DamarMaliki
13th April 2016, 11:12 AM
http://citralekha.com/wp-content/uploads/2015/03/Supersemar.jpg
Quote:Meski sudah berusia 50 tahun, Supersemar masih menuai kontroversi. Surat perintah bertanggal sebelas maret yang mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan di Republik Indonesia itu menyimpan segudang misteri.
Dari sisi sejarah Supersemar adalah surat yang mengawali peralihan kepemimpinan nasional dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru. Ia juga merupakan surat sakti yang menentukan kelahiran dan keabsahan pemerintahan Soeharto, sekaligus "penyingkiran" Soekarno.
http://i61.tinypic.com/2qjbzvm.png</span>
Pertama, Supersemar yang diterima dari Sekretariat Negara, dengan ciri: jumlah halaman dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi, dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama Sukarno.
Kedua, Supersemar yang diterima dari Pusat Penerangan TNI AD dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, berkop Burung Garuda, ketikan tidak serapi versi pertama. Penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku pada saat itu. Jika pada versi pertama di bawah tanda tangan tertulis nama Sukarno, pada versi kedua tertulis nama Soekarno.
Ketiga, Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua.</span></span>
http://i61.tinypic.com/2qjbzvm.png</span>
Soekardjo menuturkan bahwa saat itu ada empat jenderal yang menghadap Presiden Soekarno. Mereka adalah para anak buah yang diutus Soeharto untuk mendapat surat mandat dari Soekarno. Keempat jenderal itu adalah Mayjen Basuki Rahmat, M Yusuf, Brigjen Amir Mahmud, dan Maraden Panggabean. Mereka sudah siap membawa map berisi dokumen Supersemar yang disusun oleh Alamsyah dan diketik Ali Murtopo dari Badan Pusat Intelijen (BPI).
Saat menerima dokumen itu, Soekarno langsung protes.
"Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!" ungkap Bung Karno seperti yang dituliskan Soekardjo dalam buku Mereka Menodong Soekarno.
Soekardjo yang ada di lokasi saat itu mengamati dengan cermat surat yang dipegang Bung Karno dan memang kop yang disodorkan tidak ada lambang Garuda Pancasila yang berbunyi Presiden Indonesia, yang ada hanyalah kop Mabes AD.
"Untuk mengubah, waktunya sangat sempit. Tandatangani sajalah paduka. Bismillah," sahut Basuki Rachmat yang diikuti oleh M Panggabean sambil mencabut pistolnya.
Soekardjo pun dengan cepat mencabut pistolnya melihat dua jenderal itu bergerak dengan senjata.
"Aku sadar bahwa saat itu keselamatan Presiden Soekarno menjadi tanggung jawabku," kata Soekardjo.
Karena tak ingin ada pertumpahan darah, Soekarno mengalah dan mau menandatangani surat itu.
"Jangan! Jangan! Ya, sudah kalau mandat ini harus kutandatangani, tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman dan tertib, supaya mandat ini dikembalikan kepadaku," ungkap Soekarno.
Keempat jenderal lalu pamit setelah mendapat dokumen yang sudah diteken itu. Mereka kemudian menghadap kembali ke Soeharto untuk menunjukkan bahwa telah ada surat resmi peralihan kekuasaan. Berbekal surat itu, Soeharto merasa telah memegang kuasa eksekutif untuk mengembalikan kondisi Tanah Air ke situasi normal. Dia langsung membubarkan PKI, menangkap sejumlah menteri yang terkait G30S, hingga memenjarakan siapa pun yang memiliki kaitan dengan PKI.</span></span>
BANTAHAN
Quote:Cerita Soekardjo soal penodongan Soekarno ini menimbulkan perdebatan. Sebab, selama ini diketahui hanya ada tiga jenderal yang menghadap Soekarno, selain Maraden Panggabean. Maraden akhirnya berbicara kepada media setelah tulisan kesaksian Soekardjo dimuat media pada Agustus 1998.
