azalazores
1st July 2010, 02:47 PM
http://u.ceriwis.us/img/8281polridalam.jpg
JAKARTA-Hari ini (1/7) genap 64 tahun usia korps kepolisian. Berbagai lembaga dan kelompok masyarakat melakukan evaluasi terhadap kinerja satu tahun terakhir institusi bersemboyan Rastra Sewakotama (abdi utama bagi nusa bangsa) itu.
Hasilnya, semua kompak menilai Polri belum berubah, sebaliknya justru menurun prestasinya.
�Kalau diberi skor ya bisa dikatakan terancam tidak naik kelas,� ujar Nasir Jamil, anggota Komisi Hukum (III) DPR yang membidangi pengawasan terhadap institusi kepolisian di Jakarta, Rabu (30/6). Beberapa kasus besar yang menjadi sorotan media hingga kini belum tuntas. Yang terbaru, soal transaksi mencurigakan sejumlah perwira polisi.
Nasir mencontohkan, kasus Gayus Tambunan juga belum tuntas disidik. Oknum anggota yang dikenai sanksi juga sebatas pada level penyidik muda setingkat komisaris polisi, yakni AKP Sri Sumartini dan Kompol Arafat Enanie.�Jenderal-jendralnya yang disebut-sebut terkait belum diklarifikasi. Belum tersentuh,� kata politisi asal Nanggroe Aceh Darussalam itu.
Belum lagi usai kasus Gayus, mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji dijerat dengan dugaan korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan dugaan korupsi saat dia menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat. Padahal, Susno-lah yang membuka isu Gayus ke publik. �Masyarakat membacanya ini sebagai permasalahan dan konflik internal. Secara langsung ini menurunkan trust (kepercayaan-red) pada Polri,� katanya.
Benny K Harman, Ketua Komisi Hukum DPR, sependapat dengan Nasir. Benny menyebut, kasus terbaru di tubuh Polri yakni polemik soal rekening dengan transaksi mencurigakan para jenderal sangat mencoreng citra lembaga pengayom itu. �Presiden perlu untuk segera bertindak. Kami usul agar dibentuk Dewan Kehormatan untuk memeriksa jenderal yang disebut-sebut itu. Orang-orangnya sebaiknya independen,� kata politisi Partai Demokrat itu.
Menurut Benny, ulang tahun Polri hari ini harus jadi titik balik dan sarana introspeksi seluruh anggota polisi di Indonesia. �Koreksi diri, lihat kembali kesalahan dan pulihkan kepercayaan masyarakat. Bagaimanapun, warga butuh polisi,� katanya.
Kritik yang lebih ekstrim dilontarkan oleh Kontras. Lembaga yang didirikan almarhum Munir itu menyebut Polri sudah kehilangan kepercayaan masyarakat hampir di semua level. �Program trust building yang digemborkan sejak tahun lalu ternyata gembos,� ujar Wakil Koordinator Kontras Indria Fernida.
Aktivis yang kerap disapa Indri itu menilai, salah satu penyebab kinerja Polri buruk adalah penghasilan yang rendah. Dalam studi terakhir yang dilakukan Kontras dan Komite Reformasi Polri, disebutkan bahwa setiap anggota Polri kurang memiliki hak untuk memperoleh standar kesejahteraan yang memadai, seperti jam kerja yang layak, kondisi kerja yang aman dan kesempatan untuk promosi jabatan. �Padahal, tanpa hal-hal di atas, sulit membayangkan anggota Polri dapat bekerja dengan profesional sehingga menjadi pelindung keamanan masyarakat,� katanya.
Dari berbagai kasus yang terjadi, Kontras melihat anggota Polri kerap memilih jalan pintas, seperti melakukan penyiksaan dalam menangani kasus kejahatan. Jalan pintas seperti ini dilakukan karena biaya operasional yang dibutuhkan dalam menangani sebuah kasus kejahatan tidak memadai.
Menurut Indri, daripada harus susah-susah mengembangkan teknik investigasi dalam pengumpulan barang bukti dan pencarian saksi, penyidik justru tergoda untuk memulai kerjanya dengan segala cara untuk mengeruk informasi atau pengakuan dari tersangka di depan matanya.
�Ini bukan fitnah. Kami mengadvokasi langsung kasus Aan, mantan pekerja yang dianiaya oleh oknum polisi agar mengakui kepemilikan narkoba, padahal dia sama sekali tidak bersalah,� katanya. Kasus Aan ini sudah divonis bebas 17 Mei 2010 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis hakim menganggap pemeriksaan polisi penuh rekayasa.
