nairin
12th August 2010, 03:42 PM
PEMBAHASAN perubahan iklim saat ini merupakan masalah pokok lingkungan yang didasarkan dari system dan pola pelaksanaan lingkungan hidup yang tidak teratur.Ketika menginjakan kaki pertama kali di Daerah Bandung 2006 yang lalu, Bandung masih terlihat sejuk. Beberapa kali ketika menaiki DAMRI jurusan Jatinangor-Bandung yang ditempuh dalam tempo satu setengah jam tidak terasa panas dan melelahkan. Namun, beranjak di tahun 2010, kondisinya berubah. Bandung mulai terlihat suasana panas yang menyengat dan udara dingin yang tidak stabil. Kata orang lingkungan, ini akibat efek rumah kaca atau pemanasan global.
Pada kongres di Bali tahun 2007 silam yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tentang pemanasan global sepertinya beberapa Negara sepakat untuk mengurangi gas CO2 yang menjadi tersangka utama dari permasalahan ini. Tapi, apakah kita harus menyalahkan CO2 atas bertambah panasnya udara dan mulai mencairnya kutub utara.
Tapi banyak orang bertanya-tanya apa yang membedakan antara iklim dan cuaca sebelum kita bahas yang namanya Global Warming . Cuaca adalah fenomena yang dapat bervariasi dari hari ke hari. Sedang tren jangka panjang disebut iklim. Ketika tren ini berubah maka kita bicara tentang perubahan iklim. Pada skala global, ini disebut Global Climate Change. Sejak era industri, orang mencatat perubahan iklim ini. Efek ini diduga akibat meningkatnya karbon dioksida (CO2) di atmosfir sebagai dampak pembakaran hidrokarbon baik bahan bakar fossil, hutan maupun sampah, sehingga sinar inframerah dari matahari lebih banyak terperangkap di atmosfir. Karena efek semacam ini mirip yang dirasakan di rumah-rumah kaca, maka disebut Efek Rumah Kaca (Greenhouse effect) dan CO2 disebut juga "gas rumah kaca" (Greenhouse-Gas/GHG). Dan karena efeknya memanaskan secara global, maka disebut "global warming".
Begitulah bahasa ilmiah membahasakan pemanasan global. Selaku orang sastra, walau bermain dalam cakupan kata tapi pemanasan global sungguh-sungguh membahayakan inspirasi sastrawan dalam melakukan penulisan. Dengan bertambahnya iklim yang panas, maka tentu alam menjadi tidak menentu dan akan ikut pula terkikis di dalamnya kenangan indah para sastrawan dan inspirasi alam yang mulai menghilang. Global Warming pada akhirnya, membuat kertas dan daun menjadi langka, pelepah kering mudah terbakar dan lenyap dan kesemuanya melenyapkan sastrawan beserta hasil-hasilnya.
Sepertinya, sastrawan harus menjadi orang yang menulis ilmiah, menyelamatkan kisah dunia dari pemanasan global dan berubah menjadi orang yang peduli terhadap kondisi lingkungan. Karena memerlukan riset jangka panjang seperti ini, maka sebagian orang masih berbeda pendapat tentang dimensi efek global warming. Ada yang menganggap efek ini akan dinetralisir oleh peningkatan reaktivitas lautan secara alami.
Namun mau tak mau kita tetap harus mempersiapkan diri. Masalahnya, iklim tidak dapat diatasi dalam waktu singkat. Kalau kemarau panjang terjadi, sedang lahan pertanian terlanjur ditanami dengan padi yang sangat butuh air, maka akan terjadi krisis pangan. Karena itu memang pemerintah perlu mengarahkan agar dunia pertanian mengantisipasi hal itu. Ribuan kilometer sistem irigasi harus segera direvitalisasi. Bibit padi yang disiapkan harus juga yang lebih tahan kekeringan. Agar ketika terjadi perubahan iklim kegagalan panen atau puso tidak melanda para petani Indonesia.
