Gusnan
8th June 2015, 04:43 AM
http://ad.beritasatumedia.com/b1-ads/www/delivery/lg.php?bannerid=0&campaignid=0&zoneid=59&loc=http%3A%2F%2Fwww.beritasatu.com%2Fhukum%2F2804 47-kpk-didesak-buka-rekaman-adanya-kriminalisasi.html&referer=http%3A%2F%2Fwww.beritasatu.com%2F&cb=21bc8dfc51
http://img1.beritasatu.com/data/media/images/medium/1432546067.jpg
Penyidik KPK Novel Baswedan (kiri) menunggu di ruang tunggu pengadilan sebelum menjalani sidang perdana praperadilannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 25 Mei 2015. (Antara/Hafidz Mubarak)
Jakarta - Koalisi masyarakat sipil pegiat antikorupsi yang tergabung dalam Satu Padu Lawan Korupsi (Sapu Koruptor) mendesak Mahkamah Konstitusi (MK), agar mendorong KPK membuka rekaman adanya kriminalisasi terhadap lembaga itu.
Pasalnya, pada sidang pengujian Undang-Undang (UU) KPK pada 25 Mei 2015, penyidik KPK Novel Baswedan memberikan kesaksian terkait adanya rekaman yang diperoleh KPK, yang menunjukkan adanya upaya pelemahan KPK melalui kriminalisasi pimpinan dan pegawai KPK.
"Kami desak MK meminta KPK untuk menghadirkan rekaman adanya kriminalisasi terhadap pimpinan dan penyidik KPK yang dilakukan dalam rangka pelemahan KPK," ujar Kepala Bidang Pengembangan Hukum dan Masyarakat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alghifari Aksa saat konferensi persi di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta, Minggu (7/6).
Dalam konferensi pers ini hadir juga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter, Sekjen Transperancy International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko, Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Jami Kuna dan Laskar Antikorupsi Pejuang'45 Ari.
Alghif berharap, pimpinan KPK koperatif dan membuka rekaman kriminalisasi tersebut di muka persidangan. Selain, katanya, rekaman tersebut harus dibuka ke publik agar publik mengetahui apa yang terjadi terhadap pimpinan dan penyidik KPK, serta upaya kriminalisasi yang menjerat para pegiat antikorupsi.
"MK dan KPK harus bekerja sama untuk menyelamatkan KPK, dengan membuka adanya kriminalisasi terhadap pimipinan dan penyidik KPK," tandasnya.
Menurut Alghif, tidak ada hambatan hukum apapun bagi MK untuk meminta KPK membuka rekaman adanya kriminalisasi tersebut di muka persidangan. Pasalnya, dalam Pasal 18 Ayat (1) dan (2) PMK 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam perkara pengujian UU disebutkan MK mengenal asas pembuktian "bebas yang terbatas".
"Dalam PMK tersebut dikatakan, pembuktian dibebankan kepada pemohon dan apabila dipandang perlu, hakim MK dapat pula membebankan pembuktian kepada presiden atau pemerintah, DPR, DPD dan/atau pihat terkait. Dalam konteks tadi, MK bisa membebankan pembuktiannya pada KPK," jelas Alghif.
Lebih lanjut dia mengatakan, upaya kriminalisasi, intimidasi, dan ancaman terhadap para pegiat antikorupsi ini dapat dipandang sebagai upaya menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice). Hal ini pula yang menjadi kunci terkait adanya konflik kepentingan dalam kriminalisasi terhadap para komisioner KPK nonaktif, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dan penyidik KPK, Novel Baswedan.
"Dalam kesaksiannya di sidang uji materi UU KPK lalu, Novel Baswedan menyebutkan, rekaman tersebut berisi antara lain pembicaraan tentang upaya pelemahan KPK, terkait penetapan tersangka Komjen BG (Budi Gunawan), termasuk mentersangkakan penyidik perkara korupsi yang diduga melibatkan Komjen BG," tuturnya.
Masih berdasarkan keterangan Novel di sidang uji materi UU KPK, kata Alghif, ada ancaman-ancaman dan intimidasi terhadap pegawai-pegawai KPK yang menangani perkara BG, di antaranya kepada plt struktural bidang penindakan KPK.
Sementara itu, Lalola Ester mengatakan bahwa pembukaan rekaman di muka sidang MK bukan baru sekali dilakukan. Pada kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah pada 2009, rekaman pembicaraan terkait upaya kriminalisasi juga pernah dibuka di muka persidangan MK.
"Hal yang sama dapat pula dilakukan dalam sidang pengujian materi Pasal 32 ayat (2) UU KPK, yang diajukan oleh Komisioner KPK nonaktif, Bambang Widjojanto," kata Lalola.
Menurut Lalola, preseden pembukaan rekaman terkait upaya kriminalisasi ini akan membuka tabir permasalahan pemberantasan korupsi yang berusaha dikacaukan oleh sekelompok orang. Namun, pimpinan KPK juga harus kooperatif, karena rekaman ini hanya dapat dikeluarkan oleh pimpinan KPK.
