SelorotRed
15th April 2016, 09:48 AM
http://l2.yimg.com/bt/api/res/1.2/_etdogIejqNj2ZoV4asWQA--/YXBwaWQ9eW5ld3M7cT04NTt3PTMxMA--/http://media.zenfs.com/id-ID/News/TechInAsiaID/startup-cities-map-315x206.png
Darius Cheung: Singapura adalah tujuan pertama di Asia bagi sebagian besar orang barat. Negara ini sering disebut sebagai tempat terbaik untuk hidup di dunia dan diperkirakan akan menyalip Swiss sebagai negara pinggir laut terkaya pada tahun 2020. Dengan kata lain, Singapura adalah negara kaya dan mempunyai infrastruktur bagus termasuk sistem pemerintahan, hukum, dan keuangan yang stabil, bersih, dan efisien, ditambah lagi dengan adanya jaringan transportasi dan IT yang solid, tenaga kerja yang terdidik, masyarakat multikultural yang mampu berbahasa Inggris, dan masih banyak lagi. Meski Singapura mempunyai populasi kecil yaitu hanya lima juta orang, negara ini memiliki tingkat penetrasi internet, mobile, dan smartphone yang kuat, dengan memiliki ARPU sebesar USD 40, dan pasar e-commerce yang bernilai USD 2 miliar dan terus bertumbuh.
Singapura mungkin memiliki ekosistem startup yang paling berkembang di Asia, dengan munculnya banyak startup pada berbagai tahap. Negara ini juga mempunyai akselerator yang sangat aktif seperti JFDI dan banyak pendanaan awal dialirkan sebagai bagian dari skema pendanaan NRF TIS dari pemerintah. Selain itu, ada banyak angel investor seperti co-founder Skype Toivo Annus (yang telah berinvestasi di startup Singapura seperti Coda, Luxola, Redmart, Referral Candy, ADZ, dan Garena).
Singapura adalah titik berkumpulnya startup di Asia dan menjadi launchpad bagi entrepreneur lokal dan juga entrepreneur asing untuk membangun bisnis di negara ini. Singapura memiliki banyak perusahaan lokal (SGCarMart, HungryGoWhere, dll) dan internasional (JobsCentral, Brandtology, TenCube, dll.) yang sudah exit dalam beberapa tahun terakhir, dan juga perusahaan yang sedang berkembang seperti PropertyGuru dan Reebonz.
Meskipun demikian, potensi Singapura sebagai pusat startup di Asia Tenggara terancam oleh aturan imigrasi yang ketat, birokrasi pemerintahan yang terlalu tegas, dan xenophobia yang dialami masyarakatnya. Apalagi dengan munculnya kota-kota terdekat dengan talenta dan pasar domestik yang besar, Singapura harus lebih agresif dan berani mengambil risiko untuk memperkuat posisinya sebagai kota startup.
</div></div></div>
Tokyo, Jepang
Spoiler for Jepang:
http://l1.yimg.com/bt/api/res/1.2/dhMV8mKrYzw_tjbfmvhUtg--/YXBwaWQ9eW5ld3M7cT04NTt3PTYzMA--/http://media.zenfs.com/id-ID/News/TechInAsiaID/tokyo.jpg
Steven Millward: China mungkin mempunyai industri web yang mapan, tapi negara tersebut masih sulit dijamah untuk startup China. Tidak seperti Singapura, pemerintah China kurang mendukung ekosistem startup, dan terdapat banyak perusahaan web di sana yang dengan mudah dan cepat bisa meniru produk utama para startup. Bahkan, lebih besar kemungkinan startup Anda ditiru daripada diakuisisi. Saat ini, aplikasi pemesanan taksi sedang bermunculan – tapi kemudian otoritas mulai mengatur atau bahkan melarang aplikasi ini di beberapa kota. Apa lagi yang startup bisa lakukan? Tidak ada.