Namun di sisi lain, sistem pemantauan cuaca kita juga harus terus dibangun. Jaringannya perlu diperpadat, komputernya dimodernisir dan SDM-nya ditingkatkan profesionalitas dan kesejahteraannya. Sistem ini juga harus diintegrasikan ke jaringan pemantau cuaca global, termasuk yang berbasis satelit. Akurasinya harus ditingkatkan, agar ramalan iklim ini memang prediksi yang ilmiah, bukan sekedar isu murahan yang dimanfaatkan segelintir pengusaha untuk mendapatkan proyek pengadaan beras impor atau justifikasi kebakaran hutan � yang sebenarnya telah disengaja. Sepertinya itu semua sekedar mimpi. Perhatian masyarakat apalagi pemerintah terhadap masalah ini kurang. Jangan mengharap jaringan komputer pengendali iklim dan teknologi lainnya bagus, sedangkan pemerintah sepertinya hanya melakukan tebang pilih dalam masalah pemberantasan pemanasan global.
Sejak masa pencatatan temperatur secara ilmiah dan teratur selama 100 tahun terakhir, tercatat suhu bumi naik 0,75� C. Yang mencolok, setelah 1950, tren kenaikan suhu terlihat cukup konsisten dengan sekitar 0,25� C per dekade untuk daratan dan 0,13� C per dekade untuk lautan.
Kita juga merasakan bahwa efek rumah kaca ini, mengakibatkan lingkungan kita tidak bersahabat. Perubahan iklim ini memaksa, musim hujan dan kemarau di Indonesia tidak menentu. Selain mengakibatkan musim panen yang berubah, ternyata daerah perluasan banjir semakin meluas dan banjir rob, abrasi, erosi dan kerusakan hutan yang tak kunjung usai. Sementara itu, lingkungan hijau ruang lingkupnya semakin tipis dan reboisasi yang sekedar tanam tanpa perawatan menambah cerita lengkap derita Lingkungan hidup.
Sumber Gas Rumah Kaca
Selama ini AS adalah "juara" penghasil CO2, yaitu 39% dunia. Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia. Artinya, jumlah CO2 dari seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.
Selama ini sektor yang paling banyak menghasilkan CO2 adalah energi (baik untuk industri maupun transportasi). AS menghembuskan hampir 6500 Mega Ton CO2-equivalen, di mana 95% dari sektor energi. Sebagai pembanding, Indonesia hanya menghembuskan kurang dari 400 Mega Ton CO2-equivalen, meski jumlah penduduk Indonesia sudah mendekati penduduk AS. Namun karena di Indonesia sering terjadi kebakaran hutan, baik disengaja atau tidak, Indonesia "menyumbang" CO2 sebanyak 3000 Mega Ton CO2-equivalen.
Negara-negara maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini. Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan data Greenhouse gas-inventory.
Namun setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi, yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8) sudah berada pada "zona nyaman", sehingga malas untuk berubah; (2) di dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global; dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup. Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat � yang menolak meratifikasi protokol Kyoto tadi.
Maka semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang baru.
Ini sesuai firman-Nya di dalam Al-Quran: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)
Sepertinya kita harus mulai ramah menciptakan teknologi ramah lingkungan. Sepertinya beberapa teknologi ini cukup pantas, mengurangi angka CO2.
Pertanian dan Konsumsi Makanan
Pola konsumsi paling ramah lingkungan adalah vegetarian. Dari bahan nabati yang sama, bila dikonsumsi langsung, manusia mendapatkan tujuh kali lipat nutrisi daripada jika bahan nabati itu digunakan untuk pakan ternak yang lalu dikonsumsi dagingnya.
Dapur modern yang rendah pemakaian energi (misalnya oven microwave) juga mestinya lebih ramah lingkungan. Demikian juga lemari pendingin yang bebas CFC. CFC adalah perusak lapisan ozon di atmosfir.
Masalah pangan juga terkait erat dengan sampah. Salah satu halnya adalah mulai banyaknya masyarakat yang ingin efisien dan praktis. Sehingga makanan kemasan lebih laku di pasaran. Permasalahannya adalah, kemasan yang ada saat ini akan sulit teruraikan, bahkan menurut penelitian butuh ratusan tahun untuk melenyapkannya menajd idebu secara alami.
