suman
7th June 2010, 12:06 AM
http://alangalangkumitir.files.wordpress.com/2009/06/lambang1.png?w=120&h=118
Sri Sultan Hamengku Buwono X
�Sebaik-baik Ilmu adalah berdoa kepada Allah SWT�
LATAR BELAKANG
PUSAKA Inadonesia terhampar luas dari puncah gunung, pusat-pusat kota tua, pedesaan, candi, hingga pulau-pulau dan lautan beserta isinya, termasuk juga seni budaya. Keanekaragaman alam dan budaya yang ada di Nusantara ini merupakan�Pusaka Bangsa� yang dapat memperkuat semangat �Bhinneka Tunggal Ika�. Salah satu sumber informasi kebudayaan daerah yang sangat penting artinya dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional adalah naskah-naskah kuna. Pada dasarnya naskah-naskah lama itu merupakan dokumen budaya yang berisi data dan informasi tentang pikiran, perasaan, dan pengetahuan dari suatu etnik atau kelompak sosial budaya tertentu, sekaligus sebagai unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat yang melahirkan dan mendukung naskah-naskah tersebut.
Karena itu, peninggalan suatu kebudayaan berupa naskah, termasuk dokumen yang paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama. Artefak sebagai peninggalan sejarah berbentuk puing bangunan seperti candi, istana raja, pemandian suci, dan lain sebagainya, bisa memberi kesan mengenai keagungan budaya lama. Namun, peninggalan berbentuk sisa bangunan itu belum sanggup memberi informasi langsung yang mencukupi mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat yang membangunnya. Karena hal itu hanya dapat kita ketahui lebih mendalam melalui peninggalan dalam bentuk naskah.
Pada masanya naskah-naskah itu mempunyai banyak fungsi, antara lain sebagai pegangan kaum bangsawan untuk naskah-naskah yang berisi silsilah, sejarah leluhur, dan sejarah daerah mereka, sebagai alat pendidikan untuk naskah-naskah yang berisi pelajaran agama dan etika, sebagai media menikmati seni budaya seperti naskah-naskah yang berisi cipta sastra atau karya seni, dapat menambah pengetahuan untuk naskah-naskah yang berisi berbagai informasi ilmu pengetahuan, dan sebagai alat keperluan praktis kehidupan sehari-hari untuk naskah-naskah yang berisi primbon dan sistem perhitungan waktu serta doa-doa yang bisa disebut mantra.
Seminar Nasional yang mengetengahkan masalah naskah-naskah kuna Nusantara ini, diharapkan dapat mempublikasikan kandungan isi naskah-naskah Nusantara, khususnya mantra, dalam upaya mengungkapkan kekayaan budaya bangsa. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki warisan kekayaan khazanah manuscript yang tergolong terbesar di dunia (tercatat di Perpustakaan Nasional mendekati angka 10.000 eksemplar 2), yang dituangkan melalui tulisan tangan sejak berabad-abad silam. Lewat tulisan tangan itu, masyarakat mengungkapkan ide-ide relegiusnya mengenai manusia dan semesta alam. Di dalam naskah yang tersebar di seantero Nusantara itu, terdapat teks yang mengandung nilai-nilai kebenaran� kebajikan dan keindahan.
Memang tidak semua komunitas masyarakat Nusantara memiliki dan menyimpan khazanah pernaskahan tersebut. Tidak semua kelompok etnis di Nusantara memiliki peninggalan tradisi tulis berupa naskah. Di Indonesia ada sekitar 500-an suku, etapi yang memiliki naskah tradisional, antara lain suku Jawa, Sunda, Bali, Sasak, Batak, Madura, Rejang Lebong, Aceh, Melayu dan Bugis.
Ada ribuan naskah tradisional yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia yang memerlukan penanganan serius. Lewat Seminar ini diharapkan menjadi bukti usaha memelihara, mengembangkan dan meneruskan warisan budaya bangsa. Naskah tradisional sebagai peninggalan sejarah dan intelektual bersama nilai-nilai ultural dan religius masyarakat, untuk dapat bangkit menjadi bangsa yang cendekia, erbudaya dan arif di hadapan tantangan globalisaisi.
