1970, sebanyak 49 persen masyarakat Melayu masih hidup miskin. Roda perekonomian saat itu hanya 2,4 persen dipegang kelompok bumiputra (Melayu dan Dayak), masyarakat China dan India mengendalikan 33 persen, serta asing 60 persen. Jumlah penduduk Malaysia saat itu 10,81 juta jiwa.
Melihat ketimpangan itu, Pemerintah Malaysia membuat kebijakan ekonomi baru pada tahun 1970. Tujuannya, menaikkan tarif hidup masyarakat bumiputra agar setara dengan komunitas China dan India.
Mula-mula didirikan berbagai perguruan tinggi. Warga bumiputra diberi peluang seluas-luasnya untuk kuliah. Para sarjana dari komunitas itu yang punya prestasi baik dikirim melanjutkan studi doktoral di Inggris, Australia, dan negara lainnya. Setelah lulus, mereka kembali mengabdi di Malaysia.
Selain itu, bank-bank pemerintah diwajibkan memberi kredit lunak dengan suku bunga rendah kepada masyarakat bumiputra untuk usaha bidang pertanian, kerajinan, dan lainnya. Masyarakat juga didorong melakukan kegiatan ekonomi produktif lain untuk peningkatan pendapatan dan taraf hidup.
Jika terjadi kredit macet, para debitor (terutama bumiputra) tak dikenai sanksi, tetapi cenderung diputihkan. Malah, yang bersangkutan dikucuri lagi kredit guna menggiatkan usahanya. Petugas perbankan juga aktif mendatangi pedagang kecil dan petani menawarkan kredit lunak.
"Pokoknya, demi kesejahteraan kalangan bumiputra, apa pun dilakukan Pemerintah Malaysia. Kesalahan mereka sebelumnya dengan mudah dimaafkan," kata pakar ekonomi Universitas Malaya, Sadono Sukirno.
Sukses dan bumerang
Langkah berani yang dilakukan Pemerintah Malaysia, menurut Sadono, boleh dibilang sukses. Terbukti, saat ini hampir semua posisi pemerintahan, dosen pada berbagai perguruan tinggi ternama, dan badan usaha milik negara (BUMN) di Malaysia dikendalikan kaum bumiputra.
Jumlah warga miskin di kalangan bumiputra juga berkurang menjadi 17 persen dari target semula 16 persen. Kini, kalangan bumiputra mengendalikan 30 persen roda perekonomian, sedangkan masyarakat India dan China sekitar 40 persen dan sisanya 30 persen dikuasai asing.
Namun, di luar lembaga dan perusahaan milik pemerintah, kalangan bumiputra nyaris tak berkembang optimal. Untuk profesi dokter dan pengacara, misalnya, didominasi masyarakat India.
"Tengok saja pada bank atau perusahaan swasta atau perusahaan asing, kaum bumiputra kurang berkembang. Lebih parah lagi, proses pembauran dalam masyarakat pun nyaris tidak terjadi sehingga cenderung melahirkan prasangka. Jadi, itulah kegagalan dari kebijakan itu," papar Sadono.
Sebetulnya, lanjut Sadono, maraknya investasi asing di Malaysia menjadi bagian dari upaya untuk menahan laju pergerakan ekonomi yang dikendalikan masyarakat China dan India. Namun, strategi itu juga gagal sebab para investor asing pun lebih memercayakan pengelolaan perusahaan mereka kepada komunitas China dan India.
Perlakuan istimewa dari Pemerintah Malaysia kepada kaum bumiputra selama puluhan tahun itu kini mulai memicu kecemburuan dan protes dari masyarakat China. Hari demi hari suara kejengkelan itu semakin menggema.
"Jika kebijakan diskriminasi itu tidak segera ditangani secara baik, bukan tidak mungkin berpotensi menimbulkan gejolak dan perlawanan. Salah satu yang mungkin dilakukan orang China adalah berpindah investasi dan permukiman ke negara lain," kata Sadono.
Mahani Zainal Abidin pun menyadari hal itu. Dia juga sangat sadar, kebijakan yang memanjakan kaum bumiputra tidak menguntungkan untuk jangka panjang, terutama dalam membentuk etos kerja kaum bumiputra. Namun, dia sendiri tidak bisa memastikan sampai kapan kebijakan diskriminasi itu diakhiri.
"Terlalu lama memanjakan seseorang juga kurang baik. Namun, saya kira pemerintah masih membutuhkan waktu lama memberi ruang dan peluang yang lebih besar kepada kaum bumiputra untuk maju," ujar Mahani.
Dari grafik populasi penduduk, jumlah komunitas China di Malaysia pun cenderung berkurang. Di kawasan Semenanjung Malaysia, misalnya, dari jumlah penduduk pada tahun 1970 sebanyak 8,8 juta jiwa, sebanyak 45 persen adalah warga China. Namun, tahun 2006 hanya tersisa 25 persen, dan tahun 2050 bakal menyisakan 12-13 persen.
Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa masyarakat malaysia bisa makmur karena memanfaatkan jerih payah orang lain tanpa dia berusaha sendiri, pesen ane bagi para malon LO JANGAN SOMBONG DULU DECH!! INGET SEJARAH LO!!!