Log in

View Full Version : Putri Ngesot di Pemandian Cibulan


blueparadise
7th June 2010, 09:32 AM
Cibulan bukan hanya obyek wisata pemandian tersohor di kaki Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan, Jawa Barat (Jabar). Ternyata, kolam pemandian di Desa Manis Kidul, Kecamatan Jalaksana ini juga mempunyai latar belakang sejarah penyebaran Islam Walisanga di Kesultanan Cirebon. Tak pelak, sebagai situs keramat, Cibulan kental dengan hal-hal berbau mistis. Keberadaan Putri Ngesot semakin menguatkan mistis di situs pemandian Cibulan. Sejauh mana kebenarannya? Berikut ini kesaksian seorang pengunjung yang nyaris dijadikan budak di istana jin situs pemandian Cibulan. Perbudakan tersebut tidak lain sebagai hukuman, karena dianggap telah mengganggu para putri kerajaan.
Maming, 24 tahun, terlahir dari keluarga mapan di Desa Babadan, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Jabar. Profesi yang dilakoni pemuda berkulit hitam-manis ini sebagai supervisor bangunan, terutama pada proyek-proyek pemerintah daerah (pemda). Setelah gonta-ganti kontraktor, sejak 2007 silam dia direkrut Ir. Nanang Kusmana untuk menggarap proyek-proyek pemda yang dimenangkan CV. Saluyu Putra yang berkantor di Jalan D.I Panjaitan Indramayu.
Dituturkan Maming kepada Misteri, Kamis, 3 April 2008, manager akuntansi CV Saluyu Putra, Moch. Djufri, 50 tahun, rujuk dengan mantan istrinya. Sehingga, sebagai bukti kesetiakawanan, segenap staf dan rekanan mengantarkan mempelai pria itu ke Dusun Manis, RT.01 RW.02, Desa Setianegara, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan.
Ijab qobul pernikahan berlangsung pukul 10.00 WIB, dilanjutkan perasmanan. Seusai makan-makan, tiga mobil pengantar pengantin, terdiri Suzuki APV, Daihatsu Feroza dan sedan Honda Civic bergerak meninggalkan rumah mempelai menuju situs pemandian Cibulan di Desa Manis Kidul, Kecamatan Jalaksana, Kuningan, yang hanya berjarak 10 kilometer dari Desa Setianegara.
Karena belum memasuki libur panjang, hari itu pengunjung yang datang tidak terlalu membeludak. Kolam khusus dewasa yang berada di sisi selatan sama sekali tidak dipakai. Belasan pengunjung hanya mengisi kolam anak di sisi utara. Mereka adalah pelajar salah sebuah SD yang sedang melaksanakan praktik renang.
Melihat suasana selengang itu, sebenarnya Maming kurang berselera. Tapi, karena dia hanya menumpang, mau tak mau dia mengikuti kemauan rombongan.
Kebetulan, cuaca paska rendengan di kaki Gunung Ciremai mulai mendung. Bahkan saat masih di Dusun Manis, Desa Setianegara, puncak Gunung Ciremai sudah tertutup kabut putih, pertanda cuaca bakal turun hujan.
Guna menghalau hawa dingin, Maming pesan kopi mocha hangat dari kios pedagang minuman di sisi timur kolam Cibulan. Idenya itu diikuti Buloh, Jojon, Hasan, Hendi dan Ucok. Mereka duduk berderet melingkari meja kayu menghadap kolam pemandian anak. Sementara H. Ade beserta keluarganya sibuk bermain air di jamban pemandian, sedangkan Ir. Nanang Kusmana bersama istrinya memilih relaks di luar pemandian sambil menyantap alpukat segar.
Kopi mocha hangat baru diteguk seperempat segelas, Maming mengajak Hendi dan Ucok jalan-jalan keliling kolam pemandian. Nyaris seluruh sisi kolam dilalui, rupanya Maming tertarik penghuni dasar kolam, dimana disana berseliweran ikan kancra berukuran besar. Ikan jumbo sebesar paha orang dewasa dengan bobot rata-rata 20-25 kg itu bersisik abu-abu sekilas mirip ular gunung.
Kemanapun kaki ketiganya melangkah di atas pematang kolam, di dalam air diikuti puluhan ikan kancra. Iseng-iseng Ucok mencelupkan tangan ke dalam air, ternyata ikan-ikan itu bukan kabur melainkan memutarinya dan berusaha menyentuh jemari tangan Ucok.