"Saya sedih memperhatikan betapa bejat moral dan mentalitas seorang mantan perwira, yang bernama Soekardjo Wilardjito, yang mengisahkan berita bohong," tutur Maraden Panggabean, yang tahun 1966 menjabat Wakil Panglima Angkatan Darat (Kompas, 28 Agustus 1998). Menteri Panglima AD (Menpangad)-nya adalah Letjen TNI Soeharto.
Pada saat penandatanganan Supersemar, Maraden mengaku tidak ada di Bogor, tetapi ada di Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta.
"Saya ingin menegaskan bahwa keterangan yang disampaikan mantan perwira (Soekardjo) tersebut tidak mengandung kebenaran sama sekali," ucap Maraden.
"Khusus mengenai keterangan yang mengatakan bahwa yang melakukan penodongan itu antara lain Mayjen TNI Panggabean, dengan ini saya tegaskan bahwa sikap melakukan penodongan untuk memperoleh sesuatu dengan kekerasan/paksaan tidak pernah menjadi sifat atau kepribadian saya," katanya lagi.
Bantahan kemudian juga disampaikan M Yusuf dan Soebandrio yang ada di lokasi saat Supersemar diteken.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengaku tidak begitu memercayai cerita soal penodongan senjata ini. Namun, yang pasti, Soekarno berada dalam kondisi tertekan saat menandatangani Supersemar.
"Dipaksa dalam arti penodongan juga saya bantah karena tidak mungkin. Karena di sana ada pasukan Cakrabirawa, Ring 1, Ring 2, dan Ring 3. Tidak mungkin juga ada jenderal yang berani menodong Soekarno," kata Asvi dalam wawancara dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
Menurut dia, serentetan peristiwa yang menggerus kekuatan politik Soekarno-lah yang menekan sang proklamator bangsa ini menandatangani Supersemar.
Isi Supersemar itu sebenarnya hanya untuk mengamankan presiden dan keluarga serta mengembalikan kondisi keamanan Tanah Air.
Namun, kalimat "mengambil suatu tindakan yang dipandang perlu" menjadi blunder terbesar Soekarno yang akhirnya membuat dia terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Soeharto selamanya.
"Itu adalah blunder dari Bung Karno, seorang sipil, yang memberikan perintah tidak jelas kepada militer," ucap Asvi.</div></div></div>
PIDATO SOEKARNO TENTANG SUPERSEMAR
http://img.youtube.com/vi/HjYlmqTRAp4/0.jpg
SUMBER (http://www.kompas.com/)
Sejarah Singkat & Kontroversi Supersemar
Quote:1.“Mengambil Suatu Tindakan yang Dianggap Perlu”, Kalimat Fatal dalam Supersemar
Salah satu isi perintah supersemar adalah, meminta Soeharto untuk melindungi Presiden, semua anggota keluarga, hasil karya dan ajarannya. Akan tetapi, Soeharto tidak melaksanakan perintah tersebut dan mengambil tindakan sendiri di luar perintah Presiden Sukarno. tindakan yang dilakukan Soeharto karena Soekarno telah membuat kesalahan fatal dengan mencantumkan kalimat "mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu."
2. Diusir dari Istana, Soekarno Kehilangan Harta
Sidarto adalah ajudan Soekarno, ia mengawal Soekarno sebagai Presiden hanya dua pekan, 6-20 Februari 1967. Setelah itu, kekuasaan beralih kepada Jenderal Soeharto. Di masa-masa itu, Sidarto tetap menjadi ajudan Soekarno meski statusnya disebut sebagai "Presiden nonaktif." Ia kerap mendampingi Soekarno dalam berbagai kegiatan.
Sidarto juga menyaksikan saat Soekarno tidak diperbolehkan masuk ke Istana sekembalinya dari berkeliling Jakarta, sekitar Mei 1967. Ketika itu, Sidarto baru saja mendampingi Soekarno menyantap sate ayam di pinggir pantai Priok atau Cilincing, Jakarta Utara. Sejak saat itu, Soekarno dikenai tahanan kota dan menetap di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Jakarta) sampai akhir 1967.