Saat ini sampah terbesar memang dari sektor pangan. Teknologi pengolah sampah, baik dari sisi pemisahan, daur ulang dan penghancuran jelas sangat diperlukan ketika volume sampah makin besar. Namun tentu lebih baik jika sampah ini dapat dihindari dengan mengubah pola kemasan pangan ke wadah pakai ulang. Dalam hal ini, teknologi bioproses untuk menghancurkan sampah dapat dipandang lebih ramah lingkungan daripada teknologi kimia.
Bioteknologi termasuk yang sangat diharapkan membantu menemukan bibit unggul tahan hama dan kekeringan yang pada lahan yang sama dapat menghasilkan pangan lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat. Namun berbagai manipulasi transgenik membuat ketakutan tersendiri akan munculnya spesies baru yang justru dalam jangka panjang tidak ramah lingkungan.
Energi
Energi matahari adalah energi yang terramah lingkungan. Dibanding dengan mesin pengering, mengeringkan cucian di terik matahari itu ramah lingkungan, hanya perlu didesain saja jemuran yang praktis dan tidak membuat kesan kumuh. Demikian juga memanaskan air untuk mandi dengan menjemur air. Kalau dalam jumlah besar dan untuk disimpan memang perlu solar-collector lengkap dengan tankinya. Teknologinya sebenarnya sederhana dan murah, namun bisa cukup menghemat listrik atau gas, terutama untuk dunia perhotelan.
Dengan sistem ventilasi yang benar, desain gedung-gedung kita bisa menghemat penerangan maupun pendingin udara. Apalagi jika gaya pakaian kita menyesuaikan. Di Indonesia ini gaya busana yang latah meniru penjajah: untuk acara resmi kita pakai jas dan dasi, lantas agar tidak kegerahan, kita setel AC yang "sedingin kutub", seakan kita memelihara pinguin di sana. Kita perlu berkaca dengan rekan-rekan kita sesama daerah tropis seperti Thailand atau Filipina, yang mengatur seragam dinas pegawai berupa T-shirt berkerah!
Di Jerman dan Jepang yang kesadaran lingkungan sudah tinggi banyak dikembangkan eco-house yang memadukan berbagai fungsi rumah secara maksimal. Dinding luar berselimut tanaman rambat. Atap berlapis solar panel. Aliran air dan udara dipikir masak-masak, misalnya air pemanas ruangan dapat dipakai mandi dan limbahnya dipakai menggelontor tinja. Septic-tank menghasilkan gas methan yang dapat dipakai menambah energi untuk dapur.
Kendaraan
Sepertinya kita layak memikirkan sepeda sebagai sarana alternatif mengurangi pembuangan gas CO2 . Asal tentu pembuatan jalan bersepeda, seperti di China dan Jepang diseriusi oleh pemerintah. Apalagi tren yang berkembang kekinian di kalangan eksekutif adalah bycycle to work.
Untuk beban yang sedikit berat di medan yang datar, becak dan pedati sebenarnya juga ramah lingkungan. Namun untuk jarak jauh dan beban raksasa, tentu saja kereta listrik lebih ramah lingkungan. Listriknya bisa dibangkitkan terpusat pada Pusat Listrik Tenaga Air, Panas Bumi atau sejenisnya. Kendaraan umum seperti bus juga lebih ramah lingkungan dibanding mobil pribadi. Lebih ramah lagi jika menggunakan baterei listrik. Di Swiss sudah 20 tahun digunakan bus listrik dengan baterei berupa gandengan kecil, yang jika mendekati kosong gampang diganti dengan yang penuh, sambil menunggu yang kosong diisi ulang.
Saat ini, mobil listrik baru dipakai secara terbatas di bandara atau rumah sakit. Namun beberapa industri mobil sudah meluncurkan mobil hybrid (misalnya Toyota Prios), yang berpenggerak listrik dan bensin. Saat macet, mesin listrik yang bekerja. Saat kecepatan optimal, mesin bensin akan mengambil alih. Jika diperlambat, energi mesin bensin dipakai untuk mengisi baterei.
Pada level sederhana, banyak inovasi juga dapat digunakan pada kendaraan biasa. Misalnya alat tambahan yang dapat dipasang untuk mengoptimalkan pembakaran. Pabrik mobil juga berlomba mengembangkan "3-liter-cars" � mobil yang dengan 3 liter bensin dapat menempuh jarak 100 Km.