NASKAH KUNA DI DALAM KERATON
BANYAK naskah kuna di dalam Keraton yang disebut kawruh, piwulang atau pitutur-Iuhur dari para leluhur yang dikemas dalam pelbagai naskah yang tersimpan sebagai pus aka. Naskah itu bisa berupa Babad, Serat, Sastra pewayangan, Sastra Suluk dan sejenisnya
Babad umumnya berisi tentang sejarah kerajaan atau tokohnya, Serat berisi tentang ajaran-ajaran atau piwulang atau kisah dalam dunia pewayangan, khususnya kisah Mahabarata dan Ramayana, Suluk berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral, dan lain-lain. Babad bukan sejarah dalam arti historis kronologis, tetapi lebih sebagai alat tutur-luhur yang berisi petuah dan nasihat.
Sastra pengaruh India mendominasi Jawa dalam waktu yang cukup lama, karena baru pada jaman Majapahit muncul pembaharuan sastra Jawa dengan lahirnya Kitab Negarakertagama. Sastra ini mereformasi mitologi India yang sudah menjadi tradisi di lingkungan masyarakat Jawa, yang tokoh-tokohnya kemudian diganti dengan tokoh-tokoh Majapahit secara riil.
Setelah agama Islam masuk, muncullah kitab Suluk Seloka, berisi ajaran serta tuntunan bersatunya makhluk dengan Tuhannya. Berbeda dengan pandangan Jawa-Hindu, seseorang hanya bisa berhubungan dengan Tuhan, kalau dia itu pendeta, raja dan. pujangga. Mereka inilah yang dapat bersatu dengan dewa. Sedangkan kitab-kitab Suluk Seloka mengajarkan seseorang dapat berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara, dan ini berarti suatu penghargaan individu yang sangat tinggi.
Pada jaman Islam ini, muncul naskah-naskah berisi mantra-mantra yang berciri mitologi Islam, seperti Kitab Ambiya Jawi, Serat Anggit Kidung Berdonga, Serat Puji, yang masih tersimpan di Keraton Yogyakarta. Lahir pula Sastra Piwulang, seperti Serat Nitisruti, Serat Nitipraja, dan Serat Sewaka, yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi kepada raja dan cara memerintah.
Bentuk metrum macapat juga muncul dalam karya sastra sejarah seperti Babad Giyanti, Babad Pakepung, Babad Prayut dan sebagainya. Pada jaman itu muncul karya futuristik yang digubah barangkaii kita dapat bercemrin diri akan keberadaan kita sekarang. Tatkala Pangeran Mangkubumi bergerilya di kawasan Kedu dan Kebanaran pernah berujar secara bersahaja, yang dikutip dalam Babad Giyantl: �Satuhune Sri Narapati Mangunahnya Brangti-Wljayanti��. Ucapan itu menunjukkan keprihatinan beliau, bahwa kultur Barat sebagai akses gencamya politik kolonialisme Belanda yang mencekik, akan membuat raja-raja Jawa terkena demam asmara dan lemah-lunglai tanpa daya.
Keadaan ini harus dihadapi dengan �wijayanti�, untuk bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. Maka dianjurkannya: �puwarane sung awerdi, gagat-gagat wijayai��, untuk menjadi pemenang, seorang Raja haruslah meneladani sikap tulus tanpa pamrih, agar bisa menyambut cerahnya hari esok yang laksana biru nirmala.
Ungkapan ini rasanya ada paralelisme sejarah dengan keadaan sekarang, di saat menghadapi hantaman derasnya arus globalisasi mengharuskan kita bersiap diri untuk meningkatkan kualitas dalam semua aspek kehidupan. Selain harus �eling Ian waspada� menghadapi berbagai godaan dan cobaan di zaman Kala-Tida ini, di mana banyak hal yang diliputi oleh keadaan yang serba �tida-tida� �penuh was-was, keraguan clan ketidakpastian.
MANTRA KONSEPSI HINDU
KONON, mantra berasal dati kata �man�, yang berarti pikiran, dan �tra�, yang berarti alat. Jadi �mantra� berarti �alat dari pikiran�. Pengertian mantra menurut Mantra Yoga adalah sebagai berikut :
�Mantras (or mantrams) are words, phrases, or syllables, which are chanted thoughtfully and with growing attention�
["Mantra/mantram adalah kata-kata, ungkapan atau suku-kata yang secara khusuk dilagukan berulang-ulang dengan konsentrasi yang semakin meningkat"].
