sindhu
16th March 2011, 01:30 AM
.
http://img714.imageshack.us/img714/7264/eiffeltowerparisfrance.jpg
Menara di Eiffel di Paris yang menjadi ikon seni arsitektur di kota mode itu. (foto: 3.bp.blogspot.com)
DALAM konteks seni, kota merupakan kumpulan beragam hal artistik yang dilatari banyak estetika dari sekian pemikir, pekerja dan perupa serta pihak yang memberi apresiasi. Jalinan antara mereka dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk yang titik relevansinya (berhubungan) dengan kehidupan kota sehingga artistik tidak identik dengan seni semata-mata. Artistik adalah order (ketertiban) cermin dari aktifitas sosial budaya masyarakatnya yang disepakati bersama-sama. Sementara estetika dibangun melalui pengalaman interaksi antara individu dengan masyarakatnya baik berupa non-kasat mata (intangible) maupun kasat mata (tangible). Perwujudannya selalu memberi kenyamanan masyarakatnya dalam beraktifitas dan dalam melakukan mobilitas. Hal ideal seperti itu bisa dihasilkan bila respect terhadap lingkungan ditumbuhkan serta diorientasikan jauh ke depan.
Pengertian ideal yaitu proporsional antara apa yang diperlukan dengan ketrersediaan lahan, namun sering menjadi tidak terkontrol bila kota diperlakukan sebagai ruang eksploitasi ekonomi karena umumnya berakibat pada ketidak-seimbangan jumlah manusia dengan ketersediaan lahan, keunikan sebagai ciri khas kota sangat mungkin untuk hilang, interaksi dan mobilitas terganggu dan yang paling dikhawatirkan adalah kehilangan identitas budaya kota. Kota-kota besar di Indonesia mengalami kondisi perubahan yang signifikan kearah hilangnya order akibat dari urbanisasi karena ketidak seimbangan perkembangan ekonomi antara desa dengan kota. Penyebab utama hilang order adalah faktor manusianya yang tidak mampu membangun logika kota dan rendahnya akal sehat. Pada tataran itu, sikap dan perilaku dapat dilihat dengan jelas sebagai tolak ukur, contohnya sungai diperlakukan sebagai tempat kotoran sehingga makna simbolik sebagai pengatur kehidupan begitu mudah ditiadakan, taman sebagai paru-paru kota dikorbankan demi pembangunan fisik, tumpang tindih antara kawasan hunian dengan industri, dan munculnya kasus hukum okupasi lahan oleh para pendatang kalangan ekonomi bawah digeser menjadi kasus hak azasi dan banyak lagi. Ditengah persoalan yang berat itu, nilai-nilai sejarah kota, keunikan dan budayanya akan mudah terkubur dari ingatan masyarakatnya serta kehilangan respect, kalau demikian apa yang bisa diberikan seniman kepada kota?
Penulis melebarkan pengertian seniman dalam konteks komunal yaitu orang-orang yang memberi peran membangun artistik kota, relevansi pelebaran itu untuk menjelaskan kesadaran dan tanggung jawab pada tingkatan yang sama untuk jangka panjang bahwa kota dibentuk oleh kesepakatan dari perbedaan kepentingan. Oleh karena itu, istilah seniman diberikan sebagai penghargaan atas intelektualitas individu dalam membangun kotanya. Para arsitek, teknolog, perupa, planolog, bahkan siapapun menjadi suatu jaringan hubungan lintas pranata. Namun pada saat yang sama, perupa adalah pranata independen dalam merespons dan menangkap nilai-nilai untuk ciri dan kebanggaan warga dan kota.
Pada periode Yunani Kuno pada 432 SM, arsitektur Parthenon karya Ictinus dan Callicrates merupakan suatu penanda dari Doric Order masyarakat dan kotanya. Kemudian Menara Eiffel (1889) di Paris karya Gustave Eiffel, Sagrada Familia di Barcelona karya Antoni Gaudi yang mulai dibangun thn 1882 yang diperkirakan selesai di tahun 2026, patung karya kolaborasi antara Gardy Artigas dengan Joan Miro di Parc de Joan Miro berjudul Women and Bird (1982) sebagai sekelumit contoh karya monumental dari periode Modernism. Karya karya itu dibuat sebagai Respect to Common Sense, manfaat bagi masyarakatnya selain kebanggaan tentunya mencerminkan bahwa aesthetics dalam society telah diterjemahkan kedalam kehidupan sehari-hari sebagai nafas kebersamaan, selain itu masyarakat mendapat pembelajaran aesthetics yakni relevansi antara pencapaian masa lalu dengan konteks kekiniannya.