Maming menatap takjub ke arah puluhan ikan kancra di sekeliling telapak tangan Ucok. Tak berapa lama, kening Maming berkerut tajam sewaktu seekor kancra terseok-seok dari ujung utara menuju ke kerumunan puluhan kancra lainnya. Setibanya kancra aneh itu, kancra-kancra lainnya serempak membubarkan diri.
�Saat itu aku merasakan ada pancaran aura dari sepasang mata kancra berbadan cacat itu. Sinar aneh itu menampar ke mata membuat pandanganku berkunang-kunang dan nyaris saja tersungkur ke kolam,� tutur Maming.
Kejadiannya tidak begitu lama, namun bagi Maming seakan ada sesuatu yang sangat asing telah merasuki jiwanya. Perubahan itu luput dari perhatian rekan-rekannya, bahkan hingga Suzuki APV yang dikemudikan Hasan meninggalkan pemandian Cibulan dan tiba kembali di halaman gudang gypsum milik bosnya di Gang Siapem, Kelurahan Margadadi, Kec./Kab. Indramayu.
Ajakan Jojon dan Buloh agar istirahat di sekretariat gudang ditolaknya secara halus. Sepeda motor Supra Fit dia pacu menuju Babadan. Tanpa menghiraukan teguran keluarganya, Maming langsung menerobos kamar tidur lalu membanting punggung di atas kasur empuk ranjang kayu berkelambu transparan.
Pikiran Maming benar-benar kosong. Dia seolah berada di tapal batas antara alam nyata dengan alam bawah sadar. Apapun yang berlangsung di sekelilingnya tak bisa membuyarkan pikirannya. Bahkan kumandang adzan Maghrib sama sekali tak sanggup mengusiknya.
Tapal batas itu berangsur terlewati. Maming mulai memasuki alam bawah sadar. Di sekelilingnya teramat lengang. Sepanjang mata memandang hanya terbentang padang gersang. Angin berhembus sangat lembut, saking lembutnya sehingga tak mampu mengangkat butiran debu di atas tanah cokelat kemerahan. Di langit tak ada bola matahari, membuat suasana temaram persis suasana ba�da Maghrib di alam nyata.
Dia hanya terkagum-kagum di dalam hati terhadap suasana asing yang sedang dilaluinya, tak ada upaya untuk berontak bahkan hanya sekedar bertanya. Sepasang kaki telanjang terus mengayun berirama. Pemuda berpostur kurus itupun kian jauh meninggalkan tapal batas alam bawah sadar.
Lama sekali mengayun langkah di tengah padang gersang. Anehnya, nafas Maming tetap normal tanpa ada kelelahan sedikit pun. Begitu pun sendi-sendi lututnya sangat ringan bergerak menyusuri jalanan berdebu sehingga menghampiri sebuah bukit.
Bukit apa yang akan dituju, Maming tak mampu menerka, sebab semuanya serba asing dan belum pernah disinggahi sepanjang hidupnya. Di balik bukit kecil itu, dia dihadang panorama sangat kontras. Kini tak ada permukaan tanah yang kosong, seluruhnya tertutup taman bunga.
Ada kolam cukup luas berair jernih. Di depan kolam, terdapat bangunan antik menyerupai bangunan keputren (tempat istirahat putri raja) di era masa kerajaan. Seolah ada magnit kuat yang menyedot langkah Maming untuk berjalan menghampiri bangunan keputren.
Pintu berukir terbuat dari kayu merah itu tidak dikunci, sebelum tangan Maming mendorong, daun pintu lebih dulu berderit terbuka separuh bagian. Penuh keheranan, dia melangkah memasuki ruangan luas berlantai marmer warna abu-abu muda. Di bagian tengah berdiameter sekitar lima meter persegi, permukaan batu marmer ditutup karpet tebal bermotif natural.
Dia celingukan ke seantoro ruangan. Lampu minyak model primitif tertempel mengitari dinding yang seluruhnya dilapisi marmer kuning gading. Pelita kecil itulah sebagai sumber penerangan ruangan yang sangat luas itu.
Yang paling aneh pada langit-langit ruangannya. Sangat tidak lazim. Ada plafon terbuat dari kaca, sehingga siapa pun bisa melihat berseliwerannya berbagai jenis ikan di antara celah terumbu karang.