Sisi baiknya, ada ekosistem startup yang luar biasa mulai dari startup tahap ide hingga yang sudah memiliki pendanaan besar. Acara startup seperti Startup Weekend dan Barcamp sangat sering diselenggarakan di kota seperti Beijing, Shenzhen, dan Shanghai. Akan bagus jika kompetisi startup juga diselenggarakan (seperti TechCrunch Disrupt atau acara Startup Asia kami) untuk memberi startup lokal dorongan visibilitas, seperti dorongan finansial untuk pemenang. Acara tahunan GMIC Beijing sudah melakukan hal ini, tapi lebih banyak presentasi dan kompetisi tentunya akan semakin bagus.
Terkait pendanaan, banyak pihak yang tertarik untuk melakukan investasi di China. Bidang e-commerce tampaknya mendapat ketertarikan yang terbesar, dengan banyaknya perusahaan seperti Sequoia Ventures, GGV Capital, hingga Bluerun Ventures dari California tertarik pada e-store yang inovatif. Ranah sosial menjadi area yang paling sulit – sulit untuk dimonetasi tapi mudah untuk ditiru – bagi semua orang (kecuali beberapa orang yang beruntung). Dengan nilai e-commerce di China yang mencapai USD 177 miliar pada tahun 2013, tidak heran jika banyak startup yang ingin mencoba ranah bisnis negara ini.
Terkait inkubasi dan akselerasi, Innovation Works yang didirikan oleh Lee Kaifu adalah yang terbesar, dengan menginkubasi lebih dari 50 startup yang diperkirakan berharga senilai lebih dari USD 600 juta.
Innovation Works dapat memberikan pendanaan seri A dan juga pendanaan tahap awal. Selain itu, ada Tisiwi di Hangzhou, dan Chinaccelerator di Dalian.
Kuala Lumpur, Malaysia
Spoiler for Malaysia:
http://l1.yimg.com/bt/api/res/1.2/DdXxyW_asBjL_zdrnkqbVg--/YXBwaWQ9eW5ld3M7cT04NTt3PTYzMA--/http://media.zenfs.com/id-ID/News/TechInAsiaID/kuala-lumpur.jpg
Jamie C. Lin: Taipei merupakan salah satu ekosistem startup yang paling menggeliat di Asia. Ada mailing list Startup Digest Taipei dimana orang-orang membuat post tentang acara startup, dan Anda melihat workshop, forum, dan meetup diadakan di sepanjang minggu. Di Stop by Meet yang diselenggarakan oleh majalah Business Next, atau TO Mixer oleh TechOrange, dua dari acara startup terkenal di Taipei, Anda bisa melihat ratusan founder yang dengan semangat bertukar ide startup mereka. Acara demo juga sering diselenggarakan. IDEAS Show yang diselenggarakan oleh Institute of Information Industry dan Meet Conference oleh Business Next diadakan tiap tahun dan diikuti oleh puluhan startup.
Sementara startup internet yang lebih sukses seperti Lativ, Gamesofa, Mayuki, PubGame, i-Part, dan Bahamut menjalankan bisnis mereka dengan puluhan hingga ratusan karyawan dan menghasilkan angka penjualan senilai puluhan juta dolar, startup kecil memulai perusahaannya hanya dengan beberapa founder di co-working space atau akselerator startup. IEH adalah co -working space terkemuka di negara ini dengan menampung lebih dari 20 startup, sedangkan akselerator AppWorks menampung lebih dari 50 startup.
Terkait investasi, investor yang aktif adalah CyberAgent Ventures, AppWorks Ventures, CID Group, dan TMI Holdings. Para VC lokal mengalirkan dana hampir USD 100 juta untuk ekosistem teknologi di negara ini setiap tahunnya, mendanai 30 sampai 50 startup mulai dari pendanaan tahap awal hingga pendanaan pada tahap pra-IPO.