Kita memiliki contoh model nyata yaitu dari kehidupan masyarakat tradisi, sebagai contoh masyarakat Bajawa di Nusa Tenggara Timur yang menjelaskan aesthetics dan order yang dibangun oleh kepekaan, kesadaran, serta Keseimbangan manusia dan ruang. Oleh karena itu, karya-karya patung batunya melampaui batas pengisi ruang yakni sebagai manifestasi hubungan dengan lingkungan dan keyakinan masyarakatnya serta media pengikat komunal. Selain Bajawa, banyak contoh lain di Indonesia sebagai model rujukan namun banyak alasan kenapa mereka saat ini kita tidak mampu menginterpretasikannya untuk kepentingan kota sekarang ini bahkan untuk waktu yang akan datang.
Mengingat realita kota-kota besar di Indonesia yang diperlakukan hanya sebagai ruang eksploitasi ekonomi, masyarakatnya tentu lebih banyak berorientasi kearah ekonomi maka peran penyeimbang terhadap rutinitas sangat diperlukan dan itu diberikan oleh seniman. Aesthetics disitu menjadi luas spektrumnya mulai dari pengaruh ditingkat perorangan hingga menjadi alat order, dalam hal itu kita bisa memaknai common sense sebagai kepekaan dan akal sehat yang dibangun oleh, dari, dan untuk masyarakat kota sebagai ciri dan kebanggaan mereka.
Arsitektur dan seni publik adalah sebagian contoh nyata penanda Common Sense namun kedua manifestasi itu akan turun nilainya bila tidak dilanjuti dengan penataan lingkungan secara keseluruhan. Dalam hal itu akan jelas bahwa seni berhubungan langsung dengan aspek diluar seni, kenyataan itu pada akhirnya membicarakan aesthetics kota sebagai karya bersama antar logic berbagai disiplin ilmu. Rasanya akan mudah bila ideal kota yang dilatari oleh nilai-nilai positif itu menjadikan masyarakat kota menjadi Aesthetic Society.
Persoalan besar kehidupan kota sangat besar, namun hal itu bukan suatu alasan bagi kita untuk memberi nilai di dalamnya. Betapapun kecilnya peran kita saat ini untuk membangun order kota namun tetap akan menjadi berharga bila dikerjakan dalam konteks budaya. ***
*Disampaikan dalam A(rt)SEM diskusi kreatif keempat bertema “KOTA dan SENIMAN: Bagaimana Hubungannya?" di Galeri Bu Atie Jalan Borobudur Utara Raya No. 6 Manyaran Semarang, 14 Januari 2011.
*) Maros Visual Culture Initiative Foundation, Jakarta.
Ditulis oleh Didik Adikara Rachman, untuk Indonesia Art News (http://www.indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=94). Ditulis ulang oleh T.A. Putra a.k.a Sindhu, untuk Ceriwis.
http://img714.imageshack.us/img714/7264/eiffeltowerparisfrance.jpg
Menara di Eiffel di Paris yang menjadi ikon seni arsitektur di kota mode itu. (foto: 3.bp.blogspot.com)
DALAM konteks seni, kota merupakan kumpulan beragam hal artistik yang dilatari banyak estetika dari sekian pemikir, pekerja dan perupa serta pihak yang memberi apresiasi. Jalinan antara mereka dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk yang titik relevansinya (berhubungan) dengan kehidupan kota sehingga artistik tidak identik dengan seni semata-mata. Artistik adalah order (ketertiban) cermin dari aktifitas sosial budaya masyarakatnya yang disepakati bersama-sama. Sementara estetika dibangun melalui pengalaman interaksi antara individu dengan masyarakatnya baik berupa non-kasat mata (intangible) maupun kasat mata (tangible). Perwujudannya selalu memberi kenyamanan masyarakatnya dalam beraktifitas dan dalam melakukan mobilitas. Hal ideal seperti itu bisa dihasilkan bila respect terhadap lingkungan ditumbuhkan serta diorientasikan jauh ke depan.
Pengertian ideal yaitu proporsional antara apa yang diperlukan dengan ketrersediaan lahan, namun sering menjadi tidak terkontrol bila kota diperlakukan sebagai ruang eksploitasi ekonomi karena umumnya berakibat pada ketidak-seimbangan jumlah manusia dengan ketersediaan lahan, keunikan sebagai ciri khas kota sangat mungkin untuk hilang, interaksi dan mobilitas terganggu dan yang paling dikhawatirkan adalah kehilangan identitas budaya kota. Kota-kota besar di Indonesia mengalami kondisi perubahan yang signifikan kearah hilangnya order akibat dari urbanisasi karena ketidak seimbangan perkembangan ekonomi antara desa dengan kota. Penyebab utama hilang order adalah faktor manusianya yang tidak mampu membangun logika kota dan rendahnya akal sehat. Pada tataran itu, sikap dan perilaku dapat dilihat dengan jelas sebagai tolak ukur, contohnya sungai diperlakukan sebagai tempat kotoran sehingga makna simbolik sebagai pengatur kehidupan begitu mudah ditiadakan, taman sebagai paru-paru kota dikorbankan demi pembangunan fisik, tumpang tindih antara kawasan hunian dengan industri, dan munculnya kasus hukum okupasi lahan oleh para pendatang kalangan ekonomi bawah digeser menjadi kasus hak azasi dan banyak lagi. Ditengah persoalan yang berat itu, nilai-nilai sejarah kota, keunikan dan budayanya akan mudah terkubur dari ingatan masyarakatnya serta kehilangan respect, kalau demikian apa yang bisa diberikan seniman kepada kota?