�Dimanakah aku sekarang? Apakah di dasar laut?� Maming membatin seraya tetap memandangi berseliwerannya berbagai jenis ikan di atasnya.
Dia merasakan ada orang datang menghampiri, sehingga tatapan matanya diturunkan dari plafon kaca ke sekelilingnya. Jantung pemuda ini pun berdesir hangat, manakala disadari, seisi ruangan itu dipenuhi para gadis belia mengenakan pakaian khas kerajaan seperti dalam sinetron kolosal.
Wajah-wajah mereka nyaris sama satu dengan lainnya. Yang pasti, paras mereka seluruhnya manis dan menggairahkan hasrat kelaki-lakiannya. Bau tubuhnya begitu merangsang, melebihi aroma parfum produk manapun.
Para gadis itupun pelan-pelan bergerak ke satu titik, yakni ke arah Maming yang berdiri takjub di atas karpet wol.
Belasan gadis umur 20-an tahun itu saling melempar tawa renyah khas anak baru gede (ABG). Jarak para gadis makin dekat, Maming bukan hanya terkesima, melainkan nyaris semaput. Selama hidupnya, baru kali ini dia melihat belasan gadis berparas jelita.
Tatapan mata mereka tampak berbinar-binar, laiknya gadis sedang jatuh cinta. Detak jantung Maming tambah tak menentu, apalagi salah seorang gadis itu mengajak berkenalan. Maming semakin grogi. Jangankan mampu menyebutkan nama, mulut Maming hanya menganga seperti mulut boneka karet. Suaranya tersangkut jauh di kerongkongan.
Sekuat tenaga dia paksa agar mampu bersikap jantan, tapi semakin dipaksakan, justru semakin memalukan. Yang meluncur dari rongga mulutnya jauh lebih buruk dibanding lenguhan keledai. Kalimat yang dilontarkan tidak utuh, terbata-bata mirip orang mengigau.
Maming bukan type pemuda gampang patah semangat. Dengan menerapkan metoda pengaturan pernafasan, dia berhasil mengendalikan diri. Pelan-pelan dia julurkan tangan kanan menyongsong uluran tangan sang gadis. Ketika sepasang ujung jari saling terpaut, dari arah kejauhan terdengar suara menyerupai pelepah kelapa diseret.
Sulit dipercaya, ekspresi wajah para gadis serempak menggambarkan ketakutan. Bahkan, gadis yang berdiri tepat di depan Maming, buru-buru menarik uluran tangannya. Lalu mereka berebut meninggalkan ruangan, dan hanya menyisakan Maming berdiri tercenung.
Suara aneh itu makin jelas di pendengaran, kali ini bukan hanya menyerupai pelepah diseret, melainkan diikuti suara dengus dan geraman. Pandangan mata Maming diedarkan ke berbagai penjuru ruangan, namun tak terlihat apa-apa. Saat pandangan diarahkan lebih bawah, spontan saja Maming terpekik kaget.
Hanya beberapa meter dari arah samping, seorang perempuan muda mengenakan busana putri keraton ngesot di atas lantai marmer. Bukan hanya cara jalan dan suara dengusan yang membuat jantung Maming nyaris putus, wajah perempuan itu sangat tak sedap untuk dipandang mata.
Kulit mukanya mengelupas persis bekas luka bakar sangat parah. Sepasang matanya hanya berupa bola besar tanpa kelopak. Hidungnya hanya menyisakan dua lubang kecil, dan yang paling seram pada bagian mulut, dimana barisan gigi itu tanpa tertutup bibir.
Putri ngesot terus bergerak menghampiri dengan tatapan murka. Di pihak lain, Maming bergerak mundur dan terus mundur. Saat punggungnya membentur tembok, Maming mulai paham, saat itu nyawanya tengah terancam.
�Ampun, jangan bunuh aku. Tak sengaja aku masuk ke rumah ini!� Maming menghiba minta belas kasihan.
�Kehadiran kamu sudah mengganggu ketenangan istana. Apa pula maksud kamu mengganggu adik-adikku, hah?!� Bentak putri ngesot.
Maming tergagap-gagap. Dia paham, ternyata belasan gadis tadi tidak lain adik putri ngesot itu. Kini perempuan ngesot itu didera murka dan entah apa yang akan dia lakukan terhadap Maming.
