blueparadise
8th June 2010, 09:44 AM
Tengah malam. Bulan telah melalui separuh perjalanannya.
Satu per satu, lampu kamar kost itu tergantikan dengan cahaya redup lampu tidur. Bahkan ada yang membiarkannya pekat tanpa cahaya apapun.
Sunyi. Suara tivi ataupun suara para penghuninya yang terkadang bingar, kini tak terdengar.
Tiba-tiba terdengar jeritan. Suara gadis itu keluar seperti dipaksa oleh bayangan seram yang dilihatnya.
Caca merapatkan selimut. Tidak seperti bulan lalu, saat mendengar suara serupa. Di malam yang juga pekat, dia bangkit dan mencari asal suara. Kali ini tidak! Dia bahkan mematikan lampu tidur yang selalu menemaninya bermimpi.
�Tolooong!�
Suara itu semakin panik. Caca bergidik juga akhirnya, setelah dari tadi mencoba menepis suara itu.
�Aaaah��!�
Sepertinya sebuah tikaman baru saja mendarat di tubuh pemilik suara itu, atau kobaran api menjilatnya. Mungkin juga air panas menyiraminya.
Caca tidak tahu. Suara itu membelah malam. Dan dia membiarkannya. Sebulan yang lalu, suara serupa terdengar tiga malam berturut-turut. Tiga malam pula, Caca keluar rumah untuk mencari asal suara.
Cahaya purnama membuatnya leluasa mencari pemilik suara itu, di antara pekarangan yang tidak terlalu luas. Tapi suara itu ditemukannya tanpa wujud dari dalam sumur yang juga diterangi purnama.
Tak ada seorang pun di kedalaman sumur itu. Hanya purnama yang berkaca, juga bau kaporit yang menyengat.
Suara itu langsung menghilang saat Caca menengok ke dalam sumur.
Malam ini, saat suara itu terdengar lagi, Caca memilih diam.
Percuma! Bulan lalu tiga malam berturut-turut dia keluar mencari, tapi tak ada yang didapatkannya kecuali bulan dalam sumur.
Lebih mengecewakan, karena paginya, saat dia bercerita ke teman kostnya yang lain, semua menganggapnya baru bangun dari mimpi buruk.
Hanya dia yang mendengar suara itu. Jeritan yang seandainya bulan di langit yang tertidur pun akan mendengarnya. Tapi ini tidak! Penghuni bumi pun, hanya Caca yang bisa mendengarnya tanpa pernah
melihat pemiliknya.
Selalu hilang, saat Caca menundukkan kepala ke dalam sumur. Sumur itu sebelumnya tak pernah dipergunakan airnya.
Tapi kemarau panjang, yang entah akan berakhir sampai kapan, membuat seluruh penghuni kost sepakat mengeruk airnya yang sudah bau, lalu ditaburi kaporit. Hasilnya lumayan, untuk urusan mandi dan mencuci, air sumur itu yang diberdayakan. Sementara air PAM yang hanya mengalir saat tengah malam, ditampung untuk keperluan minum dan masak.
�Tolooong!�
Suara itu tak lagi sekeras tadi, juga tak lagi histeris. Kini menyerupai pelasan minta belas kasihan.
Caca bisa membayangkan, pemilik suara itu telah dilukai dan kini memelas, menangis menahan sakit.
Caca yang dari tadi tak peduli, kini tersentuh hatinya untuk bangkit. Bulan lalu, suara itu tak pernah memelas seperti ini karena dia selalu keluar mencari pemiliknya. Tapi kini?
Suara minta tolong itu, berganti dengan isak yang memilukan. Caca semakin tersentuh, semakin ikut merasa, dan dia tak bisa bertahan dengan pendiriannya. Dia bangkit dari tempat tidur, lalu
melangkah ke arah sumur di luar rumah.Tak seperti bulan lalu, kali ini Caca ingin memastikan asal suara itu, benar berasal dari dalam sumur. Dengan mengendap-endap, Caca diterangi purnama yang separuhnya tertutup awan, melangkah menuju ke sumur yang diyakininya menjadi asal suara.
Suara isak itu masih terdengar. Makin memilukan.
Tak ingin ketahuan oleh pemilik suara, Caca tidak langsung
menengok ke dalam sumur. Dia duduk dan merapatkaan telinga di dinding sumur.