Mantra adalah suatu idiom atau kata khusus yang mempunyai arti tersendiri. Bahkan, menyimpan kekuatan dahsyat yang terkadang sulit diterima akal sehat. Dan menurut ajaran agama Hindu, mantra adalah kata- kata yang diyakini sebagai wahyu yang diterima oleh manusia pilihan, sebagai alat komunikasi khusus dengan Tuhan atau dewa-dewa yang merupakan manifestasi dari kekuatan-Nya. Karena itu tidaklah mengherankan kalau mantra begitu dikeramatkan, dan tidak boleh sembarang orang mengucapkannya sebelum pemah mewinten (disucikan secara ritual). Selain itu, tidak boleh pula diucapkan di tempat-tempat yang tidak pantas. Demikianlah konsep mantra menurut Hindu.
Dalam bahasa Latin kita mengenal kata alpha dan omega. Alpha berarti awal dan omega, akhir. Dalam agama Hindu kedua kata ini disingkat dengan kata �Om� (awal-akhir), yang berasal dari kata Aum atau semangat Sabda Allah yang menciptakan melestarikan dan mentransformasikan mantra Hindu: �Asato Ma Sat Gamayo�, yakni �Bimbinglah aku dari dunia maya ke dunia Nyata�.
Aum terdiri dari tiga huruf yakni A, U, dan M. A adalah simbol Dewa Brahmana, wujud Tuhan dalam waktu menciptakan alam semesta ini. Konon, pada waktu mengucapkan huruf �A� itu, bentuk mulut mulai terbuka. Kemudian huruf �u� adalah simbol Dewa Wisnu, manifestasi Tuhan dalam waktu memelihara dan melindungi alam. Saat mengucapkan huruf ini, bibir dipanjangkan seperti sikap melindungi bagian dalam dari mulut itu sendiri. Ada pun huruf �M� adalah simbol Dewa Siwa, manifestasi Tuhan yang mengembalikan segalanya ke asalnya. Pada waktu mengucapkan huruf ini, bibir kelihatan terkatup rapat kembali sebagaimana asalnya sebelum terbuka.
Setelah masuknya Islam, pemantraan masih tetap dikenal dalam khasanah mistik kita. Mungkin, hanya istilah-istilah saja yang berbeda, misalnya ajian, jampi dan lain sebagainya, seperti dalam Kitab Mujarobat. Sebenarnya istilah-istilah tersebut tetap mengandung arti sama, yang (dipercaya) menyimpan tuah tertentu. Berkaitan penggunaan kata �Om�, dalam mantra-mantra bemafaskan Islam umumnya lalu diganti dengan �Bismillahirrohmanirrohim�, yang hakikatnya sama.
Sri Sultan Hamengku Buwono X
�Sebaik-baik Ilmu adalah berdoa kepada Allah SWT�
LATAR BELAKANG
PUSAKA Inadonesia terhampar luas dari puncah gunung, pusat-pusat kota tua, pedesaan, candi, hingga pulau-pulau dan lautan beserta isinya, termasuk juga seni budaya. Keanekaragaman alam dan budaya yang ada di Nusantara ini merupakan�Pusaka Bangsa� yang dapat memperkuat semangat �Bhinneka Tunggal Ika�. Salah satu sumber informasi kebudayaan daerah yang sangat penting artinya dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional adalah naskah-naskah kuna. Pada dasarnya naskah-naskah lama itu merupakan dokumen budaya yang berisi data dan informasi tentang pikiran, perasaan, dan pengetahuan dari suatu etnik atau kelompak sosial budaya tertentu, sekaligus sebagai unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat yang melahirkan dan mendukung naskah-naskah tersebut.
Karena itu, peninggalan suatu kebudayaan berupa naskah, termasuk dokumen yang paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama. Artefak sebagai peninggalan sejarah berbentuk puing bangunan seperti candi, istana raja, pemandian suci, dan lain sebagainya, bisa memberi kesan mengenai keagungan budaya lama. Namun, peninggalan berbentuk sisa bangunan itu belum sanggup memberi informasi langsung yang mencukupi mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat yang membangunnya. Karena hal itu hanya dapat kita ketahui lebih mendalam melalui peninggalan dalam bentuk naskah.
Pada masanya naskah-naskah itu mempunyai banyak fungsi, antara lain sebagai pegangan kaum bangsawan untuk naskah-naskah yang berisi silsilah, sejarah leluhur, dan sejarah daerah mereka, sebagai alat pendidikan untuk naskah-naskah yang berisi pelajaran agama dan etika, sebagai media menikmati seni budaya seperti naskah-naskah yang berisi cipta sastra atau karya seni, dapat menambah pengetahuan untuk naskah-naskah yang berisi berbagai informasi ilmu pengetahuan, dan sebagai alat keperluan praktis kehidupan sehari-hari untuk naskah-naskah yang berisi primbon dan sistem perhitungan waktu serta doa-doa yang bisa disebut mantra.
