Nunungngompol
9th June 2012, 09:19 AM
Nitip punya teman nih :D
Peristiwa subuh menyebabkan pergi ke masjid lalu tidur lagi. Sebelum jam delapan bangun lagi dan pergi memandikan diri. Berpakaian, bercermin walaupun aku sangat benci cermin, karena tidak menampakkan wajah asliku. melumasi rambut dengan minyak wangi dan menyemprot minyak rambut keseluruh badan. Udah ganteng dan wangi banget. Tinggal tunggu nih mau di kubur jam berapa. Rencana mau kesekolah mendampingi murid-murid upacara. Tapi mama berkata lain �Ibal, ke pasar sana beli ikan!� oh tidak, haruskah aku kepasar membeli benda-benda mati itu. Aku akan bau amis nanti di sekolah. Ibu harus di taati. Kalau tidak di kutuk menjadi batu.
Di pasar banyak ibu-ibu. Mereka sedang meminta kurang. Padahal begitu banyak kelebihan pada mereka. Mengapa mereka suka meminta kurang? Kelebihan yang pertama adalah. Kelebihan berat badan. Kakak ketiga belas aku bilang. Kelebihan berat badan tandanya istri bahagia. Suami lah yang sengsara kalau istri sakit kataku dalam hati.
Seorang ibu dari tadi memperhatikanku. Aku berusaha menghindari. Dia terus mengikuti. Aku beli tomat. Dia beli tomat. Aku beli mobil. Dia melihat-lihat. Dia. Ibu-ibu berkalung emas. Bergambar Pintoe Aceh. Bercincin emas tebal di jari manisnya. Walaupun jari itu tak manis lagi. Karena selalu menggandeng belanjaan setiap hari. Aku tak mau di ikuti. Aku tidak suka ibu-ibu. Anaknya mau. Lalu aku berdiri di depan sebuah lapak ikan suru (ungkoet suree) mencoba menawar.
Ibu itu menyapaku �Ibai ya?� �Ya, dulu waktu aku di kampong di panggil dengan nama itu� jawabku tanpa melihat. �Masih ingat Aku?� katanya lagi. Aku melihat wajahnya. Mencoba berfikir. Mengingat-ingat. Bibi di kampong bukan. Wawak di Desa bukan. Saudari-saudari bukan. �Ini Uli, cinta pertama kamu Bay� katanya tersenyum. Aku sontak terkejut. Cinta pertama? Tidakkah dia tahu, cinta pertamaku hanya kepada Allah dan rasulnya, lalu pada Ayah bunda. Lalu pada mungkin dia. Karena itu lama sekali. aku mencoba mengingat.
Kembali ke 13 tahun yang lalu. Saat itu aku masih SD. Aku lupa kelas berapa. mungkin antara kelas 5 atau 6. Tapi Aku dan Uli bukan satu sekolah. Dia berasal dari desa Terlarang. Dia mengaji ke desa kami. Seorang gadis berwajah oval, bermata besar, berkulit putih dan berbibir tipis. Hidungnya tidak ada. Baiklah dia Berhidung pesek. Uli adalah gadis pendiam. Tapi kalau lagi ngaji. MasyaAllah! Merdu sekali suaranya. Waktu itu Meureudu masih Pidie. Tapi apa hubungannya.
Mengapa aku cepat sekali jatuh cinta saat itu. Cinta pada pendengaran pertama. Aku ingin sekali bisa baca Al-qur�an seperti dia. Tapi suaraku seperti suara kodok meminta hujan. Cinta kami bersemi di tempat ngaji. Walaupun aku suka mengejar cewek lain. Karena suka mengambil sendalku. Mengejar dalam arti sebenarnya. Cinta yang halal. Tanpa berpegangan tangan. Apa lagi berjalan-jalan malam seperti cinta anak sekarang. Karena malam dulu desa kami belum masuk listrik. Tapi Alhamdulilah Islam sudah masuk.
Cinta kami tidak berjalan mulus. Kalau itu di sebut cinta. Cinta yang tidak sampai kemana-mana. Seperti jodoh yang tak kemana. Suntuk lah dia. Di rumah saja. Tidak pernah jalan-jalan. Atau berpengangan tangan. Karena itu tabu di masyarakat kami dulu. Ini sudah di tulis tadi ya? Seperti lagu peristiwa subuh
�Tabu berbunyi, gemparkan alam sunyi. Berkomandan, suara Azan, mendayu. Memecah sunyi. Kembali ke reff. Tetapi insan. Walaupun ada hanya. Mata yang pelit di pejam lagi.
