PDA

View Full Version : Malapraktik Dokter atau Media?


Gusnan
1st September 2015, 04:35 AM
http://assets-a2.kompasiana.com/items/album/2015/09/01/1028488the-stethoscope-peru780x390-55e4a0d62b7a6173302fad98.jpg?t=o&v=760


http://assets.kompasiana.com/items/album/2015/09/01/1028488the-stethoscope-peru780x390-55e4a0d62b7a6173302fad98.jpg?v=600&t=o





Kemarin dulu saya melihat berita dengan judul sensasional di sebuah harian di kota Semarang: "Oknum Dokter Takut-Takuti Pasien Cepat Mati". Judul yang dibuat untuk membuat orang-orang tertarik untuk membaca berita yang disajikan. Saya termasuk orang yang tertarik untuk membaca berita yang disajikan, meskipun dengan kening berkerut.
http://assets.kompasiana.com/items/album/2015/09/01/img-20150828-wa0000-55e42fffd39273c20d9d72f3-55e4a16a4123bdaf31f6e009.jpg?v=600&t=o


Setelah membaca berita tersebut saya menghela napas, kecewa. Bukan karena dokter yang diceritakan yang menyedihkan, namun lebih kepada betapa berita tersebut dibuat sekedar untuk meningkatkan jumlah pembaca dengan mengesampingkan asas kode etik jurnalistik yang berlaku di Indonesia. Saya bukan wartawan profesional namun setidaknya saya tahu ada 4 asas yang mendasari kode etik jurnalistik Indonesia yang lahir tanggal 14 Maret 2002 sesuai dengan Keputusan Dewan Pers no 03/SK-DP/III/2006 tanggal 24 Maret 2006, antara lain:
1. Asas demokratis
Artinya berita yang dihasilkan harus disiarkan secara berimbang dan independen. Dalam hal ini pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi serta harus mengutamakan kepentingan publik.
Semua pihak yang terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan pandangan dan pendapatnya secara profesional.
2. Asas profesionalitas
Wartawan Indonesia harus menguasai profesinya dari segi teknis maupun filosofi. Pers harus membuat, menyiarkan, dan menghasilkan berita yang akurat dan faktual. Wartawan harus menunjukkan identitas pada narasumber, tidak melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dan opini, menguji informasi yang didapat, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record. Serta pers harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf
3. Asas moralitas
Wartawan tidak menerima suap, tidak menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan orang miskin dan cacat, tidak menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebutkan identitas korban dan pelaku kejahatan anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang tidak akurat dan keliru.
4. Asas supremasi hukum
Wartawan bukan profesi yang kebal dari hukum yang berlaku. Wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga tak bersalah.
Berita di atas setidaknya melanggar asas 1 dan 2 karena tidak disiarkan secara berimbang (melanggar asas demokratis) dan mencampurkan antara fakta dan opini (melanggar asas profesionalitas). Dokter atau “oknum dokter” yang diberitakan dalam artikel tersebut sudah pasti tidak dikonfirmasi mengenai berita tersebut maupun menyatakan pandangan secara profesional. Sebab jika kedua hal tersebut dilakukan, tentu penulis berita tidak akan menulis “takut-takuti pasien cepat mati: karena penulis berita jadi mengetahui bagaimana perjalanan penyakit tumor otak jika tidak dioperasi.
Berikut ini adalah penjelasan tentang apa yang terjadi pada tumor otak dan bahayanya jika tidak dapat dioperasi. Sebagai catatan, saya bukan dokter ahli dalam bidang tersebut sehingga penjelasan ini merupakan penjelasan makro yang diketahui oleh seluruh dokter. Saya tidak keberatan jika ada teman sejawat ahli neurologi, ahli onkologi, atau ahli bedah saraf yang akan mengoreksi penjelasan berikut.
Kepala kita merupakan ruang tertutup yang berisi 3 hal: jaringan otak, darah (dalam pembuluh darah), dan cairan serebrospinal (liquor cerebrospinal) tempat otak mengapung. Berbeda dengan anak berusia
Peningkatan tekanan intrakranial ini berbahaya karena dapat mengakibatkan otak terdorong ke bawah, ke arah sumsum tulang belakang. Jika hal ini terjadi, disebut sebagai herniasi serebri. Hal ini akan menyebabkan kematian sebab herniasi serebri dapat merusak pusat pernapasan kita yang berada di daerah medulla oblongata, suatu tempat di batang otak, yang menjadi salah satu bagian otak yang pertama terdorong saat terjadi herniasi serebri. Kita tidak mungkin “mengangkat” otak yang sudah melorot dan mengembalikan ke tempat semula sehingga dapat dikatakan kerusakan akibat herniasi serebri bersifat ireversibel (tidak dapat dipulihkan).
