logite
4th February 2011, 07:48 PM
http://www.dapurpacu.com/wp-content/uploads/2010/10/beijing-trafficjam-460x299.jpg
Apa yang dilakukan pemerintah kota Beijing tersebut mungkin telah
dijalankan pemerintah kota DKI Jakarta. Hanya saja, rencana yang
disampaikan Beijing terasa lebih terarah dan sistematis, sementara
Jakarta baru sekadar wacana dan penuh polemik. Contoh wacana
penanggulangan masalah lalu lintas di Jakarta yang hingga detik ini
masih terkatung-katung adalah program monorail, pengembangan
jalur Busway berikut armadanya, pemberlakuan zona lalu lintas terbatas,
hingga tarif parkir.
Selain itu, pemerintah Jakarta juga lebih senang menyalahkan industri
otomotif yang terus memproduksi kendaraan. Hal ini berbeda dengan
pola pandang Beijing yang ternyata tidak memusingkan laju produksi
mobil (http://www.dapurpacu.com/otomotif/achilles) di kotanya.
�Beijing tidak khawatir dengan perusahaan otomotif. Yang kami fokuskan
adalah membuat penataan agar kita memiliki aturan penggunaan mobil (http://www.dapurpacu.com/jakarta-beijing-macetnya-sama-tapi-beda-bag-2/murah%20http://www.dapurpacu.com/otomotif/adira-finance),�
lanjut Liu. Pada intinya, Liu menjelaskan pemerintah tidak akan membatasi
kepemilikan kendaraan kepada publik.
Di Jakarta yang dirasakan justru berlainan. Setiap dimintai keterangan
tentang kemacetan, para pembuat kebijakan selalu mengambinghitamkan
populasi kendaraan yang setiap hari bertambah.
Hal ini membuat kesan bahwa pemerintah Jakarta sudah pusing mencari
solusi. Bahkan menjadi lucu ketika kemacetan Jakarta dikatakan harus
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Kontra sekali dengan Beijing
yang menangani masalah kotanya bersama dengan kota-kota lain di China.
Pemerintah Beijing sendiri sadar bahwa apabila tidak dilakukan perbaikan
sistem kelola lalu lintas dari sekarang, kota tersebut akan mengalami
masalah berat dalam lima tahun ke depan.
Pusat Pengembangan Data Beijing mencatat pada tahun 2015 kota ini
akan dihuni 7 juta mobil (http://www.dapurpacu.com/otomotif/adira). Dengan kata lain, di saat itu setiap mobil
hanya memiliki kemampuan meluncur rata-rata kurang 15 km/jam. Ya,
kecepatan ini masih jauh lebih baik dari kondisi di Jakarta hari ini ketika
pagi dan petang.
Pemerintah Jakarta ternyata juga lebih pusing dari Beijing. Lihatlah
bagaimana kepolisian dan pemda DKI Jakarta yang kini sibuk menerapkan
peraturan teknis mikro berupa penutupan kases masuk pusat perbalanjaan
hingga pengaturan ulang lajur putar arah.
Kedua pihak berwenang tersebut bahkan telah mengeluarkan wacana
tentang pembatasan jalur untuk kendaraan berat (truk). Terobosan ini
juga terasa instan dan sebenarnya bukan solusi taktis.
Nick Reilley, salah seorang petinggi General Motos yang sempat berkantor
di Shanghai, China, pernah mempertanyakan arus kendaraan industri di
Jakarta tatkala dirinya berkunjung ke Ibu Kota.
�Bagaimana mungkin truk-truk besar ikut membelah kota bersama
mobil-mobil penumpang? Tidakkah Jakarta memiliki jalur khusus ke
pelabuhan dari kawasan industri? Kemacetan kota meningkatkan biaya
tinggi untuk industri,�
Ketika diajak melintas gedung Parlemen di Senayan, Nick juga sempat
bertanya tentang tujuan truk-truk yang sedang melaju di tol Gatot
Soebroto. Saat mengetahui, bahwa sebagian besar truk tersebut akan
menuju pulau Sumatera, Nick menggelengkan kepalanya. �Benar-benar
masuk kota�,� ucapnya.