Gara-gara cinta itu aku harus berkelahi dengan saudaraku sendiri. Abdurrahman. Kami berkelahi 2 kali di dua tempat berbeda. Sekali di ruang ngaji. Di depan Uli dan santri-santri lain. Tapi Uli ikut mengamati dan berharap aku menang.
Perkelahian kedua yang dramatis. Kejadiannya di dekat sumur tua. Hanya santri laki-laki yang hadir di pertarungan antara hidup dan hidup di dekat kuburan angker itu. Pertarungan kali ini aku ada latihan beberapa jurus. Kupelajari dari buku-buku kungfu yang kubeli di pasar. Aku berhasil memukul Abdurrahman di keningnya. Dan keningnya memar. Dia menangis dan mengamuk. Aku jadi kasihan. �Cukup Abdurrahman, cukup, ayo kita pulang� tapi dia terus mengamuk dan mendorongku ke sumur tua.
Aku mencoba bertahan di permukaan cincin sumur tapi tidak bisa. Aku terus terjatuh. Para pemirsa siaran langsung perkelahian kami pun bukannya menolong. Tapi lari ketakutan. Abdurrahman berdiri di mulut cincin sumur dan berkata �Uli itu milikku, suatu saat aku akan mendapatkannya!� kata Abdurrahman sambil menggerak-gerakan tangannya. Kini aku yang menangis. Terjebak disini dan baunya tidak enak. Sepertinya ada bau ayam mati.
�Bang! Jadi beli ikannya? Teriak sang pedagang. �Oh. J- jadi bang!� Aku tersadar dari lamunanku.
Uli masih di situ dan berkata �Sini ku kenalkan sama suamiku.� Aku mengantung ikan suru di gantungan kap motor dan memutar motorku ke tempat parkir mobil di ujung pasar. Kumelihat satu mobil box bergambar satu merek rokok. Di dalamnya seorang pemuda. Pemuda itu keluar dan menyalamiku. Abdurrahman.
Ffishshop. Chile, sometimes in May, 2012 (buleunnyoe di pasai ungkoet Sigli)
By : Riazul (https://www.facebook.com/riazul.pauleta)
</div>
Peristiwa subuh menyebabkan pergi ke masjid lalu tidur lagi. Sebelum jam delapan bangun lagi dan pergi memandikan diri. Berpakaian, bercermin walaupun aku sangat benci cermin, karena tidak menampakkan wajah asliku. melumasi rambut dengan minyak wangi dan menyemprot minyak rambut keseluruh badan. Udah ganteng dan wangi banget. Tinggal tunggu nih mau di kubur jam berapa. Rencana mau kesekolah mendampingi murid-murid upacara. Tapi mama berkata lain �Ibal, ke pasar sana beli ikan!� oh tidak, haruskah aku kepasar membeli benda-benda mati itu. Aku akan bau amis nanti di sekolah. Ibu harus di taati. Kalau tidak di kutuk menjadi batu.
Di pasar banyak ibu-ibu. Mereka sedang meminta kurang. Padahal begitu banyak kelebihan pada mereka. Mengapa mereka suka meminta kurang? Kelebihan yang pertama adalah. Kelebihan berat badan. Kakak ketiga belas aku bilang. Kelebihan berat badan tandanya istri bahagia. Suami lah yang sengsara kalau istri sakit kataku dalam hati.
Seorang ibu dari tadi memperhatikanku. Aku berusaha menghindari. Dia terus mengikuti. Aku beli tomat. Dia beli tomat. Aku beli mobil. Dia melihat-lihat. Dia. Ibu-ibu berkalung emas. Bergambar Pintoe Aceh. Bercincin emas tebal di jari manisnya. Walaupun jari itu tak manis lagi. Karena selalu menggandeng belanjaan setiap hari. Aku tak mau di ikuti. Aku tidak suka ibu-ibu. Anaknya mau. Lalu aku berdiri di depan sebuah lapak ikan suru (ungkoet suree) mencoba menawar.