Kita pun harus dapat memanfaatkan teknologi matahari seabgai energi kendaraan. Syaratnya, ya mereka yang punya kekuatan riset dan teknologi terus berusaha menciptakan mobil energi matahari yang murah dan dapat memuat banyak orang. Bahkan di ITS, sempat muncul mobil dengan bahan bakar air di mana 70 % adalah air murni.
Informasi dan Komunikasi
Komunikasi elektronik adalah sangat ramah lingkungan jika diterapkan dengan tepat. Telekomunikasi akan mengurangi kebutuhan transportasi, berarti hemat energi. Informasi juga dapat disebarkan tanpa kertas (paperless) sehingga mengurangi jumlah pohon yang harus ditebang.
Teknologi kertas daur ulang juga termasuk bagian upaya ramah lingkungan di sektor informasi. Dalam hal ini, tinggal menunggu kesadaran para penerbit. Jika di Indonesia, para penerbit justru berlomba menggunakan kertas yang putih agar terkesan lux, di luar negeri getol dikembangkan kertas daur ulang. Konon untuk mencetak novel Harry Potter 7, sampai dikembangkan 32 jenis baru kertas daur ulang. Penerbit di Kanada menggunakan kertas daur ulang 100%, sementara di Amerika baru 30%. Upaya ini sudah membuat edisi bahasa Inggris novel ini menghemat penebangan hampir 200 ribu pohon dan 8 juta kg gas rumah kaca.
Di sisi lain, gerakan pelestarian hutan dan penanaman pohon harus digalakkan, baik secara individual, korporasi maupun negara. Dalam 12 tahun (1991-2003), Indonesia sudah kehilangan 68 juta hektar hutan, atau sekitar 10 hektar per menit! Bayangkan, hutan seluas 15x lapangan bola lenyap setiap menit!
Boleh kita renungkan kembali sebuah hadits yang cocok menemani kita untuk merencanakan Lingkungan Hidup yang ramah, "Andaikan kiamat terjadi sore hari, di pagi hari seorang muslim tetap akan menanam sebuah pohon", dan di hadits lain, "Andaikata buah pohon itu dinikmati oleh ulat atau burung, maka itu tetap terhitung sedekah dari yang menanamnya".
Kembali saya menjadi seorang sastra yang memberikan makna dan kata menyambut datangnya pesona lingkungan yang asri dan indah.
sumber : http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzM4Mw==
Pada kongres di Bali tahun 2007 silam yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tentang pemanasan global sepertinya beberapa Negara sepakat untuk mengurangi gas CO2 yang menjadi tersangka utama dari permasalahan ini. Tapi, apakah kita harus menyalahkan CO2 atas bertambah panasnya udara dan mulai mencairnya kutub utara.
Tapi banyak orang bertanya-tanya apa yang membedakan antara iklim dan cuaca sebelum kita bahas yang namanya Global Warming . Cuaca adalah fenomena yang dapat bervariasi dari hari ke hari. Sedang tren jangka panjang disebut iklim. Ketika tren ini berubah maka kita bicara tentang perubahan iklim. Pada skala global, ini disebut Global Climate Change. Sejak era industri, orang mencatat perubahan iklim ini. Efek ini diduga akibat meningkatnya karbon dioksida (CO2) di atmosfir sebagai dampak pembakaran hidrokarbon baik bahan bakar fossil, hutan maupun sampah, sehingga sinar inframerah dari matahari lebih banyak terperangkap di atmosfir. Karena efek semacam ini mirip yang dirasakan di rumah-rumah kaca, maka disebut Efek Rumah Kaca (Greenhouse effect) dan CO2 disebut juga "gas rumah kaca" (Greenhouse-Gas/GHG). Dan karena efeknya memanaskan secara global, maka disebut "global warming".
