atheis
1st February 2011, 04:44 PM
http://image.tempointeraktif.com/?id=28773&width=274
TEMPO Interaktif, Jakarta -- Awalnya, Soebagijo terserang hepatitis B pada 1984. Dia terus mencari obatnya. Namun tak ketemu jua. Penyakit hati yang menyerang wiraswasta itu kian parah dan menjalar.
Hingga akhirnya Soebagijo terserang sirosis (pengerasan hati) tingkat lanjut dan hepatoma (kanker hati). "Hidup saya tak normal lagi, banyak keluhan sakit di badan," kata dia dalam temu pasien di RS Puri Indah, Jakarta Barat, pekan lalu. Rasa sakit terutama menyerang di dada dan perut pria yang kini berusia 60 tahun itu.
Menurut dr Tjhang Supardjo (MD Msurg, FCCS), salah satu dokter yang mengoperasinya, sekujur badan Soebagijo warnanya kuning. Perutnya buncit, badannya bengkak, tak bisa jalan dan tak sadar. "Bicaranya ngelantur," kata dia dalam acara yang sama.
Kondisi yang sama terjadi pada Nidjat Ibrahim, 64 tahun. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti itu terserang sirosis tingkat lanjut. "Tapi saya gila kerja dan itu tak terasa," kata dia. Wanita itu sempat tiga kali ke Singapura guna mengganti hati. "Tapi biayanya sampai Rp 4 miliar," kata dia. Mengetahui biaya operasi yang begitu besar, Nidjat balik kanan.
Menurut Tjhang, sebenarnya pasien yang menderita hepatoma bisa disembuhkan dengan operasi potong tumor, membakar jaringan tumor secara lokal, atau dengan kemoterapi. "Namun kondisi keduanya sudah sangat parah," kata dia. Akhirnya Soebagijo dan Nidjat terpaksa mengganti hati melalui operasi transpalasi hati.
Proyek operasi hati hasil kerja sama antara Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Cipto Mangunkusumo, dan The First Affiliated Hospital of Zhejiang University, Cina, ini mulai dirintis sejak November 2009. "Kami libatkan 60 dokter," kata Dr Hermansyur Kartowisastro, Sp.B.(KBD), yang memimpin proyek ini.
Adapun Operasi Soebagijo dilaksanakan pada 14 Desember tahun lalu di RS Puri Indah. Tiga hari kemudian Nidjat juga menjalani operasi. "Kedua operasi berjalan selama 13 jam," kata dia. Di bulan yang sama, dua operasi juga dilaksanakan di RS Cipto Mangunkusumo.
Donor hati dalam operasi ini adalah donor hidup (living donor liver transplant) berasal dari pihak keluarga. "Donornya tidak mau dipublikasikan dan kondisinya sehat," kata Dr Hermansyur.
Walau berasal dari donor hidup, transplantasi hati tidak sama dengan transplantasi organ lain, yang diambil secara keseluruhan. "Tapi hanya sebagian," ujarnya. Organ hati pendonor akan bisa beregenerasi seperti keadaan semula dalam waktu 3-6 bulan.
Tjhang menjelaskan pula, ukuran hati tiap orang berbeda. Tergantung tinggi dan berat badannya. Manusia masih bisa normal dengan 40 persen hatinya. Hati berfungsi untuk mengatur komposisi darah, menyerap zat makanan dan menyaring racun.
Menurut Tjhang, operasi kedua orang pasien ini sukses. "Hati yang didonor dan badan pasien bisa saling menerima, tak ada penolakan," kata dia. Jika tubuh menolak hati yang didonorkan, tubuh akan muncul gejala satu hingga dua pekan usai operasi.
Gangguan yang muncul adalah fungsi hati terganggu, badan lemas, mual, dan muntah. Penolakan ini disebut rejection. Sebaliknya, jika hati menolak tubuh, akan muncul gejala lebih berat. "Pasien tampak seperti sakit berat dan bisa menyebabkan kematian," kata dia. Penolakan ini disebut Graft Versus Host Disease alias GVHD.
Untuk kedua pasien, tak muncul gejala penolakan. "Dua pekan setelah operasi, saya merasa lebih baik," kata Soebagijo. Untuk mengantisipasi penolakan sebelum dioperasi, pasien sudah mengkonsumsi obat anti rejection. Pascaoperasi, pasien tetap harus mengkonsumsi obat seumur hidup.
Walaupun sukses, operasi berbiaya sekitar Rp 1 miliar ini juga menemui kendala. "Tim dokternya banyak," kata Dr Hermansyur. Ada dokter spesialis gizi, psikiater, dan lainnya. Donor hidup juga masih jarang di Indonesia.