Peraturan terkait perusahaan dan keamanan yang tidak diperbaharui, kurangnya pemahaman pemerintah Taiwan terhadap bisnis berbasis internet, dan kegagalan mengenali web sebagai platform industri penting dan strategis bisa menghambat startup lokal dan para founder.
Di Taiwan, layanan solusi pembayaran pihak ketiga yang sebanding dengan paypai atau Alipay belum bisa dioperasikan, dan ini dapat menghambat kemampuan e-commerce dan industri konten digital untuk mengumpulkan uang dan juga melindungi penjual dan pembeli dari penipuan. Pemerintah Taiwan juga mewajibkan tujuh hari kebijakan pengembalian untuk e-commerce dan produk konten digital yang dijual oleh retailer online. Tujuh hari mungkin terlalu lama untuk game mobile atau e-book yang akan “dicoba” sebelum calon pembeli memutuskan apakah mereka ingin mengembalikannya, tapi mungkin terlalu pendek untuk produk fisik – seperti Zappos yang menawarkan 360 hari pengembalian untuk sepatu yang dijualnya. Aturan yang kaku seperti ini menunjukkan kurangnya pemahaman pemerintah Taiwan terhadap bisnis berbasis internet. Dan di Taiwan, sebagian besar founder startup berurusan dengan pemerintah daerah terkait berbagai masalah, yang akhirnya memperlambat perkembangan startup di Taiwan.
Hong Kong, China
Spoiler for Hongkong:
http://l2.yimg.com/bt/api/res/1.2/p8txruFdBOa4Eg5fFd.rjg--/YXBwaWQ9eW5ld3M7cT04NTt3PTYzMA--/http://media.zenfs.com/id-ID/News/TechInAsiaID/hong-kong-680x453.jpg
John Kim: ekosistem startup Korea Selatan telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa dalam lima tahun terakhir, tidak hanya bagi perusahaan tapi juga akselerator dan VC. Melihat sekilas ekosistem startup di negara ini, ada dua alasan utama yang mendorong pertumbuhan tersebut.
Pertama, bermunculannya startup yang sukses telah menarik perhatian masyarakat dan menginspirasi entrepreneur muda. Forbes membuat daftar orang terkaya di Korea, dan daftar tersebut kebanyakan didominasi oleh founder perusahaan game miliaran dollar. Perusahaan seperti TicketMonster, Kakao (pembuat KakaoTalk) dan Coupang telah menunjukkan kekuatan tidak hanya dalam segi finansial, tapi juga menembus segmen masyarakat yang lebih luas dengan produk mereka. Tahun lalu, pengaruh komunitas startup semakin melekat di benak publik ketika Ahn Chul Soo, pendiri perusahaan anti-virus Ahnlab, ingin menduduki kursi tertinggi pemerintahan.
Kedua, pemerintah Korea telah menunjukkan dukungan yang luar biasa kepada komunitas startup, sebuah tren yang tampaknya akan terus berlanjut setelah pemilihan presiden baru-baru ini. Ahn pada akhirnya kalah, dan Korea memilih presiden perempuan pertamanya, Park Geun Hye, yang berjanji meningkatkan pendanaan perusahaan dalam kampanyenya.
Takut gagal dan karakteristik budaya lain di perusahaan Korea bisa menjadi hambatan untuk berkembang secara global, dan ini menjadi tantangan bagi startup Korea. Tapi konglomerat seperti Samsung, perusahaan game seperti Nexon, dan band K-pop seperti Big Bang telah mengalami hambatan serupa sebelum akhirnya berhasil memperkenalkan nama Korea di seluruh dunia. Dengan adanya startup yang sukses dan dukungan dari pemerintah, kita bisa melihat hal yang sama juga akan terjadi pada para founder startup.
