lumpiabasah
27th May 2012, 11:35 PM
Konflik persepakbolaan Nasional semakin mendekati babak akhir, seiring dengan akan berakhirnya masa tugas team task force AFC. Masing-masing pihak telah mengeluarkan jurus andalannya. Dari kubu PSSI sendiri, Djohar Arifin telah menegaskan bahwa tim task force AFC hanya mempermasalahkan dualisme kompetisi, bukan dualisme kepengurusan. Sebaliknya, dari kubu KPSI beranggapan bahwa yang dipermasalahkan ialah dualisme kepengurusan, bukan dualisme kompetisi saja.
Sebenarnya konflik yang serupa tapi tak sama pernah terjadi di federasi sepakbola Filipina. Pada tahun 2010, Federasi sepakbola Filipina mempunyai dua kepengurusan, yaitu Jose Mari Martinez sebagai pengurus lama yang digulingkan, dan Mariano Araneta sebagai pengurus baru yang menggulingkan. Jose Maria Maritinez terguling disebabkan terjadi penyimpangan dana dan pemalsuan dokumen. Ketika itu FIFA masih mempercayai pengurus lama, Jose Mari Martinez, sebelum kemudian berubah arah dukungan kepada Mariano Araneta selaku pengurus baru. Peralihan dukungan FIFA ini setelah FIFA memanggil kedua belah pihak dan membekukan sementara kepengurusan pengurus lama.
Kasus di atas dapat dinilai sama dari beberapa faktor, diantaranya terpecahnya kepengurusan. Tetapi, dibandingkan serupanya, kasus di atas lebih banyak memilki perbedaan, seperti; dukungan pemerintah yang lebih condong kepada Mariano Araneta, sementara di kasus Indonesia, dukungan pemerintah justru diperoleh oleh kubu Djohar. Belum lagi mayoritas masyarakat bola Filipina yang cenderung medukung pengurus baru dibanding pengurus lama yang dicurai menyelewengkan dana. Sementara di kasus Indonesia, publik pecinta bola terbelah menjadi dua kubu.
Mungkin kasus Filipina di atas lebih banyak kemiripannya dengan kasus Nurdin Halid beberapa waktu silam, dibandingkan dengan kasus Djohar saat ini. Tetapi tidak bisa dinafikan bahwa ketika terjadi kasus seperti ini, maka bola sepenuhnya kembali di tangan FIFA, selaku pemegang otoritas tertinggi dalam sepakbola. Apabila nanti FIFA mengesahkan salah satu pihak yang bertikai, hendaknya semua pihak harus legowo menerima keputusan FIFA. Tak ada lagi alasan bagi kita untuk bertikai kembali dengan masalah statuta, enam tim gratisan, bahkan dualisme kompetisi. Dan bila ada salah satu pihak yang masih �ngeyel� melawan otoritas FIFA, maka kita wajib mengenyahkan pihak tersebut. Karena jelas merekalah yang selama ini memancing di kolam yang hitam!.
Dengan mencermati berbagai kasus yang telah terjadi, dan juga menimbang pendapat berbagai pakar, kecil kemungkinan FIFA akan merubah dukungannya terhadap kubu Djohar. Berikut komentar dari dua pengamat sepakbola yang cukup kompeten dalam menyikapi hasil KLB Ancol yang selama ini diakui sebagai legitimasi kubu LNM di mata AFC dan FIFA:
- Rayana Djakasurya; seperti dikutip dari Republika online tertanggal 24-Desember 2011: � KLB merupakan agenda FIFA, jadi tidak bisa diselenggarakan seenaknya. Apalagi jika yang mengusulkan adalah pihak-pihak yang membelot dari kepengurusan PSSI yang sah.� Rayana merujuk kepada para anggota komite eksekutif PSSI yang menghimpun sejumlah Pengurus provinsi PSSI untuk menyelenggarakan KLB. �Mereka menghimpun sejumlah pengurus di daerah dengan cara yang aneh untuk menggulingkan ketua PSSI yang sekarang,� kata wartawan yang lama tinggal di Italia tersebut.
Menurut Rayana, Ketua Umum PSSI Djohar Arifin merupakan ketua yang sah karena sudah diakui baik oleh AFC maupun FIFA. Apa yang dilakukan Johar juga telah sesuai amanat FIFA karena ia berusaha mengembalikan sepakbola ke trek yang sebenarnya, yakni di luar lingkaran politik.
- Budiarto Shambazy seperti dikutip dari Republika online tertanggal 4-April 2012: �Pengamat sepak bola, Budiarto Shambazy mengatakan bahwa PSSI yang dibentuk Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) hanya sebatas maneuver untuk mengacaukan sepak bola Indonesia.
