PDA

View Full Version : Pilihan Tepat Menteri Gita


JAgoNgulet
15th April 2016, 08:33 AM
Tiga kali Menteri Perdagangan Gita Wiryawan mengajukan pengunduran diri sebagai menteri kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yang terakhir tanggal 29 Januari lalu permohonannya diterima oleh Presiden. Gita memilih mundur karena tidak mau ada konflik kepentingan dalam upayanya maju sebagai calon presiden.



Gita memang sudah memutuskan untuk mengikuti konvensi Partai Demokrat. Dengan itu sebagian waktunya tersita untuk kepentingan pribadinya agar bisa memenangi konvensi. Padahal tugas sebagai Menteri Perdagangan tidak mungkin dikerjakan dengan setengah hati.



Lihat saja misalnya rencana dirinya untuk mengikuti World Economic Forum di Davos, Swiss, pekan lalu. Sebagai menteri perdagangan, ia harus mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia agar bisa merumuskan kebijakan yang tepat untuk kepentingan Indonesia. Namun secara hampir bersamaan, ia harus mengikuti debat di antara peserta konvensi Partai Demokrat di Medan.



Sekarang ketika banjir sedang terjadi di semua wilayah Indonesia, persoalan perdagangan dalam negeri juga menuntut perhatian lebih dari seorang menteri perdagangan. Gita harus memantau pasokan yang ada dan bagaimana persoalan distribusinya. Tanpa ada pengawasan, maka bisa terjadi kelangkaan pasokan dan itu akan berakibat kepada harga yang membebani rakyat serta juga tingkat inflasi.



Belum lagi persoalan yang sedang menghebohkan yakni masuknya beras ilegal dari Vietnam ke pasar. Bagaimana izin impor untuk beras premium bisa disalahgunakan importir dengan memasukkan beras medium sehingga mendistorsi pasar.



Sebagai seorang menteri perdagangan, Gita harus bisa melacak siapa yang bermain di impor beras asal Vietnam itu. Persoalan ini tidak bisa dianggap enteng, karena tindakan seperti itu sudah masuk kategori subversi ekonomi, karena merusak pasar dalam negeri.



Di tengah begitu banyak persoalan yng harus ditangani, Gita harus menghadapi rangkaian debat di antara peserta konvensi. Ketika ia harus menyisihkan waktu untuk kepentingan pribadinya, maka ia pasti mengorbankan kepentingan publik yang harus dijaga.



Dengan kondisi yang pelik seperti itu, maka tepat apabila Gita memutuskan mundur sebagai Menteri Perdagangan. Ia tidak mungkin terlalu sering meninggalkan kepentingan publik, hanya untuk menjaga peluangnya sebagai calon presiden dari Partai Demokrat.



Seperti yang dialami Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundayang yang tidak mungkin meninggalkan tugas sebagai kepala daerah saat Manado dilanda banjir bandang. Sarundayang memutuskan tidak mengikuti debat peserta konvensi di Medan, karena ia pasti akan dikecam masyarakat Manado ketika lebih mementingkan urusan pencapresan daripada mengurus rakyatnya yang sedang kesusahan.



Tradisi baik yang harus kita bangun adalah bagaimana menempatkan tanggung jawab publik di atas kepentingan pribadi. Ketika terjadi benturan kepentingan seperti itu, maka nurani sang pejabatlah yang lebih menentukan.



Sebelumnya kita melihat tradisi yang baik ketika Dino Patti Djalal memutuskan mundur sebagai duta besar di Washington, karena ingin berkonsentrasi sebagai peserta konvensi Partai Demokrat. Dino sudah lebih dulu meletakkan jabatan dan dengan itu ia memiliki keleluasaan memperkenalkan dirinya kepada simpatisan Partai Demokrat.



Selama ini kita memang nyaris tidak mengenal tradisi seperti itu. Jabatan seringkali dilihat sebagai segala-galanya. Orang cenderung mempertahankan jabatan, meski jabatan itu hanya diperuntukkan bagi kepentingan dirinya, karena beranggapan bahwa power is privilege, kekuasaan itu adalah hak istimewa.



Tidak usah heran apabila kemudian yang terjadi adalah salah guna kepentingan. Bagaimana tidak akan ada benturan kepentingan, apabila seorang pejabat pergi ke daerah atas biaya negara, tetapi kemudian melakukan kegiatan untuk kepentingan partai politik atau pribadinya.



Peserta konvensi Partai Demokrat yang menduduki jabatan publik bukan hanya Gita dan Dino saja. Ada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie, ada Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, ada anggota Badan Pemeriksa Keuangan Ali Masykur Musa, ada Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan. Apalagi kalau kita melihat dalam konteks yang lebih besar yakni pejabat negara yang menjadi pimpinan partai politik. Di tengah masa kampanye seperti sekarang, sulit membedakan antara tugas negara dan tugas partai politik.



Berulangkali kita menyampaikan bahwa prinsip utama bagi seorang pejabat negara adalah loyalitas kepada partai berakhir, begitu loyalitas kepada negeri memanggil. Namun begitu sulit untuk menerapkannya di Indonesia, karena sistem politik kita sangatlah feodal.



Oleh karena itu kita menghargai langkah yang dilakukan Gita Wiryawan. Mundurnya Gita tentunya menjadi tugas bagi Presiden untuk mencari penggantinya. Meski waktu tinggal sembilan bulan, namun urusan perdagangan tidak bisa dianggap enteng karena ini berkaitan dengan penerimaan devisa, pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan juga kepada tingkat inflasi serta pembukaan lapangan usaha.



Kalau Presiden memiliki kemampuan dan mau lebih bersusah payah, tentunya pekerjaan itu bisa dirangkap Presiden atau diserahkan kepada Wakil Presiden. Pemerintahan tidak boleh tergantung pada satu orang dan harus diupayakan untuk bisa terus berjalan dengan baik.</div></div></div>