�Ampuuun� aku mau pamit, tapi aku tak tahu jalan pulang!� Maming menghiba.
�Tidak bisa! Kamu harus menjalani hukuman atas perbuatanmu. Kamu harus jadi budak di istana ini selama duapuluh tahun!� Bentak putri ngesot.
Maming terlonjak kaget. Tidak mungkin dia terima hukuman seberat itu untuk kesalahan kecil yang dia lakukan terhadap para gadis tadi. Lalu terlintas dalam pikiran sehatnya untuk melarikan diri.
Tanpa buang waktu, dia memacu langkah menuju ambang pintu. Sayang, posisi putri ngesot tepat sejajar dengan ambang pintu. Maka hanya ada satu jalan untuk mencapai ambang pintu yakni dengan cara melompatinya.
�Tapi, bagaimana kalau kakiku berhasil disambarnya? Celakalah aku!� Maming mulai ragu-ragu untuk bertindak.
Tapi, jika tetap mematung, tak lama lagi, mahluk mengerikan itu bakal menutup pintu dan Maming akan terkurung di dalam gedung keputren selama duapuluh tahun menjadi budak. Ingat ancaman hukuman yang bakal diterima, seperti ada dorongan tenaga cadangan, Maming mengambil ancang-ancang untuk melompati tubuh putri ngesot.
Dugaannya ternyata tepat. Saat tubuhnya melayang di atas kepala putri ngesot, kaki kiri Maming terasa ada yang membetot. Akibatnya, tubuh Maming terbanting di atas lantai lantas berguling-guling. Melihat buruannya berguling, putri ngesot mempercepat gerakannya untuk dapat mencengkeram pakaian Maming.
Maming tidak memperdulikan rasa sakit pada dada dan lutut akibat membentur lantai, dia bergegas bangkit untuk secepatnya menerobos ambang pintu. Sekuat tenaga dia melompat melesat ke ambang pintu. Selepasnya dari ambang pintu, keanehan pun terjadi. Kaki Maming tidak mendarat di atas lantai keramik depan pintu, melainkan tubuhnya terjun bebas ke dalam air.
Beberapakali dia menelan air yang sangat dingin itu. Ternyata, Maming berada di dalam kolam. Suasana di sekitar kolam cukup temaram. Mula-mula agak asing, makin diingat, dia mulai mengenalinya. Ya, saat itu Maming berdiri di dalam kolam situs pemandian Cibulan.
Air dingin nyaris menyentuh dagunya, dia berupaya bergerak ke darat, tapi sekujur tubuhnya seperti ada yang mencubiti. Setelah diamati, ternyata puluhan ikan kancra seakan tengah mencumbuinya. Beberapa meter di depannya, tampak ikan besar meluncur dalam gerakan aneh. Ikan itu meluncur ke arah Maming. Pada saat yang sama, puluhan ikan lain serempak membubarkan diri menjauhi tubuh Maming.
�Masya Allah, ikan itu tampak bengkok di seperempat bagian tubuh bagian belakang. Sepertinya patah� apakah� ikan itu jelmaan putri ngesot�?�
Selesai membathin, semampu yang dia bisa, Maming melompat-lompat menggapai tepi kolam. Di belakangnya, ikan bengkok terus mengikuti dalam jarak hanya berselang belasan inci.
Setibanya di tepi kolam, sekuat tenaga Maming naik ke atas kolam. Dengan penasaran, dia amati ke bagian kolam. Tampak ikan bengkok itu tak bergerak dalam posisi menghadap ke arah Maming.
Maming berdiri bingung, kolam pemandian sangat lengang. Buru-buru dia melangkah menuju pintu keluar. Beberapa langkah lagi mencapai pintu, daun pintu ditutup dari luar. Maming spontan teriak-teriak supaya pintunya dibuka lagi. Pintu itupun kembali terbuka disusul seorang laki-laki melongok ke dalam penuh keheranan.
�Hampir jam sembilan malam kamu masih di kolam? Kok tidak dilepas dulu pakaiannya, sampai basah kuyup?� Tegur laki-laki petugas kebersihan itu dengan heran.
Maming tidak berselera menjelaskan apa yang telah terjadi atas dirinya. Dia langsung lari mengejar angkutan umum yang hendak meninggalkan pelataran obyek wisata Cibulan. Hanya ada satu tujuan, yaitu ke rumah Djufri di Setianegara.

sumber : majalah misteri