Penulis melebarkan pengertian seniman dalam konteks komunal yaitu orang-orang yang memberi peran membangun artistik kota, relevansi pelebaran itu untuk menjelaskan kesadaran dan tanggung jawab pada tingkatan yang sama untuk jangka panjang bahwa kota dibentuk oleh kesepakatan dari perbedaan kepentingan. Oleh karena itu, istilah seniman diberikan sebagai penghargaan atas intelektualitas individu dalam membangun kotanya. Para arsitek, teknolog, perupa, planolog, bahkan siapapun menjadi suatu jaringan hubungan lintas pranata. Namun pada saat yang sama, perupa adalah pranata independen dalam merespons dan menangkap nilai-nilai untuk ciri dan kebanggaan warga dan kota.
Pada periode Yunani Kuno pada 432 SM, arsitektur Parthenon karya Ictinus dan Callicrates merupakan suatu penanda dari Doric Order masyarakat dan kotanya. Kemudian Menara Eiffel (1889) di Paris karya Gustave Eiffel, Sagrada Familia di Barcelona karya Antoni Gaudi yang mulai dibangun thn 1882 yang diperkirakan selesai di tahun 2026, patung karya kolaborasi antara Gardy Artigas dengan Joan Miro di Parc de Joan Miro berjudul Women and Bird (1982) sebagai sekelumit contoh karya monumental dari periode Modernism. Karya karya itu dibuat sebagai Respect to Common Sense, manfaat bagi masyarakatnya selain kebanggaan tentunya mencerminkan bahwa aesthetics dalam society telah diterjemahkan kedalam kehidupan sehari-hari sebagai nafas kebersamaan, selain itu masyarakat mendapat pembelajaran aesthetics yakni relevansi antara pencapaian masa lalu dengan konteks kekiniannya.
Kita memiliki contoh model nyata yaitu dari kehidupan masyarakat tradisi, sebagai contoh masyarakat Bajawa di Nusa Tenggara Timur yang menjelaskan aesthetics dan order yang dibangun oleh kepekaan, kesadaran, serta Keseimbangan manusia dan ruang. Oleh karena itu, karya-karya patung batunya melampaui batas pengisi ruang yakni sebagai manifestasi hubungan dengan lingkungan dan keyakinan masyarakatnya serta media pengikat komunal. Selain Bajawa, banyak contoh lain di Indonesia sebagai model rujukan namun banyak alasan kenapa mereka saat ini kita tidak mampu menginterpretasikannya untuk kepentingan kota sekarang ini bahkan untuk waktu yang akan datang.
Mengingat realita kota-kota besar di Indonesia yang diperlakukan hanya sebagai ruang eksploitasi ekonomi, masyarakatnya tentu lebih banyak berorientasi kearah ekonomi maka peran penyeimbang terhadap rutinitas sangat diperlukan dan itu diberikan oleh seniman. Aesthetics disitu menjadi luas spektrumnya mulai dari pengaruh ditingkat perorangan hingga menjadi alat order, dalam hal itu kita bisa memaknai common sense sebagai kepekaan dan akal sehat yang dibangun oleh, dari, dan untuk masyarakat kota sebagai ciri dan kebanggaan mereka.
Arsitektur dan seni publik adalah sebagian contoh nyata penanda Common Sense namun kedua manifestasi itu akan turun nilainya bila tidak dilanjuti dengan penataan lingkungan secara keseluruhan. Dalam hal itu akan jelas bahwa seni berhubungan langsung dengan aspek diluar seni, kenyataan itu pada akhirnya membicarakan aesthetics kota sebagai karya bersama antar logic berbagai disiplin ilmu. Rasanya akan mudah bila ideal kota yang dilatari oleh nilai-nilai positif itu menjadikan masyarakat kota menjadi Aesthetic Society.
Persoalan besar kehidupan kota sangat besar, namun hal itu bukan suatu alasan bagi kita untuk memberi nilai di dalamnya. Betapapun kecilnya peran kita saat ini untuk membangun order kota namun tetap akan menjadi berharga bila dikerjakan dalam konteks budaya. ***
*Disampaikan dalam A(rt)SEM diskusi kreatif keempat bertema “KOTA dan SENIMAN: Bagaimana Hubungannya?" di Galeri Bu Atie Jalan Borobudur Utara Raya No. 6 Manyaran Semarang, 14 Januari 2011.
*) Maros Visual Culture Initiative Foundation, Jakarta.
Ditulis oleh Didik Adikara Rachman, untuk Indonesia Art News (http://www.indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=94). Ditulis ulang oleh T.A. Putra a.k.a Sindhu, untuk Ceriwis.