"Rekaman ini harus dibuka, agar publik tahu apa yang terjadi pada pimpinan dan penyidik KPK. Itu bukan murni penegakan hukum, tetapi kriminalisasi untuk melemahkan KPK," tegasnya.
http://img1.beritasatu.com/data/media/images/medium/1432546067.jpg
Penyidik KPK Novel Baswedan (kiri) menunggu di ruang tunggu pengadilan sebelum menjalani sidang perdana praperadilannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 25 Mei 2015. (Antara/Hafidz Mubarak)
Jakarta - Koalisi masyarakat sipil pegiat antikorupsi yang tergabung dalam Satu Padu Lawan Korupsi (Sapu Koruptor) mendesak Mahkamah Konstitusi (MK), agar mendorong KPK membuka rekaman adanya kriminalisasi terhadap lembaga itu.
Pasalnya, pada sidang pengujian Undang-Undang (UU) KPK pada 25 Mei 2015, penyidik KPK Novel Baswedan memberikan kesaksian terkait adanya rekaman yang diperoleh KPK, yang menunjukkan adanya upaya pelemahan KPK melalui kriminalisasi pimpinan dan pegawai KPK.
"Kami desak MK meminta KPK untuk menghadirkan rekaman adanya kriminalisasi terhadap pimpinan dan penyidik KPK yang dilakukan dalam rangka pelemahan KPK," ujar Kepala Bidang Pengembangan Hukum dan Masyarakat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alghifari Aksa saat konferensi persi di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta, Minggu (7/6).
Dalam konferensi pers ini hadir juga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter, Sekjen Transperancy International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko, Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Jami Kuna dan Laskar Antikorupsi Pejuang'45 Ari.
Alghif berharap, pimpinan KPK koperatif dan membuka rekaman kriminalisasi tersebut di muka persidangan. Selain, katanya, rekaman tersebut harus dibuka ke publik agar publik mengetahui apa yang terjadi terhadap pimpinan dan penyidik KPK, serta upaya kriminalisasi yang menjerat para pegiat antikorupsi.
"MK dan KPK harus bekerja sama untuk menyelamatkan KPK, dengan membuka adanya kriminalisasi terhadap pimipinan dan penyidik KPK," tandasnya.
Menurut Alghif, tidak ada hambatan hukum apapun bagi MK untuk meminta KPK membuka rekaman adanya kriminalisasi tersebut di muka persidangan. Pasalnya, dalam Pasal 18 Ayat (1) dan (2) PMK 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam perkara pengujian UU disebutkan MK mengenal asas pembuktian "bebas yang terbatas".
"Dalam PMK tersebut dikatakan, pembuktian dibebankan kepada pemohon dan apabila dipandang perlu, hakim MK dapat pula membebankan pembuktian kepada presiden atau pemerintah, DPR, DPD dan/atau pihat terkait. Dalam konteks tadi, MK bisa membebankan pembuktiannya pada KPK," jelas Alghif.
Lebih lanjut dia mengatakan, upaya kriminalisasi, intimidasi, dan ancaman terhadap para pegiat antikorupsi ini dapat dipandang sebagai upaya menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice). Hal ini pula yang menjadi kunci terkait adanya konflik kepentingan dalam kriminalisasi terhadap para komisioner KPK nonaktif, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dan penyidik KPK, Novel Baswedan.
"Dalam kesaksiannya di sidang uji materi UU KPK lalu, Novel Baswedan menyebutkan, rekaman tersebut berisi antara lain pembicaraan tentang upaya pelemahan KPK, terkait penetapan tersangka Komjen BG (Budi Gunawan), termasuk mentersangkakan penyidik perkara korupsi yang diduga melibatkan Komjen BG," tuturnya.
Masih berdasarkan keterangan Novel di sidang uji materi UU KPK, kata Alghif, ada ancaman-ancaman dan intimidasi terhadap pegawai-pegawai KPK yang menangani perkara BG, di antaranya kepada plt struktural bidang penindakan KPK.
Sementara itu, Lalola Ester mengatakan bahwa pembukaan rekaman di muka sidang MK bukan baru sekali dilakukan. Pada kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah pada 2009, rekaman pembicaraan terkait upaya kriminalisasi juga pernah dibuka di muka persidangan MK.
"Hal yang sama dapat pula dilakukan dalam sidang pengujian materi Pasal 32 ayat (2) UU KPK, yang diajukan oleh Komisioner KPK nonaktif, Bambang Widjojanto," kata Lalola.
Menurut Lalola, preseden pembukaan rekaman terkait upaya kriminalisasi ini akan membuka tabir permasalahan pemberantasan korupsi yang berusaha dikacaukan oleh sekelompok orang. Namun, pimpinan KPK juga harus kooperatif, karena rekaman ini hanya dapat dikeluarkan oleh pimpinan KPK.
"Rekaman ini harus dibuka, agar publik tahu apa yang terjadi pada pimpinan dan penyidik KPK. Itu bukan murni penegakan hukum, tetapi kriminalisasi untuk melemahkan KPK," tegasnya.