Menurutnya, dari AFC hingga FIFA tidak pernah mengakui Kongres PSSI yang digelar di Ancol. Sekalipun �berkoar� sebagai satu-satunya PSSI yang sah, publik bisa mengetahui bahwa La Nyala Matalitti cs hanyalah berdiri di sebuah organisasi illegal.
�Mereka boleh ngaku-ngaku. Tapi faktanya kita harus jujur bahwa mereka bukan siapa-siapa,� ujar Bodiarto. Lebih lanjut dia pun memandang langkah KPSI sejak awal sudah salah. Dengan membentuk sebuah lembaga baru di luar federasi, maka FIFA sudah mengetahui bahwa tindakan KPSI illegal. Karena itu, Budiarto menilai PSSI versi KPSI hanya mencari sensasi, tanpa memikirkan nasib sepak bola Indonesia. �Pada akhirnya kita mengetahui bahwa serangan-serangan yang selama ini mereka lakukan terhadap PSSI Djohar Arifin hanya berisi retorika kosong,� pungkasnya.
Belum lagi ditambah dengan fakta bahwa Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah kualifikasi grup E Piala AFC U-22 yang digelar di Riau, 23 Juni hingga 3 Juli 2012. Hampir kecil kemungkinan FIFA akan mengalihkan dukungan, mengingat demikian sempitnya waktu persiapan event tersebut.
Dan undangan FIFA kepada Djohar untuk menghadiri acara kongrest tahunan FIFA di Budapest makin meneguhkan legitimasi FIFA terhadap kepempinan Djohar. Dan membuktikan bahwa FIFA selama ini tidak mengenal kelompok-kelompok di luar PSSI yang dipimpin oleh Djohar Arifin. Juga disertai fakta bahwa tim task force AFC hanya memanggil pihak PT LI selaku pengurus liga tandingan, dan bukan kepada pihak KPSI federasi tandingan dari PSSI.
Akhirnya, terlepas dari benar tidaknya pengakuan kedua belah pihak mengenai pemanggilan yang dilakukan oleh tim task force AFC, kita selaku masyarakat pecinta sepakbola hanya bisa berharap agar dualisme kompetisi ini segera menemui titik temu yang disepakati oleh kedua belah pihak. Ke depan PSSI harus lebih giat untuk terus membangun semangat rekonsiliasi terhadap pihak-pihak yang merasa telah tersakiti. Bila tidak, maka bom waktu bernama KPSI akan senantiasa mengancam untuk kembali diledakkan.
Dan bola kini berada di tangan FIFA!.
</div>
Sebenarnya konflik yang serupa tapi tak sama pernah terjadi di federasi sepakbola Filipina. Pada tahun 2010, Federasi sepakbola Filipina mempunyai dua kepengurusan, yaitu Jose Mari Martinez sebagai pengurus lama yang digulingkan, dan Mariano Araneta sebagai pengurus baru yang menggulingkan. Jose Maria Maritinez terguling disebabkan terjadi penyimpangan dana dan pemalsuan dokumen. Ketika itu FIFA masih mempercayai pengurus lama, Jose Mari Martinez, sebelum kemudian berubah arah dukungan kepada Mariano Araneta selaku pengurus baru. Peralihan dukungan FIFA ini setelah FIFA memanggil kedua belah pihak dan membekukan sementara kepengurusan pengurus lama.
Kasus di atas dapat dinilai sama dari beberapa faktor, diantaranya terpecahnya kepengurusan. Tetapi, dibandingkan serupanya, kasus di atas lebih banyak memilki perbedaan, seperti; dukungan pemerintah yang lebih condong kepada Mariano Araneta, sementara di kasus Indonesia, dukungan pemerintah justru diperoleh oleh kubu Djohar. Belum lagi mayoritas masyarakat bola Filipina yang cenderung medukung pengurus baru dibanding pengurus lama yang dicurai menyelewengkan dana. Sementara di kasus Indonesia, publik pecinta bola terbelah menjadi dua kubu.
Mungkin kasus Filipina di atas lebih banyak kemiripannya dengan kasus Nurdin Halid beberapa waktu silam, dibandingkan dengan kasus Djohar saat ini. Tetapi tidak bisa dinafikan bahwa ketika terjadi kasus seperti ini, maka bola sepenuhnya kembali di tangan FIFA, selaku pemegang otoritas tertinggi dalam sepakbola. Apabila nanti FIFA mengesahkan salah satu pihak yang bertikai, hendaknya semua pihak harus legowo menerima keputusan FIFA. Tak ada lagi alasan bagi kita untuk bertikai kembali dengan masalah statuta, enam tim gratisan, bahkan dualisme kompetisi. Dan bila ada salah satu pihak yang masih �ngeyel� melawan otoritas FIFA, maka kita wajib mengenyahkan pihak tersebut. Karena jelas merekalah yang selama ini memancing di kolam yang hitam!.