Jelas sekali, suara itu berasal dari dalam sumur.
Isak tangis yang memilukan, seolah pemilik suara itu dalam ketakutan yang teramat sangat, dan meminta pertolongan.
Caca memperhatikan langit. Kali ini wajah purnama masih dikabuti awan. Tepat di atas sumur!
Caca belum juga menengok ke dalam sumur, dia ingin tahu sampai kapan gadis itu akan menangis. Dan tiba-tiba�
�Tooloong!� Menjerit lagi.
Suara histeris itu bersamaan dengan berlalunya awan yang menyelimuti bulan. Purnama bulat utuh lagi.
Suara itu semakin menjerit kesakitan. Seolah bulan yang berkaca di dalam sumur menampakkan wajah seram untuknya.
Entah berapa lama suara itu melengking membelah malam. Tapi setiap bulan tertutupi awan, suara itu berubah memelas dalam tangis. Caca jadi yakin. Pemilik suara itu takut pada bulan yang tepat berada di atas sumur.
Caca tak ingin kecolongan, seperti bulan lalu, di
mana suara itu selalu menghilang saat dia menengok ke dalam sumur. Bukannya takut, jiwa petualang Caca malah penasaran dan memilih terus duduk, merapatkan telinga di dinding sumur.
�Kamu siapa?�
Caca mencoba menyapa, meski merasa ada perasaan aneh yang merambati tubuhnya saat dia mengucap tanya. Bulu kuduknya berdiri.
Suara tangisan dari dalam sumur, lenyap tiba-tiba.
Berganti dengan desau angin malam yang mendesis liar. Daun-daun kering di sekitar sumur beterbangan. Dingin. Menyeramkan.
Jiwa petualang Caca bukannya tertantang, nyalinya ciut.
Apalagi ketika bulan menyembunyikan diri di balik awan. Caca berdiri dari jongkoknya. Dia tak sanggup.
�Terima kasih kamu mau menyelamatkanku,� ucap pemilik suara tanpa rupa itu.
Tapi Caca yakin, gadis itu tak lagi berada di dalam sumur.
Suaranya yang begitu dekat, meyakinkan dia jika gadis itu ada di depannya.
Dengan lutut gemetar dia berdiri, lalu mundur selangkah.
�Jangan takut! Aku nggak mungkin menyakiti orang yang selalu datang menolongku.�
�Ka� kamu siapa?�
�Aku Heni. Kamu nggak mungkin bisa melihatku.�
Heni? Caca merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya.
Di antara ketakutannya, dia mencoba mencari nama itu dalam ingatannya. Nama yang akrab sekali, tapi cuma di ingatannya. Ia juga tak tahu, kapan dan di mana dia mulai mendengar nama itu.
�Kamu mengenalku kan?�
Caca mengangguk, tapi juga menggeleng setelahnya. Heni tertawa melengking.
�Masih ingat peristiwa pembunuhan mahasiswi asal Semarang tahun lalu?�
Caca ingat kini. Saat itu masih SMA, Semarang digemparkan dengan berita pembunuhan tragis di Makassar.
Heni, korban pembunuhan itu, putri tunggal pejabat teras di Semarang, kota asal Caca.
�Meski jasadku bisa diangkat dari dalam sumur ini, rohku tetap bersemayam di sini. Sumur ini makamku,�
Kali ini Caca sudah bisa membayangkan bentuk rupa lawan bicaranya, meski belum juga menampakkan wujudnya.
Foto Heni pernah menghiasi semua koran harian di Semarang.
Cantik, fotogenik, punya senyum manis. Maklum, dia pernah ikut grand final pemilihan model majalah remaja.
Cerita Heni berlanjut, di antara desau angin yang tak berhenti mendesah.
Jasad Heni dimasukkan dalam sumur. Ditemukan warga setelah membusuk.
Heni benci pada bulan. Wajah purnama selalu datang mengingatkan dia pada peristiwa pembunuhan dirinya.
Dia melihat purnama bulat sempurna, saat dirinya yang penuh luka bekas tikaman, diseret dan dimasukkan dalam sumur. Di antara napas yang tersisa, dia memelas minta tolong. Dewi malam yang bisu hanya mampu bersaksi, tanpa bisa beraksi jadi dewi penolong.
