Log in

View Full Version : 16 Gubernur DKI, Hanya 2 Asli Jakarta


ps3black
27th May 2012, 07:21 PM
Fauzi Bowo yang masih bernafsu ingin mempertahankan kursi Gubernur DKI mendiskreditkan mayoritas lawan tandingnya dengan isu kesukuan. Kata beliau , �Pilih yang kenal Jakarta, bukan yang tidak kenal Jakarta dan sudah teruji. Mari kita lanjutkan yang sudah ada. Kami berdua tidak ikhlas Jakarta diacak-acak orang lain, mari kembali menata Jakarta dengan orang Jakarta.�



Fauzi, anda memang kenal Jakarta. Anda memang sudah teruji. Ibarat ujian kenaikan kelas, anda gagal. Jakarta memang sudah anda acak-acak, jadi tidak perlu dibuat lebih acak-acakan. Menata kembali Jakarta jangan diserahkan kepada orang yang sudah mengacak-acaknya. Itu gila namanya.



Fauzi Bowo masih ngotot dengan isu kesukuan. Katanya lagi , �Nanti kalau Jakarta acak-acakan dia bisa saja minta berhenti, pulang ke kampungnya.�



Baiklah Tuan Fauzi, mari kita sedikit belajar sejarah. Anda dulu mungkin kerap membolos ketika jam pelajaran sejarah.



Dari 16 gubernur DKI Jakarta sejak 1945 sampai sekarang, hanya dua orang kelahiran Jakarta, yaitu anda sendiri dan Soerjadi Soedirdja (1992-1997). Jadi most of the time Jakarta dipimpin oleh orang luar Jakarta dan bukan berdarah Betawi.



Kebanyakan mereka datang dari Jawa, ada yang dari Sumatera seperti Daan Jahja (1948-1950), bahkan ada yang datang dari tempat sejauh Manado seperti Henk Ngantung (1964-1965).



Bahkan Ali Sadikin yang dianggap sebagai gubernur tersukses dalam sejarah Jakarta adalah putra asli kota tahu Sumedang, Jawa Barat.



Tidak pernah kedengaran mereka minta berhenti dan pulang ke kampungnya ketika Jakarta acak-acakan.



Fauzi sendiri sebenarnya bukan 100% orang Betawi, suku yang dianggap sebagai pewaris Jakarta. Ayahnya Jawa, hanya ibunya yang Betawi. Kalau memang ke-Betawian jadi syarat penting untuk naik ke kursi gubernur, seharusnya Mandra, Malih, dan Bolot lebih layak jadi gubernur ketimbang Fauzi Bowo.



Fauzi itu sebenarnya orang yang sangat rasional. Dia adalah doktor bidang tata kota lulusan Jerman. Otaknya sebenarnya jalan. Tetapi ketika libido mempertahankan kekuasaan sudah sampai ke puncak ubun-ubun, maka pikirannya jadi irasional. Tak disangka seorang Doktor Fauzi Bowo sanggup mengangkat isu etnisitas untuk mendiskreditkan lawan politiknya.



Tapi tidak perlu heran.



Sering saya bilang ke orang-orang terdekat saya: tidak ada hubungannya antara kemampuan akademis dan kemampuan logika. Orang bisa saja meraih gelar akademik setinggi-tingginya tetapi tanpa nalar. Toh gelar akademik bisa dibeli.



Contoh paling jelas adalah Fauzi Bowo yang doktornya saja di bidang tata kota, tapi kotanya sendiri tidak tertata. Ada disparitas antara kemampuan akademis dan nalar beliau.



Sedangkan Jokowi yang dipandang sebagai rival terberat Fauzi Bowo, saya melihat dia tidak memiliki kemampuan akademis sebaik Fauzi. Jokowi �hanya� lulusan Fakultas Perhutanan UGM. Tetapi nalarnya jauh lebih baik dibanding Fauzi Bowo. Sebagai walikota Solo, dia berhasil menata kota Solo tanpa harus menyandang gelar akademik sebagai ahli tata kota.



Ngomong-ngomong, salah satu gubernur DKI, Syamsurijal (1951-1953) adalah mantan walikota Bandung dan Solo sebelum ditunjuk memerintah Jakarta. Akankah sejarah terulang dalam pilkada DKI kali ini? Saya harap demikian, jika saja rakyat Jakarta tidak termakan isu lapuk soal kesukuan seperti dipropagandakan oleh Herr Doktor Fauzi Bowo .



http://birokrasi.kompasiana.com/2012...-asli-jakarta/ (http://birokrasi.kompasiana.com/2012/03/22/16-gubernur-dki-hanya-2-asli-jakarta/)

</div>