Dengan mencermati berbagai kasus yang telah terjadi, dan juga menimbang pendapat berbagai pakar, kecil kemungkinan FIFA akan merubah dukungannya terhadap kubu Djohar. Berikut komentar dari dua pengamat sepakbola yang cukup kompeten dalam menyikapi hasil KLB Ancol yang selama ini diakui sebagai legitimasi kubu LNM di mata AFC dan FIFA:
- Rayana Djakasurya; seperti dikutip dari Republika online tertanggal 24-Desember 2011: � KLB merupakan agenda FIFA, jadi tidak bisa diselenggarakan seenaknya. Apalagi jika yang mengusulkan adalah pihak-pihak yang membelot dari kepengurusan PSSI yang sah.� Rayana merujuk kepada para anggota komite eksekutif PSSI yang menghimpun sejumlah Pengurus provinsi PSSI untuk menyelenggarakan KLB. �Mereka menghimpun sejumlah pengurus di daerah dengan cara yang aneh untuk menggulingkan ketua PSSI yang sekarang,� kata wartawan yang lama tinggal di Italia tersebut.
Menurut Rayana, Ketua Umum PSSI Djohar Arifin merupakan ketua yang sah karena sudah diakui baik oleh AFC maupun FIFA. Apa yang dilakukan Johar juga telah sesuai amanat FIFA karena ia berusaha mengembalikan sepakbola ke trek yang sebenarnya, yakni di luar lingkaran politik.
- Budiarto Shambazy seperti dikutip dari Republika online tertanggal 4-April 2012: �Pengamat sepak bola, Budiarto Shambazy mengatakan bahwa PSSI yang dibentuk Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) hanya sebatas maneuver untuk mengacaukan sepak bola Indonesia.
Menurutnya, dari AFC hingga FIFA tidak pernah mengakui Kongres PSSI yang digelar di Ancol. Sekalipun �berkoar� sebagai satu-satunya PSSI yang sah, publik bisa mengetahui bahwa La Nyala Matalitti cs hanyalah berdiri di sebuah organisasi illegal.
�Mereka boleh ngaku-ngaku. Tapi faktanya kita harus jujur bahwa mereka bukan siapa-siapa,� ujar Bodiarto. Lebih lanjut dia pun memandang langkah KPSI sejak awal sudah salah. Dengan membentuk sebuah lembaga baru di luar federasi, maka FIFA sudah mengetahui bahwa tindakan KPSI illegal. Karena itu, Budiarto menilai PSSI versi KPSI hanya mencari sensasi, tanpa memikirkan nasib sepak bola Indonesia. �Pada akhirnya kita mengetahui bahwa serangan-serangan yang selama ini mereka lakukan terhadap PSSI Djohar Arifin hanya berisi retorika kosong,� pungkasnya.
Belum lagi ditambah dengan fakta bahwa Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah kualifikasi grup E Piala AFC U-22 yang digelar di Riau, 23 Juni hingga 3 Juli 2012. Hampir kecil kemungkinan FIFA akan mengalihkan dukungan, mengingat demikian sempitnya waktu persiapan event tersebut.
Dan undangan FIFA kepada Djohar untuk menghadiri acara kongrest tahunan FIFA di Budapest makin meneguhkan legitimasi FIFA terhadap kepempinan Djohar. Dan membuktikan bahwa FIFA selama ini tidak mengenal kelompok-kelompok di luar PSSI yang dipimpin oleh Djohar Arifin. Juga disertai fakta bahwa tim task force AFC hanya memanggil pihak PT LI selaku pengurus liga tandingan, dan bukan kepada pihak KPSI federasi tandingan dari PSSI.
Akhirnya, terlepas dari benar tidaknya pengakuan kedua belah pihak mengenai pemanggilan yang dilakukan oleh tim task force AFC, kita selaku masyarakat pecinta sepakbola hanya bisa berharap agar dualisme kompetisi ini segera menemui titik temu yang disepakati oleh kedua belah pihak. Ke depan PSSI harus lebih giat untuk terus membangun semangat rekonsiliasi terhadap pihak-pihak yang merasa telah tersakiti. Bila tidak, maka bom waktu bernama KPSI akan senantiasa mengancam untuk kembali diledakkan.
Dan bola kini berada di tangan FIFA!.
</div>