I MUHAMMAD NUR ROCHMI
~SUMBER~ (http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2011/01/26/brk,20110126-309000,id.html)
TEMPO Interaktif, Jakarta -- Awalnya, Soebagijo terserang hepatitis B pada 1984. Dia terus mencari obatnya. Namun tak ketemu jua. Penyakit hati yang menyerang wiraswasta itu kian parah dan menjalar.
Hingga akhirnya Soebagijo terserang sirosis (pengerasan hati) tingkat lanjut dan hepatoma (kanker hati). "Hidup saya tak normal lagi, banyak keluhan sakit di badan," kata dia dalam temu pasien di RS Puri Indah, Jakarta Barat, pekan lalu. Rasa sakit terutama menyerang di dada dan perut pria yang kini berusia 60 tahun itu.
Menurut dr Tjhang Supardjo (MD Msurg, FCCS), salah satu dokter yang mengoperasinya, sekujur badan Soebagijo warnanya kuning. Perutnya buncit, badannya bengkak, tak bisa jalan dan tak sadar. "Bicaranya ngelantur," kata dia dalam acara yang sama.
Kondisi yang sama terjadi pada Nidjat Ibrahim, 64 tahun. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti itu terserang sirosis tingkat lanjut. "Tapi saya gila kerja dan itu tak terasa," kata dia. Wanita itu sempat tiga kali ke Singapura guna mengganti hati. "Tapi biayanya sampai Rp 4 miliar," kata dia. Mengetahui biaya operasi yang begitu besar, Nidjat balik kanan.
Menurut Tjhang, sebenarnya pasien yang menderita hepatoma bisa disembuhkan dengan operasi potong tumor, membakar jaringan tumor secara lokal, atau dengan kemoterapi. "Namun kondisi keduanya sudah sangat parah," kata dia. Akhirnya Soebagijo dan Nidjat terpaksa mengganti hati melalui operasi transpalasi hati.
Proyek operasi hati hasil kerja sama antara Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Cipto Mangunkusumo, dan The First Affiliated Hospital of Zhejiang University, Cina, ini mulai dirintis sejak November 2009. "Kami libatkan 60 dokter," kata Dr Hermansyur Kartowisastro, Sp.B.(KBD), yang memimpin proyek ini.
Adapun Operasi Soebagijo dilaksanakan pada 14 Desember tahun lalu di RS Puri Indah. Tiga hari kemudian Nidjat juga menjalani operasi. "Kedua operasi berjalan selama 13 jam," kata dia. Di bulan yang sama, dua operasi juga dilaksanakan di RS Cipto Mangunkusumo.
Donor hati dalam operasi ini adalah donor hidup (living donor liver transplant) berasal dari pihak keluarga. "Donornya tidak mau dipublikasikan dan kondisinya sehat," kata Dr Hermansyur.
Walau berasal dari donor hidup, transplantasi hati tidak sama dengan transplantasi organ lain, yang diambil secara keseluruhan. "Tapi hanya sebagian," ujarnya. Organ hati pendonor akan bisa beregenerasi seperti keadaan semula dalam waktu 3-6 bulan.
Tjhang menjelaskan pula, ukuran hati tiap orang berbeda. Tergantung tinggi dan berat badannya. Manusia masih bisa normal dengan 40 persen hatinya. Hati berfungsi untuk mengatur komposisi darah, menyerap zat makanan dan menyaring racun.
Menurut Tjhang, operasi kedua orang pasien ini sukses. "Hati yang didonor dan badan pasien bisa saling menerima, tak ada penolakan," kata dia. Jika tubuh menolak hati yang didonorkan, tubuh akan muncul gejala satu hingga dua pekan usai operasi.
Gangguan yang muncul adalah fungsi hati terganggu, badan lemas, mual, dan muntah. Penolakan ini disebut rejection. Sebaliknya, jika hati menolak tubuh, akan muncul gejala lebih berat. "Pasien tampak seperti sakit berat dan bisa menyebabkan kematian," kata dia. Penolakan ini disebut Graft Versus Host Disease alias GVHD.
Untuk kedua pasien, tak muncul gejala penolakan. "Dua pekan setelah operasi, saya merasa lebih baik," kata Soebagijo. Untuk mengantisipasi penolakan sebelum dioperasi, pasien sudah mengkonsumsi obat anti rejection. Pascaoperasi, pasien tetap harus mengkonsumsi obat seumur hidup.
Walaupun sukses, operasi berbiaya sekitar Rp 1 miliar ini juga menemui kendala. "Tim dokternya banyak," kata Dr Hermansyur. Ada dokter spesialis gizi, psikiater, dan lainnya. Donor hidup juga masih jarang di Indonesia.
I MUHAMMAD NUR ROCHMI
~SUMBER~ (http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2011/01/26/brk,20110126-309000,id.html)