Setahun rohnya mengendap di dasar sumur, tenang, tanpa pernah mencoba mengganggu ketenangan manusia.
Tapi saat seng penutup sumur dibuka dengan alasan cahaya bisa masuk sumur dan tidak menyebabkan airnya bau, ketenangan Heni terganggu.
Perjalanaan purnama yang dibencinya, tiap bulan datang berkaca di
permukaan sumur yang menjadi makamnya.
Dan itu bukan satu kali, terkadang tiga kali dalam sebulan, bulan berada tepat di atas sumur.
Wajah purnama selalu datang mengungkit masa lalunya.
Luka mengiris kembali setiap dia melihat purnama.
Dan dia akan merasa tenang, merasa tertolong ketika dia melihat wajah manusia, ataupun sekadar mendengar suaranya. Caca telah menjadi dewa penolong untuknya.
�Boleh aku melihat wajahmu,� pinta Caca.
�Kamu nggak akan mungkin datang menolongku setelah melihat rupaku.�
Caca tetap memaksa. Dia yakin Heni cantik, mengapa harus takut. Paksaan itu tak membuat Heni tunduk.
�Aku akan menolongmu dengan menutup sumur ini, hingga kamu nggak akan pernah melihat purnama. Tapi tampakkan dulu wajahmu! Aku��
Belum selesai kalimat Caca, seseorang telah berdiri di depannya. Tubuhnya penuh luka bekas tikaman.
Wajahnya hancur. Anjing tiba-tiba melolong saat rupa itu tertangkap indera penglihatannya. Caca mundur selangkah. Tak ingin menakuti Caca terlalu lama, sosok itu menghilang. Suaranya pun tak pernah lagi terdengar.
Caca menepati janji. Dia menutup kembali sumur itu. Meski menyeramkan, dia puas telah melihat wajah Heni.
Dia mengerti kini, mengapa hanya dia yang bisa mendengar suara Heni. Mungkin karena berasal dari kota yang sama, apalagi meski tak kenal, pernah ada jalinan kontak batin saat dia ikut prihatin dengan kematian Heni di tangan perampok yang menghabisi semua uang dan perhiasannya, juga nyawanya!.
sumber : cerpen
Satu per satu, lampu kamar kost itu tergantikan dengan cahaya redup lampu tidur. Bahkan ada yang membiarkannya pekat tanpa cahaya apapun.
Sunyi. Suara tivi ataupun suara para penghuninya yang terkadang bingar, kini tak terdengar.
Tiba-tiba terdengar jeritan. Suara gadis itu keluar seperti dipaksa oleh bayangan seram yang dilihatnya.
Caca merapatkan selimut. Tidak seperti bulan lalu, saat mendengar suara serupa. Di malam yang juga pekat, dia bangkit dan mencari asal suara. Kali ini tidak! Dia bahkan mematikan lampu tidur yang selalu menemaninya bermimpi.
�Tolooong!�
Suara itu semakin panik. Caca bergidik juga akhirnya, setelah dari tadi mencoba menepis suara itu.
�Aaaah��!�
Sepertinya sebuah tikaman baru saja mendarat di tubuh pemilik suara itu, atau kobaran api menjilatnya. Mungkin juga air panas menyiraminya.
Caca tidak tahu. Suara itu membelah malam. Dan dia membiarkannya. Sebulan yang lalu, suara serupa terdengar tiga malam berturut-turut. Tiga malam pula, Caca keluar rumah untuk mencari asal suara.
Cahaya purnama membuatnya leluasa mencari pemilik suara itu, di antara pekarangan yang tidak terlalu luas. Tapi suara itu ditemukannya tanpa wujud dari dalam sumur yang juga diterangi purnama.
Tak ada seorang pun di kedalaman sumur itu. Hanya purnama yang berkaca, juga bau kaporit yang menyengat.
Suara itu langsung menghilang saat Caca menengok ke dalam sumur.
Malam ini, saat suara itu terdengar lagi, Caca memilih diam.
Percuma! Bulan lalu tiga malam berturut-turut dia keluar mencari, tapi tak ada yang didapatkannya kecuali bulan dalam sumur.
Lebih mengecewakan, karena paginya, saat dia bercerita ke teman kostnya yang lain, semua menganggapnya baru bangun dari mimpi buruk.