KEKERASAN MENINGKAT
Data penelitian Kontras menyebut, anggaran untuk penyelidikan dan penyidikan Polri sangat kecil. Misalnya setiap tahun hanya berkisar Rp 500 miliar dari total anggaran Polri sekitar Rp 24,8 triliun (2009). Bila dirinci lagi biaya penyelidikan dan penyidikan tersebut dipecah menjadi Rp 4 juta untuk penanganan kasus kecil, dan Rp 20 juta untuk kasus besar.
Akibatnya, angka kekerasan yang masih dilakukan oknum polisi terhadap orang yang baru diduga melakukan kejahatan meningkat. �Ini berlawanan dengan fungsi mereka sebagai pelindung dan unsur penegak hak asasi manusia,� katanya.
Hasil riset Biro Litbang Kontras menyebutkan ada belasan kasus kekerasan oleh polisi yang dilaporkan warga. Misalnya, pada 28 September 2009 terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh aparat Polres Gowa dan Polwiltabes Makassar. Aparat tersebut melakukan penyiksaan terhadap M Aswin untuk kasus pencurian. Korban disiksa dengan cara dipukul, disetrum dan di tendang pada saat pemeriksaan.
Bulan November 2009, tiga anggota Polres Seram Barat, Briptu Zedek Marasabessy, Bripda Yasin Abas dan Bripda Rence Lilipori menganiaya pelajar SMA LKMD Hairun Kaldera hingga tewas. Korban dianiaya karena dituduh mencuri telepon genggam.
Lalu pada 2 Desember 2009, anggota Polsek Kebun Jeruk menganiaya Beni, direktur sebuah perusahaan kargo karena tertangkap tangan membawa 200 butir ekstasi. Korban juga disetrum pada kemaluannya.
Masih di Desember 2009, sejarahwan JJ Rizal ditangkap secara sewenang-wenang dan dipukuli selama 15 menit oleh anggota Polsek Beji, Depok. Ketiga pelaku adalah Briptu Supratman, Briptu M Syahrir, Briptu Antoni dan Brigadir Sarijanto.
�Masih banyak data kasus kekerasan yang kalau kami rinci panjang sekali. Juga soal penembakan terduga teroris yang ternyata identitasnya belum bisa dipastikan. Akhirnya mereka harus dimakamkan tanpa nama. Ini memprihatinkan sekali,� kata Indri.
Dari sisi pemberantasan korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Polri adalah institusi yang loyo dan cenderung mendiamkan kasus-kasus korupsi. �Kalau dihitung ada puluhan kasus korupsi yang mangkrak dan tidak ditangani Polri,� kata aktivis ICW Emerson Juntho.
Menurut Emerson, data ICW dari tahun 2002 hingga 2009 ada sekitar 20 kasus yang belum diproses. �Kerugiannya triliunan rupiah. Pertanyaan besar kenapa polisi membiarkan mangkrak. Apakah ada tebang pilih atau memang sengaja dibiarkan saja dengan motif tertentu,� katanya.
Bagaimana reaksi Mabes Polri terhadap kritik-kritik itu. Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Zainuri Lubis justru berterima kasih. �Itu merupakan bukti bahwa rakyat sayang dengan polisi. Terima kasih, itu jadi evaluasi dan cambuk untuk kami lebih kerja keras lagi,� katanya.
Namun, terhadap beberapa pihak yang dinilai mengkritik di luar kepatutan, Polri ambil langkah tegas.Misalnya, terhadap pemberitaan majalah Tempo tentang rekening perwira dengan simbol karikatur polisi membawa tiga ekor celengan babi. �Kami mendapatkan laporan dari seluruh Indonesia, anggota Polri merasa dicemarkan nama institusinya,� kata jenderal bintang satu itu.
Karena itu, menurut Zainuri, Tempo akan digugat secara perdata dan pidana. Untuk perdata, tuntutannya adalah meminta maaf pada institusi kepolisian. Sedangkan secara pidana, akan dijerat dengan pasal penghinaan. �Anggota Polri dan keluarga kecewa. Termasuk saya, tidak pernah menggiring celengan babi,� katanya.
Untuk menyiapkan materi gugatan itu, saat ini kepolisian sedang mempelajari gambar pada sampul majalah Tempo. �Rasanya etikanya kurang.Tidak pakai hati,� katanya sembari memegang dada kanan.
Hari ini, Polri akan menghelat upacara tertutup di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Duta besar sahabat dan media yang biasanya diundang, kali ini tidak masuk daftar tamu. Salah satu pertimbangannya, polisi masih melakukan estimasi potensi ancaman teror yang dilakukan kelompok teroris pimpinan Abdullah Sonata.