Ibu itu menyapaku �Ibai ya?� �Ya, dulu waktu aku di kampong di panggil dengan nama itu� jawabku tanpa melihat. �Masih ingat Aku?� katanya lagi. Aku melihat wajahnya. Mencoba berfikir. Mengingat-ingat. Bibi di kampong bukan. Wawak di Desa bukan. Saudari-saudari bukan. �Ini Uli, cinta pertama kamu Bay� katanya tersenyum. Aku sontak terkejut. Cinta pertama? Tidakkah dia tahu, cinta pertamaku hanya kepada Allah dan rasulnya, lalu pada Ayah bunda. Lalu pada mungkin dia. Karena itu lama sekali. aku mencoba mengingat.
Kembali ke 13 tahun yang lalu. Saat itu aku masih SD. Aku lupa kelas berapa. mungkin antara kelas 5 atau 6. Tapi Aku dan Uli bukan satu sekolah. Dia berasal dari desa Terlarang. Dia mengaji ke desa kami. Seorang gadis berwajah oval, bermata besar, berkulit putih dan berbibir tipis. Hidungnya tidak ada. Baiklah dia Berhidung pesek. Uli adalah gadis pendiam. Tapi kalau lagi ngaji. MasyaAllah! Merdu sekali suaranya. Waktu itu Meureudu masih Pidie. Tapi apa hubungannya.
Mengapa aku cepat sekali jatuh cinta saat itu. Cinta pada pendengaran pertama. Aku ingin sekali bisa baca Al-qur�an seperti dia. Tapi suaraku seperti suara kodok meminta hujan. Cinta kami bersemi di tempat ngaji. Walaupun aku suka mengejar cewek lain. Karena suka mengambil sendalku. Mengejar dalam arti sebenarnya. Cinta yang halal. Tanpa berpegangan tangan. Apa lagi berjalan-jalan malam seperti cinta anak sekarang. Karena malam dulu desa kami belum masuk listrik. Tapi Alhamdulilah Islam sudah masuk.
Cinta kami tidak berjalan mulus. Kalau itu di sebut cinta. Cinta yang tidak sampai kemana-mana. Seperti jodoh yang tak kemana. Suntuk lah dia. Di rumah saja. Tidak pernah jalan-jalan. Atau berpengangan tangan. Karena itu tabu di masyarakat kami dulu. Ini sudah di tulis tadi ya? Seperti lagu peristiwa subuh
�Tabu berbunyi, gemparkan alam sunyi. Berkomandan, suara Azan, mendayu. Memecah sunyi. Kembali ke reff. Tetapi insan. Walaupun ada hanya. Mata yang pelit di pejam lagi.
Gara-gara cinta itu aku harus berkelahi dengan saudaraku sendiri. Abdurrahman. Kami berkelahi 2 kali di dua tempat berbeda. Sekali di ruang ngaji. Di depan Uli dan santri-santri lain. Tapi Uli ikut mengamati dan berharap aku menang.
Perkelahian kedua yang dramatis. Kejadiannya di dekat sumur tua. Hanya santri laki-laki yang hadir di pertarungan antara hidup dan hidup di dekat kuburan angker itu. Pertarungan kali ini aku ada latihan beberapa jurus. Kupelajari dari buku-buku kungfu yang kubeli di pasar. Aku berhasil memukul Abdurrahman di keningnya. Dan keningnya memar. Dia menangis dan mengamuk. Aku jadi kasihan. �Cukup Abdurrahman, cukup, ayo kita pulang� tapi dia terus mengamuk dan mendorongku ke sumur tua.
Aku mencoba bertahan di permukaan cincin sumur tapi tidak bisa. Aku terus terjatuh. Para pemirsa siaran langsung perkelahian kami pun bukannya menolong. Tapi lari ketakutan. Abdurrahman berdiri di mulut cincin sumur dan berkata �Uli itu milikku, suatu saat aku akan mendapatkannya!� kata Abdurrahman sambil menggerak-gerakan tangannya. Kini aku yang menangis. Terjebak disini dan baunya tidak enak. Sepertinya ada bau ayam mati.
�Bang! Jadi beli ikannya? Teriak sang pedagang. �Oh. J- jadi bang!� Aku tersadar dari lamunanku.
Uli masih di situ dan berkata �Sini ku kenalkan sama suamiku.� Aku mengantung ikan suru di gantungan kap motor dan memutar motorku ke tempat parkir mobil di ujung pasar. Kumelihat satu mobil box bergambar satu merek rokok. Di dalamnya seorang pemuda. Pemuda itu keluar dan menyalamiku. Abdurrahman.
Ffishshop. Chile, sometimes in May, 2012 (buleunnyoe di pasai ungkoet Sigli)
By : Riazul (https://www.facebook.com/riazul.pauleta)
</div>