3. UPDATING
http://s.kaskus.id/images/2014/09/17/2997486_20140917114708.jpg</div></div></div>
Quote:Meski sudah berusia 50 tahun, Supersemar masih menuai kontroversi. Surat perintah bertanggal sebelas maret yang mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan di Republik Indonesia itu menyimpan segudang misteri.
Dari sisi sejarah Supersemar adalah surat yang mengawali peralihan kepemimpinan nasional dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru. Ia juga merupakan surat sakti yang menentukan kelahiran dan keabsahan pemerintahan Soeharto, sekaligus "penyingkiran" Soekarno.
http://i61.tinypic.com/2qjbzvm.png</span>
Pertama, Supersemar yang diterima dari Sekretariat Negara, dengan ciri: jumlah halaman dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi, dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama Sukarno.
Kedua, Supersemar yang diterima dari Pusat Penerangan TNI AD dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, berkop Burung Garuda, ketikan tidak serapi versi pertama. Penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku pada saat itu. Jika pada versi pertama di bawah tanda tangan tertulis nama Sukarno, pada versi kedua tertulis nama Soekarno.
Ketiga, Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua.</span></span>
http://i61.tinypic.com/2qjbzvm.png</span>
Soekardjo menuturkan bahwa saat itu ada empat jenderal yang menghadap Presiden Soekarno. Mereka adalah para anak buah yang diutus Soeharto untuk mendapat surat mandat dari Soekarno. Keempat jenderal itu adalah Mayjen Basuki Rahmat, M Yusuf, Brigjen Amir Mahmud, dan Maraden Panggabean. Mereka sudah siap membawa map berisi dokumen Supersemar yang disusun oleh Alamsyah dan diketik Ali Murtopo dari Badan Pusat Intelijen (BPI).
Saat menerima dokumen itu, Soekarno langsung protes.
"Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!" ungkap Bung Karno seperti yang dituliskan Soekardjo dalam buku Mereka Menodong Soekarno.
Soekardjo yang ada di lokasi saat itu mengamati dengan cermat surat yang dipegang Bung Karno dan memang kop yang disodorkan tidak ada lambang Garuda Pancasila yang berbunyi Presiden Indonesia, yang ada hanyalah kop Mabes AD.
"Untuk mengubah, waktunya sangat sempit. Tandatangani sajalah paduka. Bismillah," sahut Basuki Rachmat yang diikuti oleh M Panggabean sambil mencabut pistolnya.
Soekardjo pun dengan cepat mencabut pistolnya melihat dua jenderal itu bergerak dengan senjata.
"Aku sadar bahwa saat itu keselamatan Presiden Soekarno menjadi tanggung jawabku," kata Soekardjo.
Karena tak ingin ada pertumpahan darah, Soekarno mengalah dan mau menandatangani surat itu.
"Jangan! Jangan! Ya, sudah kalau mandat ini harus kutandatangani, tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman dan tertib, supaya mandat ini dikembalikan kepadaku," ungkap Soekarno.
Keempat jenderal lalu pamit setelah mendapat dokumen yang sudah diteken itu. Mereka kemudian menghadap kembali ke Soeharto untuk menunjukkan bahwa telah ada surat resmi peralihan kekuasaan. Berbekal surat itu, Soeharto merasa telah memegang kuasa eksekutif untuk mengembalikan kondisi Tanah Air ke situasi normal. Dia langsung membubarkan PKI, menangkap sejumlah menteri yang terkait G30S, hingga memenjarakan siapa pun yang memiliki kaitan dengan PKI.</span></span>
BANTAHAN
Quote:Cerita Soekardjo soal penodongan Soekarno ini menimbulkan perdebatan. Sebab, selama ini diketahui hanya ada tiga jenderal yang menghadap Soekarno, selain Maraden Panggabean. Maraden akhirnya berbicara kepada media setelah tulisan kesaksian Soekardjo dimuat media pada Agustus 1998.