Seminar Nasional yang mengetengahkan masalah naskah-naskah kuna Nusantara ini, diharapkan dapat mempublikasikan kandungan isi naskah-naskah Nusantara, khususnya mantra, dalam upaya mengungkapkan kekayaan budaya bangsa. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki warisan kekayaan khazanah manuscript yang tergolong terbesar di dunia (tercatat di Perpustakaan Nasional mendekati angka 10.000 eksemplar 2), yang dituangkan melalui tulisan tangan sejak berabad-abad silam. Lewat tulisan tangan itu, masyarakat mengungkapkan ide-ide relegiusnya mengenai manusia dan semesta alam. Di dalam naskah yang tersebar di seantero Nusantara itu, terdapat teks yang mengandung nilai-nilai kebenaran� kebajikan dan keindahan.
Memang tidak semua komunitas masyarakat Nusantara memiliki dan menyimpan khazanah pernaskahan tersebut. Tidak semua kelompok etnis di Nusantara memiliki peninggalan tradisi tulis berupa naskah. Di Indonesia ada sekitar 500-an suku, etapi yang memiliki naskah tradisional, antara lain suku Jawa, Sunda, Bali, Sasak, Batak, Madura, Rejang Lebong, Aceh, Melayu dan Bugis.
Ada ribuan naskah tradisional yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia yang memerlukan penanganan serius. Lewat Seminar ini diharapkan menjadi bukti usaha memelihara, mengembangkan dan meneruskan warisan budaya bangsa. Naskah tradisional sebagai peninggalan sejarah dan intelektual bersama nilai-nilai ultural dan religius masyarakat, untuk dapat bangkit menjadi bangsa yang cendekia, erbudaya dan arif di hadapan tantangan globalisaisi.
NASKAH KUNA DI DALAM KERATON
BANYAK naskah kuna di dalam Keraton yang disebut kawruh, piwulang atau pitutur-Iuhur dari para leluhur yang dikemas dalam pelbagai naskah yang tersimpan sebagai pus aka. Naskah itu bisa berupa Babad, Serat, Sastra pewayangan, Sastra Suluk dan sejenisnya
Babad umumnya berisi tentang sejarah kerajaan atau tokohnya, Serat berisi tentang ajaran-ajaran atau piwulang atau kisah dalam dunia pewayangan, khususnya kisah Mahabarata dan Ramayana, Suluk berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral, dan lain-lain. Babad bukan sejarah dalam arti historis kronologis, tetapi lebih sebagai alat tutur-luhur yang berisi petuah dan nasihat.
Sastra pengaruh India mendominasi Jawa dalam waktu yang cukup lama, karena baru pada jaman Majapahit muncul pembaharuan sastra Jawa dengan lahirnya Kitab Negarakertagama. Sastra ini mereformasi mitologi India yang sudah menjadi tradisi di lingkungan masyarakat Jawa, yang tokoh-tokohnya kemudian diganti dengan tokoh-tokoh Majapahit secara riil.
Setelah agama Islam masuk, muncullah kitab Suluk Seloka, berisi ajaran serta tuntunan bersatunya makhluk dengan Tuhannya. Berbeda dengan pandangan Jawa-Hindu, seseorang hanya bisa berhubungan dengan Tuhan, kalau dia itu pendeta, raja dan. pujangga. Mereka inilah yang dapat bersatu dengan dewa. Sedangkan kitab-kitab Suluk Seloka mengajarkan seseorang dapat berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara, dan ini berarti suatu penghargaan individu yang sangat tinggi.
Pada jaman Islam ini, muncul naskah-naskah berisi mantra-mantra yang berciri mitologi Islam, seperti Kitab Ambiya Jawi, Serat Anggit Kidung Berdonga, Serat Puji, yang masih tersimpan di Keraton Yogyakarta. Lahir pula Sastra Piwulang, seperti Serat Nitisruti, Serat Nitipraja, dan Serat Sewaka, yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi kepada raja dan cara memerintah.
Bentuk metrum macapat juga muncul dalam karya sastra sejarah seperti Babad Giyanti, Babad Pakepung, Babad Prayut dan sebagainya. Pada jaman itu muncul karya futuristik yang digubah barangkaii kita dapat bercemrin diri akan keberadaan kita sekarang. Tatkala Pangeran Mangkubumi bergerilya di kawasan Kedu dan Kebanaran pernah berujar secara bersahaja, yang dikutip dalam Babad Giyantl: �Satuhune Sri Narapati Mangunahnya Brangti-Wljayanti��. Ucapan itu menunjukkan keprihatinan beliau, bahwa kultur Barat sebagai akses gencamya politik kolonialisme Belanda yang mencekik, akan membuat raja-raja Jawa terkena demam asmara dan lemah-lunglai tanpa daya.