Pemerintah Beijing tidak sedikit pun memusingkan hal tersebut. Pasalnya,
tata ruang kota di Beijing sudah diarahkan sesuai pelaksanaan rencana
jangka panjang. Tak sekadar untuk kelancaran mobilitas publik, tapi juga
mengukur kepentingan bisnis dan industri.
Sekali lagi, ini kontras dengan Jakarta yang dengan mudah memberikan izin
pendirian mall-mall, sementara tidak berfikir panjang tentang aspek yang
akan ditimbulkannya. Pemerintah Jakarta juga cenderung baru bergerak
ketika masalah mulai menghimpit.
Maka tak salah jika masyarakat kota Jakarta kini mendesak adanya sebuah
perubahan dalam kelola lalu lintas. Tanpa ada reaksi cepat dari pemerintah
daerah DKI Jakarta bukan mustahil Twitter dan Facebook akan terus berisi
cacian untuk gubernur.
Pertanyaannya, mengapa Jakarta tidak belajar, atau setidaknya mengintip
upaya yang sedang giat dilakukan pemerintah Beijing. Cobalah tengok
tentang rencana pembangunan tiga Ring Road di Beijing sebagai kopensasi
akan diberlakukannya batas emisi kendaraan ekstrim di tengah kota.
�Penerapan batas emsisi yang ekstrim akan mengurangi mobilitas kendaraan
di tengah kota, sekaligus menjaga lingkungan. Namun untuk menjamin
mobil-mobil yang belum memenuhi syarat emisi tetap bisa bergerak, kami
akan menyediakan Ring Road,� ujar Wu Changhua, seorang pakar
lingkungan hidup yang duduk dalam komisi perencanaan tata ruang kota
Beijing.
Ya, inilah Jakarta, sebuah kota yang memiliki masalah sama dengan Beijing,
namun menyimpan strategi penanganan berbeda.
sumber (http://www.dapurpacu.com/)
Apa yang dilakukan pemerintah kota Beijing tersebut mungkin telah
dijalankan pemerintah kota DKI Jakarta. Hanya saja, rencana yang
disampaikan Beijing terasa lebih terarah dan sistematis, sementara
Jakarta baru sekadar wacana dan penuh polemik. Contoh wacana
penanggulangan masalah lalu lintas di Jakarta yang hingga detik ini
masih terkatung-katung adalah program monorail, pengembangan
jalur Busway berikut armadanya, pemberlakuan zona lalu lintas terbatas,
hingga tarif parkir.
Selain itu, pemerintah Jakarta juga lebih senang menyalahkan industri
otomotif yang terus memproduksi kendaraan. Hal ini berbeda dengan
pola pandang Beijing yang ternyata tidak memusingkan laju produksi
mobil (http://www.dapurpacu.com/otomotif/achilles) di kotanya.
�Beijing tidak khawatir dengan perusahaan otomotif. Yang kami fokuskan
adalah membuat penataan agar kita memiliki aturan penggunaan mobil (http://www.dapurpacu.com/jakarta-beijing-macetnya-sama-tapi-beda-bag-2/murah%20http://www.dapurpacu.com/otomotif/adira-finance),�
lanjut Liu. Pada intinya, Liu menjelaskan pemerintah tidak akan membatasi
kepemilikan kendaraan kepada publik.
Di Jakarta yang dirasakan justru berlainan. Setiap dimintai keterangan
tentang kemacetan, para pembuat kebijakan selalu mengambinghitamkan
populasi kendaraan yang setiap hari bertambah.
Hal ini membuat kesan bahwa pemerintah Jakarta sudah pusing mencari
solusi. Bahkan menjadi lucu ketika kemacetan Jakarta dikatakan harus
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Kontra sekali dengan Beijing
yang menangani masalah kotanya bersama dengan kota-kota lain di China.