Secara terpisah, dikonfirmasi soal rencana gugatan Polri, pimpinan redaksi Tempo Wahyu Muryadi mengaku siap menghadapi proses hukum. �Kami yakin (sampul) itu tidak dimaksudkan untuk menghina. Kalau mereka keberatan, silakan saja ada prosesnya,� ujar Wahyu.
www.radarbanten.com (http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=56623)
DIRGAHAYU KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA-Hari ini (1/7) genap 64 tahun usia korps kepolisian. Berbagai lembaga dan kelompok masyarakat melakukan evaluasi terhadap kinerja satu tahun terakhir institusi bersemboyan Rastra Sewakotama (abdi utama bagi nusa bangsa) itu.
Hasilnya, semua kompak menilai Polri belum berubah, sebaliknya justru menurun prestasinya.
�Kalau diberi skor ya bisa dikatakan terancam tidak naik kelas,� ujar Nasir Jamil, anggota Komisi Hukum (III) DPR yang membidangi pengawasan terhadap institusi kepolisian di Jakarta, Rabu (30/6). Beberapa kasus besar yang menjadi sorotan media hingga kini belum tuntas. Yang terbaru, soal transaksi mencurigakan sejumlah perwira polisi.
Nasir mencontohkan, kasus Gayus Tambunan juga belum tuntas disidik. Oknum anggota yang dikenai sanksi juga sebatas pada level penyidik muda setingkat komisaris polisi, yakni AKP Sri Sumartini dan Kompol Arafat Enanie.�Jenderal-jendralnya yang disebut-sebut terkait belum diklarifikasi. Belum tersentuh,� kata politisi asal Nanggroe Aceh Darussalam itu.
Belum lagi usai kasus Gayus, mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji dijerat dengan dugaan korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan dugaan korupsi saat dia menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat. Padahal, Susno-lah yang membuka isu Gayus ke publik. �Masyarakat membacanya ini sebagai permasalahan dan konflik internal. Secara langsung ini menurunkan trust (kepercayaan-red) pada Polri,� katanya.
Benny K Harman, Ketua Komisi Hukum DPR, sependapat dengan Nasir. Benny menyebut, kasus terbaru di tubuh Polri yakni polemik soal rekening dengan transaksi mencurigakan para jenderal sangat mencoreng citra lembaga pengayom itu. �Presiden perlu untuk segera bertindak. Kami usul agar dibentuk Dewan Kehormatan untuk memeriksa jenderal yang disebut-sebut itu. Orang-orangnya sebaiknya independen,� kata politisi Partai Demokrat itu.
Menurut Benny, ulang tahun Polri hari ini harus jadi titik balik dan sarana introspeksi seluruh anggota polisi di Indonesia. �Koreksi diri, lihat kembali kesalahan dan pulihkan kepercayaan masyarakat. Bagaimanapun, warga butuh polisi,� katanya.
Kritik yang lebih ekstrim dilontarkan oleh Kontras. Lembaga yang didirikan almarhum Munir itu menyebut Polri sudah kehilangan kepercayaan masyarakat hampir di semua level. �Program trust building yang digemborkan sejak tahun lalu ternyata gembos,� ujar Wakil Koordinator Kontras Indria Fernida.
Aktivis yang kerap disapa Indri itu menilai, salah satu penyebab kinerja Polri buruk adalah penghasilan yang rendah. Dalam studi terakhir yang dilakukan Kontras dan Komite Reformasi Polri, disebutkan bahwa setiap anggota Polri kurang memiliki hak untuk memperoleh standar kesejahteraan yang memadai, seperti jam kerja yang layak, kondisi kerja yang aman dan kesempatan untuk promosi jabatan. �Padahal, tanpa hal-hal di atas, sulit membayangkan anggota Polri dapat bekerja dengan profesional sehingga menjadi pelindung keamanan masyarakat,� katanya.
Dari berbagai kasus yang terjadi, Kontras melihat anggota Polri kerap memilih jalan pintas, seperti melakukan penyiksaan dalam menangani kasus kejahatan. Jalan pintas seperti ini dilakukan karena biaya operasional yang dibutuhkan dalam menangani sebuah kasus kejahatan tidak memadai.
Menurut Indri, daripada harus susah-susah mengembangkan teknik investigasi dalam pengumpulan barang bukti dan pencarian saksi, penyidik justru tergoda untuk memulai kerjanya dengan segala cara untuk mengeruk informasi atau pengakuan dari tersangka di depan matanya.
�Ini bukan fitnah. Kami mengadvokasi langsung kasus Aan, mantan pekerja yang dianiaya oleh oknum polisi agar mengakui kepemilikan narkoba, padahal dia sama sekali tidak bersalah,� katanya. Kasus Aan ini sudah divonis bebas 17 Mei 2010 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis hakim menganggap pemeriksaan polisi penuh rekayasa.
KEKERASAN MENINGKAT
Data penelitian Kontras menyebut, anggaran untuk penyelidikan dan penyidikan Polri sangat kecil. Misalnya setiap tahun hanya berkisar Rp 500 miliar dari total anggaran Polri sekitar Rp 24,8 triliun (2009). Bila dirinci lagi biaya penyelidikan dan penyidikan tersebut dipecah menjadi Rp 4 juta untuk penanganan kasus kecil, dan Rp 20 juta untuk kasus besar.