"Saya sedih memperhatikan betapa bejat moral dan mentalitas seorang mantan perwira, yang bernama Soekardjo Wilardjito, yang mengisahkan berita bohong," tutur Maraden Panggabean, yang tahun 1966 menjabat Wakil Panglima Angkatan Darat (Kompas, 28 Agustus 1998). Menteri Panglima AD (Menpangad)-nya adalah Letjen TNI Soeharto.
Pada saat penandatanganan Supersemar, Maraden mengaku tidak ada di Bogor, tetapi ada di Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta.
"Saya ingin menegaskan bahwa keterangan yang disampaikan mantan perwira (Soekardjo) tersebut tidak mengandung kebenaran sama sekali," ucap Maraden.
"Khusus mengenai keterangan yang mengatakan bahwa yang melakukan penodongan itu antara lain Mayjen TNI Panggabean, dengan ini saya tegaskan bahwa sikap melakukan penodongan untuk memperoleh sesuatu dengan kekerasan/paksaan tidak pernah menjadi sifat atau kepribadian saya," katanya lagi.
Bantahan kemudian juga disampaikan M Yusuf dan Soebandrio yang ada di lokasi saat Supersemar diteken.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengaku tidak begitu memercayai cerita soal penodongan senjata ini. Namun, yang pasti, Soekarno berada dalam kondisi tertekan saat menandatangani Supersemar.
"Dipaksa dalam arti penodongan juga saya bantah karena tidak mungkin. Karena di sana ada pasukan Cakrabirawa, Ring 1, Ring 2, dan Ring 3. Tidak mungkin juga ada jenderal yang berani menodong Soekarno," kata Asvi dalam wawancara dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
Menurut dia, serentetan peristiwa yang menggerus kekuatan politik Soekarno-lah yang menekan sang proklamator bangsa ini menandatangani Supersemar.
Isi Supersemar itu sebenarnya hanya untuk mengamankan presiden dan keluarga serta mengembalikan kondisi keamanan Tanah Air.
Namun, kalimat "mengambil suatu tindakan yang dipandang perlu" menjadi blunder terbesar Soekarno yang akhirnya membuat dia terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Soeharto selamanya.
"Itu adalah blunder dari Bung Karno, seorang sipil, yang memberikan perintah tidak jelas kepada militer," ucap Asvi.</div></div></div>
PIDATO SOEKARNO TENTANG SUPERSEMAR
http://img.youtube.com/vi/HjYlmqTRAp4/0.jpg
SUMBER (http://www.kompas.com/)
Sejarah Singkat & Kontroversi Supersemar
Quote:1.“Mengambil Suatu Tindakan yang Dianggap Perlu”, Kalimat Fatal dalam Supersemar
Salah satu isi perintah supersemar adalah, meminta Soeharto untuk melindungi Presiden, semua anggota keluarga, hasil karya dan ajarannya. Akan tetapi, Soeharto tidak melaksanakan perintah tersebut dan mengambil tindakan sendiri di luar perintah Presiden Sukarno. tindakan yang dilakukan Soeharto karena Soekarno telah membuat kesalahan fatal dengan mencantumkan kalimat "mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu."
2. Diusir dari Istana, Soekarno Kehilangan Harta
Sidarto adalah ajudan Soekarno, ia mengawal Soekarno sebagai Presiden hanya dua pekan, 6-20 Februari 1967. Setelah itu, kekuasaan beralih kepada Jenderal Soeharto. Di masa-masa itu, Sidarto tetap menjadi ajudan Soekarno meski statusnya disebut sebagai "Presiden nonaktif." Ia kerap mendampingi Soekarno dalam berbagai kegiatan.
Sidarto juga menyaksikan saat Soekarno tidak diperbolehkan masuk ke Istana sekembalinya dari berkeliling Jakarta, sekitar Mei 1967. Ketika itu, Sidarto baru saja mendampingi Soekarno menyantap sate ayam di pinggir pantai Priok atau Cilincing, Jakarta Utara. Sejak saat itu, Soekarno dikenai tahanan kota dan menetap di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Jakarta) sampai akhir 1967.
3. UPDATING
http://s.kaskus.id/images/2014/09/17/2997486_20140917114708.jpg</div></div></div>