Hanya dia yang mendengar suara itu. Jeritan yang seandainya bulan di langit yang tertidur pun akan mendengarnya. Tapi ini tidak! Penghuni bumi pun, hanya Caca yang bisa mendengarnya tanpa pernah
melihat pemiliknya.
Selalu hilang, saat Caca menundukkan kepala ke dalam sumur. Sumur itu sebelumnya tak pernah dipergunakan airnya.
Tapi kemarau panjang, yang entah akan berakhir sampai kapan, membuat seluruh penghuni kost sepakat mengeruk airnya yang sudah bau, lalu ditaburi kaporit. Hasilnya lumayan, untuk urusan mandi dan mencuci, air sumur itu yang diberdayakan. Sementara air PAM yang hanya mengalir saat tengah malam, ditampung untuk keperluan minum dan masak.
�Tolooong!�
Suara itu tak lagi sekeras tadi, juga tak lagi histeris. Kini menyerupai pelasan minta belas kasihan.
Caca bisa membayangkan, pemilik suara itu telah dilukai dan kini memelas, menangis menahan sakit.
Caca yang dari tadi tak peduli, kini tersentuh hatinya untuk bangkit. Bulan lalu, suara itu tak pernah memelas seperti ini karena dia selalu keluar mencari pemiliknya. Tapi kini?
Suara minta tolong itu, berganti dengan isak yang memilukan. Caca semakin tersentuh, semakin ikut merasa, dan dia tak bisa bertahan dengan pendiriannya. Dia bangkit dari tempat tidur, lalu
melangkah ke arah sumur di luar rumah.Tak seperti bulan lalu, kali ini Caca ingin memastikan asal suara itu, benar berasal dari dalam sumur. Dengan mengendap-endap, Caca diterangi purnama yang separuhnya tertutup awan, melangkah menuju ke sumur yang diyakininya menjadi asal suara.
Suara isak itu masih terdengar. Makin memilukan.
Tak ingin ketahuan oleh pemilik suara, Caca tidak langsung
menengok ke dalam sumur. Dia duduk dan merapatkaan telinga di dinding sumur.
Jelas sekali, suara itu berasal dari dalam sumur.
Isak tangis yang memilukan, seolah pemilik suara itu dalam ketakutan yang teramat sangat, dan meminta pertolongan.
Caca memperhatikan langit. Kali ini wajah purnama masih dikabuti awan. Tepat di atas sumur!
Caca belum juga menengok ke dalam sumur, dia ingin tahu sampai kapan gadis itu akan menangis. Dan tiba-tiba�
�Tooloong!� Menjerit lagi.
Suara histeris itu bersamaan dengan berlalunya awan yang menyelimuti bulan. Purnama bulat utuh lagi.
Suara itu semakin menjerit kesakitan. Seolah bulan yang berkaca di dalam sumur menampakkan wajah seram untuknya.
Entah berapa lama suara itu melengking membelah malam. Tapi setiap bulan tertutupi awan, suara itu berubah memelas dalam tangis. Caca jadi yakin. Pemilik suara itu takut pada bulan yang tepat berada di atas sumur.
Caca tak ingin kecolongan, seperti bulan lalu, di
mana suara itu selalu menghilang saat dia menengok ke dalam sumur. Bukannya takut, jiwa petualang Caca malah penasaran dan memilih terus duduk, merapatkan telinga di dinding sumur.
�Kamu siapa?�
Caca mencoba menyapa, meski merasa ada perasaan aneh yang merambati tubuhnya saat dia mengucap tanya. Bulu kuduknya berdiri.
Suara tangisan dari dalam sumur, lenyap tiba-tiba.
Berganti dengan desau angin malam yang mendesis liar. Daun-daun kering di sekitar sumur beterbangan. Dingin. Menyeramkan.
Jiwa petualang Caca bukannya tertantang, nyalinya ciut.
Apalagi ketika bulan menyembunyikan diri di balik awan. Caca berdiri dari jongkoknya. Dia tak sanggup.
�Terima kasih kamu mau menyelamatkanku,� ucap pemilik suara tanpa rupa itu.
Tapi Caca yakin, gadis itu tak lagi berada di dalam sumur.
Suaranya yang begitu dekat, meyakinkan dia jika gadis itu ada di depannya.