Begitulah bahasa ilmiah membahasakan pemanasan global. Selaku orang sastra, walau bermain dalam cakupan kata tapi pemanasan global sungguh-sungguh membahayakan inspirasi sastrawan dalam melakukan penulisan. Dengan bertambahnya iklim yang panas, maka tentu alam menjadi tidak menentu dan akan ikut pula terkikis di dalamnya kenangan indah para sastrawan dan inspirasi alam yang mulai menghilang. Global Warming pada akhirnya, membuat kertas dan daun menjadi langka, pelepah kering mudah terbakar dan lenyap dan kesemuanya melenyapkan sastrawan beserta hasil-hasilnya.
Sepertinya, sastrawan harus menjadi orang yang menulis ilmiah, menyelamatkan kisah dunia dari pemanasan global dan berubah menjadi orang yang peduli terhadap kondisi lingkungan. Karena memerlukan riset jangka panjang seperti ini, maka sebagian orang masih berbeda pendapat tentang dimensi efek global warming. Ada yang menganggap efek ini akan dinetralisir oleh peningkatan reaktivitas lautan secara alami.
Namun mau tak mau kita tetap harus mempersiapkan diri. Masalahnya, iklim tidak dapat diatasi dalam waktu singkat. Kalau kemarau panjang terjadi, sedang lahan pertanian terlanjur ditanami dengan padi yang sangat butuh air, maka akan terjadi krisis pangan. Karena itu memang pemerintah perlu mengarahkan agar dunia pertanian mengantisipasi hal itu. Ribuan kilometer sistem irigasi harus segera direvitalisasi. Bibit padi yang disiapkan harus juga yang lebih tahan kekeringan. Agar ketika terjadi perubahan iklim kegagalan panen atau puso tidak melanda para petani Indonesia.
Namun di sisi lain, sistem pemantauan cuaca kita juga harus terus dibangun. Jaringannya perlu diperpadat, komputernya dimodernisir dan SDM-nya ditingkatkan profesionalitas dan kesejahteraannya. Sistem ini juga harus diintegrasikan ke jaringan pemantau cuaca global, termasuk yang berbasis satelit. Akurasinya harus ditingkatkan, agar ramalan iklim ini memang prediksi yang ilmiah, bukan sekedar isu murahan yang dimanfaatkan segelintir pengusaha untuk mendapatkan proyek pengadaan beras impor atau justifikasi kebakaran hutan � yang sebenarnya telah disengaja. Sepertinya itu semua sekedar mimpi. Perhatian masyarakat apalagi pemerintah terhadap masalah ini kurang. Jangan mengharap jaringan komputer pengendali iklim dan teknologi lainnya bagus, sedangkan pemerintah sepertinya hanya melakukan tebang pilih dalam masalah pemberantasan pemanasan global.
Sejak masa pencatatan temperatur secara ilmiah dan teratur selama 100 tahun terakhir, tercatat suhu bumi naik 0,75� C. Yang mencolok, setelah 1950, tren kenaikan suhu terlihat cukup konsisten dengan sekitar 0,25� C per dekade untuk daratan dan 0,13� C per dekade untuk lautan.
Kita juga merasakan bahwa efek rumah kaca ini, mengakibatkan lingkungan kita tidak bersahabat. Perubahan iklim ini memaksa, musim hujan dan kemarau di Indonesia tidak menentu. Selain mengakibatkan musim panen yang berubah, ternyata daerah perluasan banjir semakin meluas dan banjir rob, abrasi, erosi dan kerusakan hutan yang tak kunjung usai. Sementara itu, lingkungan hijau ruang lingkupnya semakin tipis dan reboisasi yang sekedar tanam tanpa perawatan menambah cerita lengkap derita Lingkungan hidup.
Sumber Gas Rumah Kaca
Selama ini AS adalah "juara" penghasil CO2, yaitu 39% dunia. Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia. Artinya, jumlah CO2 dari seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.
Selama ini sektor yang paling banyak menghasilkan CO2 adalah energi (baik untuk industri maupun transportasi). AS menghembuskan hampir 6500 Mega Ton CO2-equivalen, di mana 95% dari sektor energi. Sebagai pembanding, Indonesia hanya menghembuskan kurang dari 400 Mega Ton CO2-equivalen, meski jumlah penduduk Indonesia sudah mendekati penduduk AS. Namun karena di Indonesia sering terjadi kebakaran hutan, baik disengaja atau tidak, Indonesia "menyumbang" CO2 sebanyak 3000 Mega Ton CO2-equivalen.