Jakarta, Indonesia
<div class="spoiler">Spoiler for Jakarta:
<div id="bbcode_spoiler_content" style="margin: 0px; padding: 6px; border: 1px solid #CCC;background: #EEE;color:#000;"><div class="content_spoiler_5710566e13ba3" id="bbcode_inside_spoiler" style="display: none;background: #EEE;">
<span style="display:block; text-align:center;">
Darius Cheung: Singapura adalah tujuan pertama di Asia bagi sebagian besar orang barat. Negara ini sering disebut sebagai tempat terbaik untuk hidup di dunia dan diperkirakan akan menyalip Swiss sebagai negara pinggir laut terkaya pada tahun 2020. Dengan kata lain, Singapura adalah negara kaya dan mempunyai infrastruktur bagus termasuk sistem pemerintahan, hukum, dan keuangan yang stabil, bersih, dan efisien, ditambah lagi dengan adanya jaringan transportasi dan IT yang solid, tenaga kerja yang terdidik, masyarakat multikultural yang mampu berbahasa Inggris, dan masih banyak lagi. Meski Singapura mempunyai populasi kecil yaitu hanya lima juta orang, negara ini memiliki tingkat penetrasi internet, mobile, dan smartphone yang kuat, dengan memiliki ARPU sebesar USD 40, dan pasar e-commerce yang bernilai USD 2 miliar dan terus bertumbuh.
Singapura mungkin memiliki ekosistem startup yang paling berkembang di Asia, dengan munculnya banyak startup pada berbagai tahap. Negara ini juga mempunyai akselerator yang sangat aktif seperti JFDI dan banyak pendanaan awal dialirkan sebagai bagian dari skema pendanaan NRF TIS dari pemerintah. Selain itu, ada banyak angel investor seperti co-founder Skype Toivo Annus (yang telah berinvestasi di startup Singapura seperti Coda, Luxola, Redmart, Referral Candy, ADZ, dan Garena).
Singapura adalah titik berkumpulnya startup di Asia dan menjadi launchpad bagi entrepreneur lokal dan juga entrepreneur asing untuk membangun bisnis di negara ini. Singapura memiliki banyak perusahaan lokal (SGCarMart, HungryGoWhere, dll) dan internasional (JobsCentral, Brandtology, TenCube, dll.) yang sudah exit dalam beberapa tahun terakhir, dan juga perusahaan yang sedang berkembang seperti PropertyGuru dan Reebonz.
Meskipun demikian, potensi Singapura sebagai pusat startup di Asia Tenggara terancam oleh aturan imigrasi yang ketat, birokrasi pemerintahan yang terlalu tegas, dan xenophobia yang dialami masyarakatnya. Apalagi dengan munculnya kota-kota terdekat dengan talenta dan pasar domestik yang besar, Singapura harus lebih agresif dan berani mengambil risiko untuk memperkuat posisinya sebagai kota startup.
</div></div></div>
Tokyo, Jepang
Spoiler for Jepang:
http://l1.yimg.com/bt/api/res/1.2/dhMV8mKrYzw_tjbfmvhUtg--/YXBwaWQ9eW5ld3M7cT04NTt3PTYzMA--/http://media.zenfs.com/id-ID/News/TechInAsiaID/tokyo.jpg
Steven Millward: China mungkin mempunyai industri web yang mapan, tapi negara tersebut masih sulit dijamah untuk startup China. Tidak seperti Singapura, pemerintah China kurang mendukung ekosistem startup, dan terdapat banyak perusahaan web di sana yang dengan mudah dan cepat bisa meniru produk utama para startup. Bahkan, lebih besar kemungkinan startup Anda ditiru daripada diakuisisi. Saat ini, aplikasi pemesanan taksi sedang bermunculan – tapi kemudian otoritas mulai mengatur atau bahkan melarang aplikasi ini di beberapa kota. Apa lagi yang startup bisa lakukan? Tidak ada.