Sesuai dengan yang telah dituliskan sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat meningkatkan tekanan intra kranial, salah satunya tumor otak. Pada peningkatan tekanan intrakranial akibat tumor otak, tata laksananya adalah dengan operasi, tidak bisa tidak. Awalnya dapat diberikan obat-obatan penurun tekanan intrakranial seperti manitol dan asetazolamid, namun terapi itu tidak berarti jika penyebab utamanya (dalam kasus ini adalah tumor otak) tidak diatasi.
Apakah tumor otak harus dioperasi? Selama masih dapat dijangkau dengan mudah (dalam arti tidak banyak merusak jaringan otak yang sehat), tumor otak harus dioperasi. Lain halnya jika tumor otak tersebut berada di area yang sulit dijangkau (misalnya dekat batang otak), maka dokter akan menyarankan pada pasien dan keluarga untuk tidak dilakukan operasi dan melakukan paliatif care untuk mengurangi derita pasien. Opsi seperti kemoterapi dan radioterapi tidak berlaku bagi kebanyakan tumor otak karena sebagian besar tumor otak resisten terhadap kedua hal tersebut. Satu-satunya jalan adalah operasi.
Jika tumor otak tidak dioperasi, tumor tersebut akan terus-menerus meningkatkan tekanan intra kranial sehingga menyebabkan herniasi otak dan kematian. Jadi dokter atau “oknum dokter” dalam berita tersebut tidak menakut-nakuti pasien cepat mati namun memberi tahu apa yang akan terjadi jika tidak dilakukan operasi. Memang akan terjadi kematian dan dokter memang harus memberitahukan hal tersebut pada keluarga pasien.
Kembali pada kasus di atas. Penjelasan panjang lebar mengenai perjalanan penyakit tumor otak yang tidak dioperasi di atas semoga dapat menjadi panyeimbang dari berita yang ditulis di harian lokal tersebut.
Selain itu, dari foto di atas, terlihat bahwa berita tersebut ditulis hanya berdasarkan pada salah satu sumber, yaitu pihak keluarga. Itu pun bukan dari pihak pertama (ibu pasien, yang mendapatkan penjelasan dari dokter) namun dari suaminya yang tidak ikut mendengar penjelasan secara langsung. Lebih parah lagi saat ditulis berita itu dibumbui agar lebih bombastis. Saya dapat menuliskan hal ini karena saya berada di ruang yang sama saat edukasi tersebut berlangsung. Dapat dikatakan bahwa saya adalah sumber pertama karena ikut berada saat kejadian. Namun saya tidak akan menyebut diri saya 100% netral, karena saya sudah membaca “tulisan berbumbu” di artikel tersebut.
Kira-kira kejadiannya begini. Sesuai aturan yang berlaku, untuk setiap prosedur tindakan yang akan dilakukan, pasien atau keluarga yang berhak (dalam hal ini jika pasien masih anak-anak maka yang berhak hanya orangtuanya: ayah dan atau ibu) akan diberitahu tentang kondisi penyakit, tindakan yang akan dilakukan, indikasi dilakukan tindakan, efek samping atau risiko tindakan, alternatif tindakan, dan hal-hal yang akan terjadi tidak dilakukan tindakan. Baru setelah mengetahui, pasien atau keluarga yang berhak memutuskan apakah setuju dilakukan tindakan tersebut atau tidak.
Pada kejadian itu dokter menerangkan tentang tumor otak dan bahaya yang terjadi jika tidak dioperasi. Penjelasannya hampir seperti yang saya tuliskan di atas. Penjelasan diberikan pada orang tua yang berhak (dalam hal ini ibu pasien). Namun ibu pasien tidak menyetujui dilakukan tindakan operasi karena kemungkinan pulih seperti sedia kala hanya 5%. (Wajar jika sang ibu masih keberatan karena ada tahapan penyangkalan dari pasien atau keluarga jika diberitahu tentang suatu penyakit yang berat atau mengancam nyawa. Namun terkadang penyangkalan yang terlalu lama malah membuat kondisi pasien memburuk akibat penanganan yang jadi tertunda.) Dokter memberitahu bahwa jika tidak dioperasi maka cepat atau lambat pasien akan meninggal karena terjadi herniasi otak. Ibu malah berteriak-teriak tidak mau anaknya dioperasi. Dokter memberitahu bahwa jika tidak dioperasi pasien akan meninggal cepat atau lambat namun jika dioperasi masih ada kemungkinan bahwa pasien tersebut dapat selamat. Ibu makin histeris dan berteriak-teriak.
Jadi.. salah siapa?



http://assets-a1.kompasiana.com/images/avatar/kristi-559e0b64137b61ca07e2feb1.jpg?t=t&v=100&x=100

Widhi Handayani (http://www.kompasiana.com/widhi_han)