Negara-negara maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini. Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan data Greenhouse gas-inventory.
Namun setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi, yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8) sudah berada pada "zona nyaman", sehingga malas untuk berubah; (2) di dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global; dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup. Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat � yang menolak meratifikasi protokol Kyoto tadi.
Maka semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang baru.
Ini sesuai firman-Nya di dalam Al-Quran: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)
Sepertinya kita harus mulai ramah menciptakan teknologi ramah lingkungan. Sepertinya beberapa teknologi ini cukup pantas, mengurangi angka CO2.
Pertanian dan Konsumsi Makanan
Pola konsumsi paling ramah lingkungan adalah vegetarian. Dari bahan nabati yang sama, bila dikonsumsi langsung, manusia mendapatkan tujuh kali lipat nutrisi daripada jika bahan nabati itu digunakan untuk pakan ternak yang lalu dikonsumsi dagingnya.
Dapur modern yang rendah pemakaian energi (misalnya oven microwave) juga mestinya lebih ramah lingkungan. Demikian juga lemari pendingin yang bebas CFC. CFC adalah perusak lapisan ozon di atmosfir.
Masalah pangan juga terkait erat dengan sampah. Salah satu halnya adalah mulai banyaknya masyarakat yang ingin efisien dan praktis. Sehingga makanan kemasan lebih laku di pasaran. Permasalahannya adalah, kemasan yang ada saat ini akan sulit teruraikan, bahkan menurut penelitian butuh ratusan tahun untuk melenyapkannya menajd idebu secara alami.
Saat ini sampah terbesar memang dari sektor pangan. Teknologi pengolah sampah, baik dari sisi pemisahan, daur ulang dan penghancuran jelas sangat diperlukan ketika volume sampah makin besar. Namun tentu lebih baik jika sampah ini dapat dihindari dengan mengubah pola kemasan pangan ke wadah pakai ulang. Dalam hal ini, teknologi bioproses untuk menghancurkan sampah dapat dipandang lebih ramah lingkungan daripada teknologi kimia.
Bioteknologi termasuk yang sangat diharapkan membantu menemukan bibit unggul tahan hama dan kekeringan yang pada lahan yang sama dapat menghasilkan pangan lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat. Namun berbagai manipulasi transgenik membuat ketakutan tersendiri akan munculnya spesies baru yang justru dalam jangka panjang tidak ramah lingkungan.
Energi
Energi matahari adalah energi yang terramah lingkungan. Dibanding dengan mesin pengering, mengeringkan cucian di terik matahari itu ramah lingkungan, hanya perlu didesain saja jemuran yang praktis dan tidak membuat kesan kumuh. Demikian juga memanaskan air untuk mandi dengan menjemur air. Kalau dalam jumlah besar dan untuk disimpan memang perlu solar-collector lengkap dengan tankinya. Teknologinya sebenarnya sederhana dan murah, namun bisa cukup menghemat listrik atau gas, terutama untuk dunia perhotelan.
Dengan sistem ventilasi yang benar, desain gedung-gedung kita bisa menghemat penerangan maupun pendingin udara. Apalagi jika gaya pakaian kita menyesuaikan. Di Indonesia ini gaya busana yang latah meniru penjajah: untuk acara resmi kita pakai jas dan dasi, lantas agar tidak kegerahan, kita setel AC yang "sedingin kutub", seakan kita memelihara pinguin di sana. Kita perlu berkaca dengan rekan-rekan kita sesama daerah tropis seperti Thailand atau Filipina, yang mengatur seragam dinas pegawai berupa T-shirt berkerah!
Di Jerman dan Jepang yang kesadaran lingkungan sudah tinggi banyak dikembangkan eco-house yang memadukan berbagai fungsi rumah secara maksimal. Dinding luar berselimut tanaman rambat. Atap berlapis solar panel. Aliran air dan udara dipikir masak-masak, misalnya air pemanas ruangan dapat dipakai mandi dan limbahnya dipakai menggelontor tinja. Septic-tank menghasilkan gas methan yang dapat dipakai menambah energi untuk dapur.