Akibatnya, angka kekerasan yang masih dilakukan oknum polisi terhadap orang yang baru diduga melakukan kejahatan meningkat. �Ini berlawanan dengan fungsi mereka sebagai pelindung dan unsur penegak hak asasi manusia,� katanya.
Hasil riset Biro Litbang Kontras menyebutkan ada belasan kasus kekerasan oleh polisi yang dilaporkan warga. Misalnya, pada 28 September 2009 terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh aparat Polres Gowa dan Polwiltabes Makassar. Aparat tersebut melakukan penyiksaan terhadap M Aswin untuk kasus pencurian. Korban disiksa dengan cara dipukul, disetrum dan di tendang pada saat pemeriksaan.
Bulan November 2009, tiga anggota Polres Seram Barat, Briptu Zedek Marasabessy, Bripda Yasin Abas dan Bripda Rence Lilipori menganiaya pelajar SMA LKMD Hairun Kaldera hingga tewas. Korban dianiaya karena dituduh mencuri telepon genggam.
Lalu pada 2 Desember 2009, anggota Polsek Kebun Jeruk menganiaya Beni, direktur sebuah perusahaan kargo karena tertangkap tangan membawa 200 butir ekstasi. Korban juga disetrum pada kemaluannya.
Masih di Desember 2009, sejarahwan JJ Rizal ditangkap secara sewenang-wenang dan dipukuli selama 15 menit oleh anggota Polsek Beji, Depok. Ketiga pelaku adalah Briptu Supratman, Briptu M Syahrir, Briptu Antoni dan Brigadir Sarijanto.
�Masih banyak data kasus kekerasan yang kalau kami rinci panjang sekali. Juga soal penembakan terduga teroris yang ternyata identitasnya belum bisa dipastikan. Akhirnya mereka harus dimakamkan tanpa nama. Ini memprihatinkan sekali,� kata Indri.
Dari sisi pemberantasan korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Polri adalah institusi yang loyo dan cenderung mendiamkan kasus-kasus korupsi. �Kalau dihitung ada puluhan kasus korupsi yang mangkrak dan tidak ditangani Polri,� kata aktivis ICW Emerson Juntho.
Menurut Emerson, data ICW dari tahun 2002 hingga 2009 ada sekitar 20 kasus yang belum diproses. �Kerugiannya triliunan rupiah. Pertanyaan besar kenapa polisi membiarkan mangkrak. Apakah ada tebang pilih atau memang sengaja dibiarkan saja dengan motif tertentu,� katanya.
Bagaimana reaksi Mabes Polri terhadap kritik-kritik itu. Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Zainuri Lubis justru berterima kasih. �Itu merupakan bukti bahwa rakyat sayang dengan polisi. Terima kasih, itu jadi evaluasi dan cambuk untuk kami lebih kerja keras lagi,� katanya.
Namun, terhadap beberapa pihak yang dinilai mengkritik di luar kepatutan, Polri ambil langkah tegas.Misalnya, terhadap pemberitaan majalah Tempo tentang rekening perwira dengan simbol karikatur polisi membawa tiga ekor celengan babi. �Kami mendapatkan laporan dari seluruh Indonesia, anggota Polri merasa dicemarkan nama institusinya,� kata jenderal bintang satu itu.
Karena itu, menurut Zainuri, Tempo akan digugat secara perdata dan pidana. Untuk perdata, tuntutannya adalah meminta maaf pada institusi kepolisian. Sedangkan secara pidana, akan dijerat dengan pasal penghinaan. �Anggota Polri dan keluarga kecewa. Termasuk saya, tidak pernah menggiring celengan babi,� katanya.
Untuk menyiapkan materi gugatan itu, saat ini kepolisian sedang mempelajari gambar pada sampul majalah Tempo. �Rasanya etikanya kurang.Tidak pakai hati,� katanya sembari memegang dada kanan.
Hari ini, Polri akan menghelat upacara tertutup di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Duta besar sahabat dan media yang biasanya diundang, kali ini tidak masuk daftar tamu. Salah satu pertimbangannya, polisi masih melakukan estimasi potensi ancaman teror yang dilakukan kelompok teroris pimpinan Abdullah Sonata.
Secara terpisah, dikonfirmasi soal rencana gugatan Polri, pimpinan redaksi Tempo Wahyu Muryadi mengaku siap menghadapi proses hukum. �Kami yakin (sampul) itu tidak dimaksudkan untuk menghina. Kalau mereka keberatan, silakan saja ada prosesnya,� ujar Wahyu.
www.radarbanten.com (http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=56623)
DIRGAHAYU KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA