Gusnan
16th June 2016, 05:19 AM
https://x.detik.com/detail/intermeso/20160614/Hillary-Clinton/images/hillary-clinton-di-florida,-2016-gettyimages-515773092-a0fl45.png
INTERMESO
"Mulai sekarang, bukan hal luar biasa untuk berpikir bahwa perempuan juga bisa menjadi Presiden Amerika."
Hillary menemui pendukungnya di Florida beberapa waktu lalu.
Foto: Getty Images
Rabu, 15 Juni 2016
Sejak jauh-jauh hari, teman-temannya percaya bahwa suatu hari nanti Hillary Rodham Clinton akan jadi pemimpin.
"Banyak di antara kami berpikir bahwa Hillary akan menjadi presiden perempuan pertama.... Jika dalam hidup kami akan ada Presiden Amerika perempuan, ia adalah Hillary," kata Karen Williamson, teman sekelas Hillary di Wellesley College, kepada Boston Globe, beberapa tahun lalu.
Teman-teman sekolah dan kuliahnya tahu, di balik kacamata tebalnya, Hillary punya cadangan energi dan semangat yang tak ada habis-habisnya. Dia perempuan yang sangat cerdas, sangat fokus, sangat disiplin, kadang agak kurang sabar, dan tak gampang menyerah. Semangat kompetisi jadi DNA-nya.
Dia selalu sangat serius untuk hal-hal yang dia pedulikan, tapi dia juga bisa lucu dan cair." "Hillary selalu tertarik berkompetisi," kata Dorothy Rodham, sang ibu. Sejak kecil, Hillary tak suka menjadi orang kedua, apalagi menjadi bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Di kelas, Hillary selalu jadi juara. "Dia selalu menjadi pemimpin di antara anak-anak. Orang lain bertanya kepada dia apa yang harus dilakukan saat bermain."
Pengalaman terus bertambah, tapi dalam banyak hal, di mata teman-temannya, Hillary tak banyak berubah. "Ada banyak perempuan pintar di Wellesley, tapi di antara mereka, Hillary tetap menonjol.... Dia punya karisma. Kepemimpinan, fokus, dan kedewasaan Hillary membuat dia tetap menonjol, bahkan di tempat yang penuh perempuan berbakat," kata Nancy Gist, teman sekelas Hillary di kampus khusus perempuan Wellesley.
Kendati ambisius dan sering tampak sangat serius, bukan berarti Hillary bukan teman yang asyik. Walaupun jadwalnya di kampus dipadati kuliah dan kegiatannya sebagai aktivis kampus, di sela-sela waktu dia masih sempat menikmati lagu-lagu Rolling Stones, The Beatles, dan Buffalo Springfield bersama teman-temannya.
https://x.detik.com/detail/intermeso/20160614/Hillary-Clinton/images/hillary-clinton-%28kedua-dari-kiri%29-dalam-diskusi-mahasiswa-di-wellesley-college-kredit-reuters-4cf5y0.png Hillary Clinton (kedua dari kiri) dalam diskusi mahasiswa di Wellesley
Foto: Wellesley College Archives/Handout via Reuters
"Ada sisi Hillary yang suka bermain, bersenang-senang," kata Jan Piercy, teman lama Hillary. Dua sisi inilah yang membuat Hillary sangat populer di antara teman-temannya. "Dia selalu sangat serius untuk hal-hal yang dia pedulikan, tapi dia juga bisa lucu dan cair," ujar Eleanor Acheson, teman seangkatannya di Wellesley.
Wellesley menjadi satu titik penting dalam perjalanan Hillary. Di Wellesley, Hillary mulai kenal dekat dengan isu rasialisme. Dari sekitar 400 mahasiswi seangkatannya, hanya ada enam orang keturunan Afrika. Di antaranya adalah Karen Williamson, Janet Hill, kini anggota dewan direksi Grup Carlyle, dan Nancy Gist, pengacara di Washington, DC.
"Aku mengalami gegar budaya.... Aku tumbuh besar di New Orleans, di lingkungan yang masih menerapkan pemisahan rasial," Janet menuturkan kepada majalah New Yorker, beberapa pekan lalu. "Dan tiba-tiba aku masuk di Wellesley, di lingkungan yang didominasi kulit putih." Janet nyaris keluar dari kampus Wellesley. Hillary-lah yang memberinya semangat untuk bertahan.
Teman kulit hitam merupakan sesuatu yang baru untuk Hillary, yang tumbuh besar di lingkungan kelas menengah kulit putih. "Tapi yang aku suka dari Hillary, kami seperti bukan sesuatu yang baru baginya," kata Nancy Gist. "Dia orang yang lucu dan hangat." Menurut Karen, Hillary-lah orang pertama yang meneleponnya menyampaikan simpati ketika Martin Luther King Jr., pemimpin gerakan antidiskriminasi rasial terhadap keturunan Afrika, tewas dibunuh pada April 1968. "Aku sangat tersentuh," kata Karen.
https://x.detik.com/detail/intermeso/20160614/Hillary-Clinton/images/hillary-clinton-berpidato-saat-wisuda-di-wellesley-college,-1969-kredit-reuters-ioirn2.png Hillary Clinton berpidato saat wisuda di Wellesley College, 1969
Foto: Wellesley College Archives/Handout via Reuters
Di kampus Wellesley pula, Hillary, yang dibesarkan di keluarga konservatif republiken, makin condong ke "kiri", makin dekat dengan kelompok Demokrat. Saat datang ke Wellesley, Hillary adalah pendukung Barry Goldwater, senator sayap kanan republiken. Di Wellesley, Hillary menjadi Presiden Republiken Muda. Namun perlahan, dia mulai meninggalkan paham Republik.
Suatu kali, Hillary menghampiri temannya, Connie Shapiro, dan menyodorkan sebotol parfum yang masih penuh terisi dan baru saja dia beli. Dia minta tolong Connie mengembalikan parfum itu ke toko. "Aku tanya mengapa? Dia jawab bahwa parfum itu satu kemewahan. Dia merasa bersalah bermewah-mewah, sementara di sekelilingnya banyak sekali orang miskin," Connie menuturkan pengalamannya dengan Hillary kepada New York Times.
* * *
https://x.detik.com/detail/intermeso/20160614/Hillary-Clinton/images/hillary-clinton-saat-wisuda-di-wellesley-college,-1969-kredit-reuters-u6d3nx.png Hillary Clinton saat wisuda di Wellesley College, 1969
Foto: Wellesley College Archives/Handout via Reuters
Jika melulu mengikuti model pemilihan Presiden Amerika yang dibuat oleh Ray Fair, ekonom dari Universitas Yale, sangat kecil kemungkinan Hillary Rodham Clinton bakal bisa menduduki kursi nomor satu di Gedung Putih, kursi Presiden Amerika Serikat.
Seperti dikutip Fareed Zakaria, dalam kolomnya di Washington Post, bukan cuma lantaran perekonomian Amerika masih "masuk angin", tapi sepanjang sejarah, sangat langka satu partai politik bisa mengirimkan calonnya tiga kali berturut-turut ke Gedung Putih. Barack Obama, yang disokong oleh Partai Demokrat, sudah dua kali berturutan menang dalam pemilihan presiden. Jika Hillary, yang juga diusung Partai Demokrat, bisa menekuk Donald Trump, dia akan mencatat sejarah. Hampir 30 tahun lalu, George H.W. Bush menang pemilihan Presiden Amerika dan menjadi "hat trick" bagi Partai Republik. Setengah abad sebelumnya, Franklin D. Roosevelt membuat hal serupa.
https://x.detik.com/detail/intermeso/20160614/Hillary-Clinton/images/hillary-clinton-di-washington-dc,-juni-2016-kredit-reuters-v86mq5.png
Hillary Clinton di Washington, DC, beberapa waktu lalu
Foto: Gary Cameron/Reuters
Tapi politik dan ilmu sosial, menurut Herbert Simon, ekonom sekaligus profesor politik di Universitas Carnegie Mellon, tak akan pernah mencapai derajat kepastian seperti sains. "Karena subyek penelitiannya obyek yang berpikir. Kita bukanlah partikel, tapi manusia," kata Herbert Simon, dikutip Fareed Zakaria di kolomnya. Dus, tak ada yang bisa memastikan apakah Hillary, atau malah Donald Trump, yang jadi pemenangnya dalam pemilihan Presiden Amerika pada November nanti.
Dalam politik, segala hal bisa terjadi. Seperti pidato Hillary Clinton saat diwisuda di Wellesley College hampir setengah abad silam. "Tantangan dalam politik saat ini adalah bagaimana membuat sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin," kata Hillary.
Delapan tahun lalu, tak sedikit yang meramal, setelah kalah dalam pencalonan presiden dari Partai Demokrat dari Barack Obama, Hillary Clinton tak akan punya peluang lagi untuk maju kembali. Guardian dan Gawker menulis, "Apakah masa pasangan Clinton sudah tamat?" Mereka yang meramal seperti itu barangkali tak kenal betul dengan pasangan Bill-Hillary Clinton. "Politik adalah bahan bakar roket yang menggerakkan mereka," kata Sally Bedell Smith, penulis buku soal pasangan ini, For Love of Politics.
https://x.detik.com/detail/intermeso/20160614/Hillary-Clinton/images/para-pendukung-hillary-clinton-di-washington-dc,-juni-2016-kredit-gary-cameron-reuters-3ipore.png Para pendukung Hillary Clinton di Washington, DC, beberapa waktu lalu
Foto: Gary Cameron/Reuters
Sepanjang karier politik mereka, bukan kali itu saja Hillary dan Bill Clinton jatuh tersuruk. Pada 1998, Bill Clinton nyaris tersungkur dari kursi Presiden Amerika setelah skandal seksnya dengan anak magang di Gedung Putih, Monica Lewinsky, terbongkar. Entah seperti apa wajah Hillary kala itu. Tapi terbukti skandal memalukan itu tak menamatkan karier politik mereka. Demikian pula kekalahan Hillary pada 2008.
Bagi Hillary, tak ada yang mustahil dalam politik. Puluhan tahun lalu, tak mungkin seorang perempuan bisa menjadi calon Presiden Amerika. Hillary sudah membuktikan bahwa hal itu mungkin terjadi. "Mulai sekarang, bukan hal luar biasa untuk berpikir bahwa perempuan juga bisa menjadi Presiden Amerika," kata Hillary, dikutip Vanity Fair. Dia sudah menjadi yang pertama, dan boleh jadi, akan menjadi Presiden Amerika perempuan yang pertama. Lari Hillary, terus lari.
INTERMESO
"Mulai sekarang, bukan hal luar biasa untuk berpikir bahwa perempuan juga bisa menjadi Presiden Amerika."
Hillary menemui pendukungnya di Florida beberapa waktu lalu.
Foto: Getty Images
Rabu, 15 Juni 2016
Sejak jauh-jauh hari, teman-temannya percaya bahwa suatu hari nanti Hillary Rodham Clinton akan jadi pemimpin.
"Banyak di antara kami berpikir bahwa Hillary akan menjadi presiden perempuan pertama.... Jika dalam hidup kami akan ada Presiden Amerika perempuan, ia adalah Hillary," kata Karen Williamson, teman sekelas Hillary di Wellesley College, kepada Boston Globe, beberapa tahun lalu.
Teman-teman sekolah dan kuliahnya tahu, di balik kacamata tebalnya, Hillary punya cadangan energi dan semangat yang tak ada habis-habisnya. Dia perempuan yang sangat cerdas, sangat fokus, sangat disiplin, kadang agak kurang sabar, dan tak gampang menyerah. Semangat kompetisi jadi DNA-nya.
Dia selalu sangat serius untuk hal-hal yang dia pedulikan, tapi dia juga bisa lucu dan cair." "Hillary selalu tertarik berkompetisi," kata Dorothy Rodham, sang ibu. Sejak kecil, Hillary tak suka menjadi orang kedua, apalagi menjadi bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Di kelas, Hillary selalu jadi juara. "Dia selalu menjadi pemimpin di antara anak-anak. Orang lain bertanya kepada dia apa yang harus dilakukan saat bermain."
Pengalaman terus bertambah, tapi dalam banyak hal, di mata teman-temannya, Hillary tak banyak berubah. "Ada banyak perempuan pintar di Wellesley, tapi di antara mereka, Hillary tetap menonjol.... Dia punya karisma. Kepemimpinan, fokus, dan kedewasaan Hillary membuat dia tetap menonjol, bahkan di tempat yang penuh perempuan berbakat," kata Nancy Gist, teman sekelas Hillary di kampus khusus perempuan Wellesley.
Kendati ambisius dan sering tampak sangat serius, bukan berarti Hillary bukan teman yang asyik. Walaupun jadwalnya di kampus dipadati kuliah dan kegiatannya sebagai aktivis kampus, di sela-sela waktu dia masih sempat menikmati lagu-lagu Rolling Stones, The Beatles, dan Buffalo Springfield bersama teman-temannya.
https://x.detik.com/detail/intermeso/20160614/Hillary-Clinton/images/hillary-clinton-%28kedua-dari-kiri%29-dalam-diskusi-mahasiswa-di-wellesley-college-kredit-reuters-4cf5y0.png Hillary Clinton (kedua dari kiri) dalam diskusi mahasiswa di Wellesley
Foto: Wellesley College Archives/Handout via Reuters
"Ada sisi Hillary yang suka bermain, bersenang-senang," kata Jan Piercy, teman lama Hillary. Dua sisi inilah yang membuat Hillary sangat populer di antara teman-temannya. "Dia selalu sangat serius untuk hal-hal yang dia pedulikan, tapi dia juga bisa lucu dan cair," ujar Eleanor Acheson, teman seangkatannya di Wellesley.
Wellesley menjadi satu titik penting dalam perjalanan Hillary. Di Wellesley, Hillary mulai kenal dekat dengan isu rasialisme. Dari sekitar 400 mahasiswi seangkatannya, hanya ada enam orang keturunan Afrika. Di antaranya adalah Karen Williamson, Janet Hill, kini anggota dewan direksi Grup Carlyle, dan Nancy Gist, pengacara di Washington, DC.
"Aku mengalami gegar budaya.... Aku tumbuh besar di New Orleans, di lingkungan yang masih menerapkan pemisahan rasial," Janet menuturkan kepada majalah New Yorker, beberapa pekan lalu. "Dan tiba-tiba aku masuk di Wellesley, di lingkungan yang didominasi kulit putih." Janet nyaris keluar dari kampus Wellesley. Hillary-lah yang memberinya semangat untuk bertahan.
Teman kulit hitam merupakan sesuatu yang baru untuk Hillary, yang tumbuh besar di lingkungan kelas menengah kulit putih. "Tapi yang aku suka dari Hillary, kami seperti bukan sesuatu yang baru baginya," kata Nancy Gist. "Dia orang yang lucu dan hangat." Menurut Karen, Hillary-lah orang pertama yang meneleponnya menyampaikan simpati ketika Martin Luther King Jr., pemimpin gerakan antidiskriminasi rasial terhadap keturunan Afrika, tewas dibunuh pada April 1968. "Aku sangat tersentuh," kata Karen.
https://x.detik.com/detail/intermeso/20160614/Hillary-Clinton/images/hillary-clinton-berpidato-saat-wisuda-di-wellesley-college,-1969-kredit-reuters-ioirn2.png Hillary Clinton berpidato saat wisuda di Wellesley College, 1969
Foto: Wellesley College Archives/Handout via Reuters
Di kampus Wellesley pula, Hillary, yang dibesarkan di keluarga konservatif republiken, makin condong ke "kiri", makin dekat dengan kelompok Demokrat. Saat datang ke Wellesley, Hillary adalah pendukung Barry Goldwater, senator sayap kanan republiken. Di Wellesley, Hillary menjadi Presiden Republiken Muda. Namun perlahan, dia mulai meninggalkan paham Republik.
Suatu kali, Hillary menghampiri temannya, Connie Shapiro, dan menyodorkan sebotol parfum yang masih penuh terisi dan baru saja dia beli. Dia minta tolong Connie mengembalikan parfum itu ke toko. "Aku tanya mengapa? Dia jawab bahwa parfum itu satu kemewahan. Dia merasa bersalah bermewah-mewah, sementara di sekelilingnya banyak sekali orang miskin," Connie menuturkan pengalamannya dengan Hillary kepada New York Times.