Kendaraan
Sepertinya kita layak memikirkan sepeda sebagai sarana alternatif mengurangi pembuangan gas CO2 . Asal tentu pembuatan jalan bersepeda, seperti di China dan Jepang diseriusi oleh pemerintah. Apalagi tren yang berkembang kekinian di kalangan eksekutif adalah bycycle to work.
Untuk beban yang sedikit berat di medan yang datar, becak dan pedati sebenarnya juga ramah lingkungan. Namun untuk jarak jauh dan beban raksasa, tentu saja kereta listrik lebih ramah lingkungan. Listriknya bisa dibangkitkan terpusat pada Pusat Listrik Tenaga Air, Panas Bumi atau sejenisnya. Kendaraan umum seperti bus juga lebih ramah lingkungan dibanding mobil pribadi. Lebih ramah lagi jika menggunakan baterei listrik. Di Swiss sudah 20 tahun digunakan bus listrik dengan baterei berupa gandengan kecil, yang jika mendekati kosong gampang diganti dengan yang penuh, sambil menunggu yang kosong diisi ulang.
Saat ini, mobil listrik baru dipakai secara terbatas di bandara atau rumah sakit. Namun beberapa industri mobil sudah meluncurkan mobil hybrid (misalnya Toyota Prios), yang berpenggerak listrik dan bensin. Saat macet, mesin listrik yang bekerja. Saat kecepatan optimal, mesin bensin akan mengambil alih. Jika diperlambat, energi mesin bensin dipakai untuk mengisi baterei.
Pada level sederhana, banyak inovasi juga dapat digunakan pada kendaraan biasa. Misalnya alat tambahan yang dapat dipasang untuk mengoptimalkan pembakaran. Pabrik mobil juga berlomba mengembangkan "3-liter-cars" � mobil yang dengan 3 liter bensin dapat menempuh jarak 100 Km.
Kita pun harus dapat memanfaatkan teknologi matahari seabgai energi kendaraan. Syaratnya, ya mereka yang punya kekuatan riset dan teknologi terus berusaha menciptakan mobil energi matahari yang murah dan dapat memuat banyak orang. Bahkan di ITS, sempat muncul mobil dengan bahan bakar air di mana 70 % adalah air murni.
Informasi dan Komunikasi
Komunikasi elektronik adalah sangat ramah lingkungan jika diterapkan dengan tepat. Telekomunikasi akan mengurangi kebutuhan transportasi, berarti hemat energi. Informasi juga dapat disebarkan tanpa kertas (paperless) sehingga mengurangi jumlah pohon yang harus ditebang.
Teknologi kertas daur ulang juga termasuk bagian upaya ramah lingkungan di sektor informasi. Dalam hal ini, tinggal menunggu kesadaran para penerbit. Jika di Indonesia, para penerbit justru berlomba menggunakan kertas yang putih agar terkesan lux, di luar negeri getol dikembangkan kertas daur ulang. Konon untuk mencetak novel Harry Potter 7, sampai dikembangkan 32 jenis baru kertas daur ulang. Penerbit di Kanada menggunakan kertas daur ulang 100%, sementara di Amerika baru 30%. Upaya ini sudah membuat edisi bahasa Inggris novel ini menghemat penebangan hampir 200 ribu pohon dan 8 juta kg gas rumah kaca.
Di sisi lain, gerakan pelestarian hutan dan penanaman pohon harus digalakkan, baik secara individual, korporasi maupun negara. Dalam 12 tahun (1991-2003), Indonesia sudah kehilangan 68 juta hektar hutan, atau sekitar 10 hektar per menit! Bayangkan, hutan seluas 15x lapangan bola lenyap setiap menit!
Boleh kita renungkan kembali sebuah hadits yang cocok menemani kita untuk merencanakan Lingkungan Hidup yang ramah, "Andaikan kiamat terjadi sore hari, di pagi hari seorang muslim tetap akan menanam sebuah pohon", dan di hadits lain, "Andaikata buah pohon itu dinikmati oleh ulat atau burung, maka itu tetap terhitung sedekah dari yang menanamnya".
Kembali saya menjadi seorang sastra yang memberikan makna dan kata menyambut datangnya pesona lingkungan yang asri dan indah.
sumber : http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzM4Mw==