Pemerintah Beijing sendiri sadar bahwa apabila tidak dilakukan perbaikan
sistem kelola lalu lintas dari sekarang, kota tersebut akan mengalami
masalah berat dalam lima tahun ke depan.
Pusat Pengembangan Data Beijing mencatat pada tahun 2015 kota ini
akan dihuni 7 juta mobil (http://www.dapurpacu.com/otomotif/adira). Dengan kata lain, di saat itu setiap mobil
hanya memiliki kemampuan meluncur rata-rata kurang 15 km/jam. Ya,
kecepatan ini masih jauh lebih baik dari kondisi di Jakarta hari ini ketika
pagi dan petang.
Pemerintah Jakarta ternyata juga lebih pusing dari Beijing. Lihatlah
bagaimana kepolisian dan pemda DKI Jakarta yang kini sibuk menerapkan
peraturan teknis mikro berupa penutupan kases masuk pusat perbalanjaan
hingga pengaturan ulang lajur putar arah.
Kedua pihak berwenang tersebut bahkan telah mengeluarkan wacana
tentang pembatasan jalur untuk kendaraan berat (truk). Terobosan ini
juga terasa instan dan sebenarnya bukan solusi taktis.
Nick Reilley, salah seorang petinggi General Motos yang sempat berkantor
di Shanghai, China, pernah mempertanyakan arus kendaraan industri di
Jakarta tatkala dirinya berkunjung ke Ibu Kota.
�Bagaimana mungkin truk-truk besar ikut membelah kota bersama
mobil-mobil penumpang? Tidakkah Jakarta memiliki jalur khusus ke
pelabuhan dari kawasan industri? Kemacetan kota meningkatkan biaya
tinggi untuk industri,�
Ketika diajak melintas gedung Parlemen di Senayan, Nick juga sempat
bertanya tentang tujuan truk-truk yang sedang melaju di tol Gatot
Soebroto. Saat mengetahui, bahwa sebagian besar truk tersebut akan
menuju pulau Sumatera, Nick menggelengkan kepalanya. �Benar-benar
masuk kota�,� ucapnya.
Pemerintah Beijing tidak sedikit pun memusingkan hal tersebut. Pasalnya,
tata ruang kota di Beijing sudah diarahkan sesuai pelaksanaan rencana
jangka panjang. Tak sekadar untuk kelancaran mobilitas publik, tapi juga
mengukur kepentingan bisnis dan industri.
Sekali lagi, ini kontras dengan Jakarta yang dengan mudah memberikan izin
pendirian mall-mall, sementara tidak berfikir panjang tentang aspek yang
akan ditimbulkannya. Pemerintah Jakarta juga cenderung baru bergerak
ketika masalah mulai menghimpit.
Maka tak salah jika masyarakat kota Jakarta kini mendesak adanya sebuah
perubahan dalam kelola lalu lintas. Tanpa ada reaksi cepat dari pemerintah
daerah DKI Jakarta bukan mustahil Twitter dan Facebook akan terus berisi
cacian untuk gubernur.
Pertanyaannya, mengapa Jakarta tidak belajar, atau setidaknya mengintip
upaya yang sedang giat dilakukan pemerintah Beijing. Cobalah tengok
tentang rencana pembangunan tiga Ring Road di Beijing sebagai kopensasi
akan diberlakukannya batas emisi kendaraan ekstrim di tengah kota.
�Penerapan batas emsisi yang ekstrim akan mengurangi mobilitas kendaraan
di tengah kota, sekaligus menjaga lingkungan. Namun untuk menjamin
mobil-mobil yang belum memenuhi syarat emisi tetap bisa bergerak, kami
akan menyediakan Ring Road,� ujar Wu Changhua, seorang pakar
lingkungan hidup yang duduk dalam komisi perencanaan tata ruang kota
Beijing.
Ya, inilah Jakarta, sebuah kota yang memiliki masalah sama dengan Beijing,
namun menyimpan strategi penanganan berbeda.
sumber (http://www.dapurpacu.com/)