* * *
https://x.detik.com/detail/intermeso/20160614/Hillary-Clinton/images/hillary-clinton-saat-wisuda-di-wellesley-college,-1969-kredit-reuters-u6d3nx.png Hillary Clinton saat wisuda di Wellesley College, 1969
Foto: Wellesley College Archives/Handout via Reuters
Jika melulu mengikuti model pemilihan Presiden Amerika yang dibuat oleh Ray Fair, ekonom dari Universitas Yale, sangat kecil kemungkinan Hillary Rodham Clinton bakal bisa menduduki kursi nomor satu di Gedung Putih, kursi Presiden Amerika Serikat.
Seperti dikutip Fareed Zakaria, dalam kolomnya di Washington Post, bukan cuma lantaran perekonomian Amerika masih "masuk angin", tapi sepanjang sejarah, sangat langka satu partai politik bisa mengirimkan calonnya tiga kali berturut-turut ke Gedung Putih. Barack Obama, yang disokong oleh Partai Demokrat, sudah dua kali berturutan menang dalam pemilihan presiden. Jika Hillary, yang juga diusung Partai Demokrat, bisa menekuk Donald Trump, dia akan mencatat sejarah. Hampir 30 tahun lalu, George H.W. Bush menang pemilihan Presiden Amerika dan menjadi "hat trick" bagi Partai Republik. Setengah abad sebelumnya, Franklin D. Roosevelt membuat hal serupa.
https://x.detik.com/detail/intermeso/20160614/Hillary-Clinton/images/hillary-clinton-di-washington-dc,-juni-2016-kredit-reuters-v86mq5.png
Hillary Clinton di Washington, DC, beberapa waktu lalu
Foto: Gary Cameron/Reuters
Tapi politik dan ilmu sosial, menurut Herbert Simon, ekonom sekaligus profesor politik di Universitas Carnegie Mellon, tak akan pernah mencapai derajat kepastian seperti sains. "Karena subyek penelitiannya obyek yang berpikir. Kita bukanlah partikel, tapi manusia," kata Herbert Simon, dikutip Fareed Zakaria di kolomnya. Dus, tak ada yang bisa memastikan apakah Hillary, atau malah Donald Trump, yang jadi pemenangnya dalam pemilihan Presiden Amerika pada November nanti.
Dalam politik, segala hal bisa terjadi. Seperti pidato Hillary Clinton saat diwisuda di Wellesley College hampir setengah abad silam. "Tantangan dalam politik saat ini adalah bagaimana membuat sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin," kata Hillary.
Delapan tahun lalu, tak sedikit yang meramal, setelah kalah dalam pencalonan presiden dari Partai Demokrat dari Barack Obama, Hillary Clinton tak akan punya peluang lagi untuk maju kembali. Guardian dan Gawker menulis, "Apakah masa pasangan Clinton sudah tamat?" Mereka yang meramal seperti itu barangkali tak kenal betul dengan pasangan Bill-Hillary Clinton. "Politik adalah bahan bakar roket yang menggerakkan mereka," kata Sally Bedell Smith, penulis buku soal pasangan ini, For Love of Politics.
https://x.detik.com/detail/intermeso/20160614/Hillary-Clinton/images/para-pendukung-hillary-clinton-di-washington-dc,-juni-2016-kredit-gary-cameron-reuters-3ipore.png Para pendukung Hillary Clinton di Washington, DC, beberapa waktu lalu
Foto: Gary Cameron/Reuters
Sepanjang karier politik mereka, bukan kali itu saja Hillary dan Bill Clinton jatuh tersuruk. Pada 1998, Bill Clinton nyaris tersungkur dari kursi Presiden Amerika setelah skandal seksnya dengan anak magang di Gedung Putih, Monica Lewinsky, terbongkar. Entah seperti apa wajah Hillary kala itu. Tapi terbukti skandal memalukan itu tak menamatkan karier politik mereka. Demikian pula kekalahan Hillary pada 2008.
Bagi Hillary, tak ada yang mustahil dalam politik. Puluhan tahun lalu, tak mungkin seorang perempuan bisa menjadi calon Presiden Amerika. Hillary sudah membuktikan bahwa hal itu mungkin terjadi. "Mulai sekarang, bukan hal luar biasa untuk berpikir bahwa perempuan juga bisa menjadi Presiden Amerika," kata Hillary, dikutip Vanity Fair. Dia sudah menjadi yang pertama, dan boleh jadi, akan menjadi Presiden Amerika perempuan yang pertama. Lari Hillary, terus lari.