Keadaan ini harus dihadapi dengan �wijayanti�, untuk bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. Maka dianjurkannya: �puwarane sung awerdi, gagat-gagat wijayai��, untuk menjadi pemenang, seorang Raja haruslah meneladani sikap tulus tanpa pamrih, agar bisa menyambut cerahnya hari esok yang laksana biru nirmala.
Ungkapan ini rasanya ada paralelisme sejarah dengan keadaan sekarang, di saat menghadapi hantaman derasnya arus globalisasi mengharuskan kita bersiap diri untuk meningkatkan kualitas dalam semua aspek kehidupan. Selain harus �eling Ian waspada� menghadapi berbagai godaan dan cobaan di zaman Kala-Tida ini, di mana banyak hal yang diliputi oleh keadaan yang serba �tida-tida� �penuh was-was, keraguan clan ketidakpastian.
MANTRA KONSEPSI HINDU
KONON, mantra berasal dati kata �man�, yang berarti pikiran, dan �tra�, yang berarti alat. Jadi �mantra� berarti �alat dari pikiran�. Pengertian mantra menurut Mantra Yoga adalah sebagai berikut :
�Mantras (or mantrams) are words, phrases, or syllables, which are chanted thoughtfully and with growing attention�
["Mantra/mantram adalah kata-kata, ungkapan atau suku-kata yang secara khusuk dilagukan berulang-ulang dengan konsentrasi yang semakin meningkat"].
Mantra adalah suatu idiom atau kata khusus yang mempunyai arti tersendiri. Bahkan, menyimpan kekuatan dahsyat yang terkadang sulit diterima akal sehat. Dan menurut ajaran agama Hindu, mantra adalah kata- kata yang diyakini sebagai wahyu yang diterima oleh manusia pilihan, sebagai alat komunikasi khusus dengan Tuhan atau dewa-dewa yang merupakan manifestasi dari kekuatan-Nya. Karena itu tidaklah mengherankan kalau mantra begitu dikeramatkan, dan tidak boleh sembarang orang mengucapkannya sebelum pemah mewinten (disucikan secara ritual). Selain itu, tidak boleh pula diucapkan di tempat-tempat yang tidak pantas. Demikianlah konsep mantra menurut Hindu.
Dalam bahasa Latin kita mengenal kata alpha dan omega. Alpha berarti awal dan omega, akhir. Dalam agama Hindu kedua kata ini disingkat dengan kata �Om� (awal-akhir), yang berasal dari kata Aum atau semangat Sabda Allah yang menciptakan melestarikan dan mentransformasikan mantra Hindu: �Asato Ma Sat Gamayo�, yakni �Bimbinglah aku dari dunia maya ke dunia Nyata�.
Aum terdiri dari tiga huruf yakni A, U, dan M. A adalah simbol Dewa Brahmana, wujud Tuhan dalam waktu menciptakan alam semesta ini. Konon, pada waktu mengucapkan huruf �A� itu, bentuk mulut mulai terbuka. Kemudian huruf �u� adalah simbol Dewa Wisnu, manifestasi Tuhan dalam waktu memelihara dan melindungi alam. Saat mengucapkan huruf ini, bibir dipanjangkan seperti sikap melindungi bagian dalam dari mulut itu sendiri. Ada pun huruf �M� adalah simbol Dewa Siwa, manifestasi Tuhan yang mengembalikan segalanya ke asalnya. Pada waktu mengucapkan huruf ini, bibir kelihatan terkatup rapat kembali sebagaimana asalnya sebelum terbuka.
Setelah masuknya Islam, pemantraan masih tetap dikenal dalam khasanah mistik kita. Mungkin, hanya istilah-istilah saja yang berbeda, misalnya ajian, jampi dan lain sebagainya, seperti dalam Kitab Mujarobat. Sebenarnya istilah-istilah tersebut tetap mengandung arti sama, yang (dipercaya) menyimpan tuah tertentu. Berkaitan penggunaan kata �Om�, dalam mantra-mantra bemafaskan Islam umumnya lalu diganti dengan �Bismillahirrohmanirrohim�, yang hakikatnya sama.