alcoholic
22nd December 2010, 09:32 AM
JAKARTA - Pemerintah terus memperluas program remunerasi atau tunjangan berbasis kinerja di sejumlah kementerian/lembaga. Tapi, upaya untuk lebih "menyejahterakan" para aparatur negara itu dinilai tidak berbanding lurus dengan berkurangnya praktek korupsi.
"Korupsi ini ternyata bukan karena rasa lapar atau kebutuhan akibat kecilnya gaji, melainkan keserakahan. Makanya, remunerasi tidak mampu mengurangi korupsi," kata Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan di Restoran Bumbu Desa, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, kemarin (21/12).
Awalnya program remunerasi ini berjalan di Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA), pada 2008. Penghujung 2010 agenda ini dilanjutkan ke Kementerian Koordinator Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Bahkan, baru "baru ini, Polri juga kecipratan program tersebut.
Sejak 2008, program remunerasi di Kemenkeu, BPK, dan MA menyedot anggaran sampai Rp 9,5 triliun. Bahkan, dalam APBN "P 2010, pemerintah kembali mengalokasikan Rp 13,9 triliun.
Menurut Yuna, sepanjang birokrasi belum dibenahi, program remunerasi hanya menjadi beban negara. Prestasi dan dan pelayanan publik, tegas dia, juga tidak semakin membaik. Bahkan, praktek korupsi tetap saja terjadi. "PNS berpangkat rendah sekelas Gayus saja mampu menjadi makelar pajak," sindirnya.
Dia mengatakan fenomena Gayus terjadi karena lingkungan birokrasi yang mendukung. Karena itu, sebelum program remunerasi diberlakukan, para pejabat di kementerian atau lembaga terkait harus terlebih dulu melakukan pembuktian terbalik terhadap harta kekayaannya.
"Minimal selevel eselon 2 dan 1 dibersihkan. Jadi, sekelas dirjen dan direktur "lah. Kalau nggak begitu, virus korupsi ini menular terus ke bawah," katanya. Dalam konteks polri, imbuh Yuna, kecenderungannya sama saja. Apalagi, kinerja Polri selama ini juga mendapat sorotan dengan maraknya praktek markus. "Dan, (uang) remunerasi tidak sebesar yang diterima kalau menjadi markus," sindir Yuna. (pri)
SUMBER : http://www.jpnn.com/read/2010/12/22/80162/Program-Remunerasi-Jadi-Beban-Negara-
"Korupsi ini ternyata bukan karena rasa lapar atau kebutuhan akibat kecilnya gaji, melainkan keserakahan. Makanya, remunerasi tidak mampu mengurangi korupsi," kata Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan di Restoran Bumbu Desa, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, kemarin (21/12).
Awalnya program remunerasi ini berjalan di Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA), pada 2008. Penghujung 2010 agenda ini dilanjutkan ke Kementerian Koordinator Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Bahkan, baru "baru ini, Polri juga kecipratan program tersebut.
Sejak 2008, program remunerasi di Kemenkeu, BPK, dan MA menyedot anggaran sampai Rp 9,5 triliun. Bahkan, dalam APBN "P 2010, pemerintah kembali mengalokasikan Rp 13,9 triliun.
Menurut Yuna, sepanjang birokrasi belum dibenahi, program remunerasi hanya menjadi beban negara. Prestasi dan dan pelayanan publik, tegas dia, juga tidak semakin membaik. Bahkan, praktek korupsi tetap saja terjadi. "PNS berpangkat rendah sekelas Gayus saja mampu menjadi makelar pajak," sindirnya.
Dia mengatakan fenomena Gayus terjadi karena lingkungan birokrasi yang mendukung. Karena itu, sebelum program remunerasi diberlakukan, para pejabat di kementerian atau lembaga terkait harus terlebih dulu melakukan pembuktian terbalik terhadap harta kekayaannya.
"Minimal selevel eselon 2 dan 1 dibersihkan. Jadi, sekelas dirjen dan direktur "lah. Kalau nggak begitu, virus korupsi ini menular terus ke bawah," katanya. Dalam konteks polri, imbuh Yuna, kecenderungannya sama saja. Apalagi, kinerja Polri selama ini juga mendapat sorotan dengan maraknya praktek markus. "Dan, (uang) remunerasi tidak sebesar yang diterima kalau menjadi markus," sindir Yuna. (pri)
SUMBER : http://www.jpnn.com/read/2010/12/22/80162/Program-Remunerasi-Jadi-Beban-Negara-