Sisi baiknya, ada ekosistem startup yang luar biasa mulai dari startup tahap ide hingga yang sudah memiliki pendanaan besar. Acara startup seperti Startup Weekend dan Barcamp sangat sering diselenggarakan di kota seperti Beijing, Shenzhen, dan Shanghai. Akan bagus jika kompetisi startup juga diselenggarakan (seperti TechCrunch Disrupt atau acara Startup Asia kami) untuk memberi startup lokal dorongan visibilitas, seperti dorongan finansial untuk pemenang. Acara tahunan GMIC Beijing sudah melakukan hal ini, tapi lebih banyak presentasi dan kompetisi tentunya akan semakin bagus.
Terkait pendanaan, banyak pihak yang tertarik untuk melakukan investasi di China. Bidang e-commerce tampaknya mendapat ketertarikan yang terbesar, dengan banyaknya perusahaan seperti Sequoia Ventures, GGV Capital, hingga Bluerun Ventures dari California tertarik pada e-store yang inovatif. Ranah sosial menjadi area yang paling sulit – sulit untuk dimonetasi tapi mudah untuk ditiru – bagi semua orang (kecuali beberapa orang yang beruntung). Dengan nilai e-commerce di China yang mencapai USD 177 miliar pada tahun 2013, tidak heran jika banyak startup yang ingin mencoba ranah bisnis negara ini.
Terkait inkubasi dan akselerasi, Innovation Works yang didirikan oleh Lee Kaifu adalah yang terbesar, dengan menginkubasi lebih dari 50 startup yang diperkirakan berharga senilai lebih dari USD 600 juta.
Innovation Works dapat memberikan pendanaan seri A dan juga pendanaan tahap awal. Selain itu, ada Tisiwi di Hangzhou, dan Chinaccelerator di Dalian.
Kuala Lumpur, Malaysia
Spoiler for Malaysia:
http://l1.yimg.com/bt/api/res/1.2/DdXxyW_asBjL_zdrnkqbVg--/YXBwaWQ9eW5ld3M7cT04NTt3PTYzMA--/http://media.zenfs.com/id-ID/News/TechInAsiaID/kuala-lumpur.jpg
Jamie C. Lin: Taipei merupakan salah satu ekosistem startup yang paling menggeliat di Asia. Ada mailing list Startup Digest Taipei dimana orang-orang membuat post tentang acara startup, dan Anda melihat workshop, forum, dan meetup diadakan di sepanjang minggu. Di Stop by Meet yang diselenggarakan oleh majalah Business Next, atau TO Mixer oleh TechOrange, dua dari acara startup terkenal di Taipei, Anda bisa melihat ratusan founder yang dengan semangat bertukar ide startup mereka. Acara demo juga sering diselenggarakan. IDEAS Show yang diselenggarakan oleh Institute of Information Industry dan Meet Conference oleh Business Next diadakan tiap tahun dan diikuti oleh puluhan startup.
Sementara startup internet yang lebih sukses seperti Lativ, Gamesofa, Mayuki, PubGame, i-Part, dan Bahamut menjalankan bisnis mereka dengan puluhan hingga ratusan karyawan dan menghasilkan angka penjualan senilai puluhan juta dolar, startup kecil memulai perusahaannya hanya dengan beberapa founder di co-working space atau akselerator startup. IEH adalah co -working space terkemuka di negara ini dengan menampung lebih dari 20 startup, sedangkan akselerator AppWorks menampung lebih dari 50 startup.
Terkait investasi, investor yang aktif adalah CyberAgent Ventures, AppWorks Ventures, CID Group, dan TMI Holdings. Para VC lokal mengalirkan dana hampir USD 100 juta untuk ekosistem teknologi di negara ini setiap tahunnya, mendanai 30 sampai 50 startup mulai dari pendanaan tahap awal hingga pendanaan pada tahap pra-IPO.
Peraturan terkait perusahaan dan keamanan yang tidak diperbaharui, kurangnya pemahaman pemerintah Taiwan terhadap bisnis berbasis internet, dan kegagalan mengenali web sebagai platform industri penting dan strategis bisa menghambat startup lokal dan para founder.