Dengan lutut gemetar dia berdiri, lalu mundur selangkah.
�Jangan takut! Aku nggak mungkin menyakiti orang yang selalu datang menolongku.�
�Ka� kamu siapa?�
�Aku Heni. Kamu nggak mungkin bisa melihatku.�
Heni? Caca merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya.
Di antara ketakutannya, dia mencoba mencari nama itu dalam ingatannya. Nama yang akrab sekali, tapi cuma di ingatannya. Ia juga tak tahu, kapan dan di mana dia mulai mendengar nama itu.
�Kamu mengenalku kan?�
Caca mengangguk, tapi juga menggeleng setelahnya. Heni tertawa melengking.
�Masih ingat peristiwa pembunuhan mahasiswi asal Semarang tahun lalu?�
Caca ingat kini. Saat itu masih SMA, Semarang digemparkan dengan berita pembunuhan tragis di Makassar.
Heni, korban pembunuhan itu, putri tunggal pejabat teras di Semarang, kota asal Caca.
�Meski jasadku bisa diangkat dari dalam sumur ini, rohku tetap bersemayam di sini. Sumur ini makamku,�
Kali ini Caca sudah bisa membayangkan bentuk rupa lawan bicaranya, meski belum juga menampakkan wujudnya.
Foto Heni pernah menghiasi semua koran harian di Semarang.
Cantik, fotogenik, punya senyum manis. Maklum, dia pernah ikut grand final pemilihan model majalah remaja.
Cerita Heni berlanjut, di antara desau angin yang tak berhenti mendesah.
Jasad Heni dimasukkan dalam sumur. Ditemukan warga setelah membusuk.
Heni benci pada bulan. Wajah purnama selalu datang mengingatkan dia pada peristiwa pembunuhan dirinya.
Dia melihat purnama bulat sempurna, saat dirinya yang penuh luka bekas tikaman, diseret dan dimasukkan dalam sumur. Di antara napas yang tersisa, dia memelas minta tolong. Dewi malam yang bisu hanya mampu bersaksi, tanpa bisa beraksi jadi dewi penolong.
Setahun rohnya mengendap di dasar sumur, tenang, tanpa pernah mencoba mengganggu ketenangan manusia.
Tapi saat seng penutup sumur dibuka dengan alasan cahaya bisa masuk sumur dan tidak menyebabkan airnya bau, ketenangan Heni terganggu.
Perjalanaan purnama yang dibencinya, tiap bulan datang berkaca di
permukaan sumur yang menjadi makamnya.
Dan itu bukan satu kali, terkadang tiga kali dalam sebulan, bulan berada tepat di atas sumur.
Wajah purnama selalu datang mengungkit masa lalunya.
Luka mengiris kembali setiap dia melihat purnama.
Dan dia akan merasa tenang, merasa tertolong ketika dia melihat wajah manusia, ataupun sekadar mendengar suaranya. Caca telah menjadi dewa penolong untuknya.
�Boleh aku melihat wajahmu,� pinta Caca.
�Kamu nggak akan mungkin datang menolongku setelah melihat rupaku.�
Caca tetap memaksa. Dia yakin Heni cantik, mengapa harus takut. Paksaan itu tak membuat Heni tunduk.
�Aku akan menolongmu dengan menutup sumur ini, hingga kamu nggak akan pernah melihat purnama. Tapi tampakkan dulu wajahmu! Aku��
Belum selesai kalimat Caca, seseorang telah berdiri di depannya. Tubuhnya penuh luka bekas tikaman.
Wajahnya hancur. Anjing tiba-tiba melolong saat rupa itu tertangkap indera penglihatannya. Caca mundur selangkah. Tak ingin menakuti Caca terlalu lama, sosok itu menghilang. Suaranya pun tak pernah lagi terdengar.
Caca menepati janji. Dia menutup kembali sumur itu. Meski menyeramkan, dia puas telah melihat wajah Heni.
Dia mengerti kini, mengapa hanya dia yang bisa mendengar suara Heni. Mungkin karena berasal dari kota yang sama, apalagi meski tak kenal, pernah ada jalinan kontak batin saat dia ikut prihatin dengan kematian Heni di tangan perampok yang menghabisi semua uang dan perhiasannya, juga nyawanya!.
sumber : cerpen