Di Taiwan, layanan solusi pembayaran pihak ketiga yang sebanding dengan paypai atau Alipay belum bisa dioperasikan, dan ini dapat menghambat kemampuan e-commerce dan industri konten digital untuk mengumpulkan uang dan juga melindungi penjual dan pembeli dari penipuan. Pemerintah Taiwan juga mewajibkan tujuh hari kebijakan pengembalian untuk e-commerce dan produk konten digital yang dijual oleh retailer online. Tujuh hari mungkin terlalu lama untuk game mobile atau e-book yang akan “dicoba” sebelum calon pembeli memutuskan apakah mereka ingin mengembalikannya, tapi mungkin terlalu pendek untuk produk fisik – seperti Zappos yang menawarkan 360 hari pengembalian untuk sepatu yang dijualnya. Aturan yang kaku seperti ini menunjukkan kurangnya pemahaman pemerintah Taiwan terhadap bisnis berbasis internet. Dan di Taiwan, sebagian besar founder startup berurusan dengan pemerintah daerah terkait berbagai masalah, yang akhirnya memperlambat perkembangan startup di Taiwan.
Hong Kong, China
Spoiler for Hongkong:
http://l2.yimg.com/bt/api/res/1.2/p8txruFdBOa4Eg5fFd.rjg--/YXBwaWQ9eW5ld3M7cT04NTt3PTYzMA--/http://media.zenfs.com/id-ID/News/TechInAsiaID/hong-kong-680x453.jpg
John Kim: ekosistem startup Korea Selatan telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa dalam lima tahun terakhir, tidak hanya bagi perusahaan tapi juga akselerator dan VC. Melihat sekilas ekosistem startup di negara ini, ada dua alasan utama yang mendorong pertumbuhan tersebut.
Pertama, bermunculannya startup yang sukses telah menarik perhatian masyarakat dan menginspirasi entrepreneur muda. Forbes membuat daftar orang terkaya di Korea, dan daftar tersebut kebanyakan didominasi oleh founder perusahaan game miliaran dollar. Perusahaan seperti TicketMonster, Kakao (pembuat KakaoTalk) dan Coupang telah menunjukkan kekuatan tidak hanya dalam segi finansial, tapi juga menembus segmen masyarakat yang lebih luas dengan produk mereka. Tahun lalu, pengaruh komunitas startup semakin melekat di benak publik ketika Ahn Chul Soo, pendiri perusahaan anti-virus Ahnlab, ingin menduduki kursi tertinggi pemerintahan.
Kedua, pemerintah Korea telah menunjukkan dukungan yang luar biasa kepada komunitas startup, sebuah tren yang tampaknya akan terus berlanjut setelah pemilihan presiden baru-baru ini. Ahn pada akhirnya kalah, dan Korea memilih presiden perempuan pertamanya, Park Geun Hye, yang berjanji meningkatkan pendanaan perusahaan dalam kampanyenya.
Takut gagal dan karakteristik budaya lain di perusahaan Korea bisa menjadi hambatan untuk berkembang secara global, dan ini menjadi tantangan bagi startup Korea. Tapi konglomerat seperti Samsung, perusahaan game seperti Nexon, dan band K-pop seperti Big Bang telah mengalami hambatan serupa sebelum akhirnya berhasil memperkenalkan nama Korea di seluruh dunia. Dengan adanya startup yang sukses dan dukungan dari pemerintah, kita bisa melihat hal yang sama juga akan terjadi pada para founder startup.
Jakarta, Indonesia
<div class="spoiler">Spoiler for Jakarta:
<div id="bbcode_spoiler_content" style="margin: 0px; padding: 6px; border: 1px solid #CCC;background: #EEE;color:#000;"><div class="content_spoiler_5710566e13ba3" id="bbcode_inside_spoiler" style="display: none;background: #EEE;">
<span style="display:block; text-align:center;">