bakwanmalang
27th May 2012, 06:58 PM
AWAS !!! BAHAYA ANTIBIOTIK MENGINTAI ANDA
Bagi orang tua yang pernah membawa anaknya ke dokter, entah itu karena demam, batuk, pilek, atau sakit lainnya, sangat mungkin diantara obat yang selalu diresepkan adalah antibiotik. Dengan antibiotik inilah diharapkan sakit yang disebabkan karena infeksi bakteri bisa sembuh. Namun, terlalu sering mengonsumsi antibiotik juga bisa berdampak buruk.
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh bakteri yang dapat menghambat atau membunuh bakteri jenis lain.
Kita perlu cermat dan berhati-hati dalam menggunakan antibiotik. Jangan sampai kita setiap sakit selalu mengonsumsi antibiotik untuk mendapat kesembuhan. Antibiotik memang bisa memberi manfaat, namun bila pemakaiannya sembrono akan memunculkan efek yang buruk.
Tidak semua penyakit tepat diobati dengan antibiotik. Terlalu sering mengonsumsi antibiotik bisa menyebabkan bakteri menjadi kebal. Keadaan ini menyebabkan biaya pengobatan semakin mahal karena harus dipakai antibiotik yang lebih mutakhir dengan efek samping yang lebih besar dan waktu pengobatan yang lebih lama.
Tidak Rasional
Dewasa ini muncul di banyak kalangan kecemasan dengan semakin banyaknya pemakaian antibiotik yang tidak rasional. Ketidakrasionalan itu beragam, mulai dari menggunakan antibiotik dengan jenis tidak tepat, dosis tidak tepat, frekuensi keliru, hingga waktu konsumsi terlalu lama atau cepat.
Departemen Kesehatan RI melalui Direktur Jendral Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawati mengakui hal tersebut. Menurutnya, Depkes akan membuat aturan yang lebih ketat tentang pemberian antibiotik. Pedoman ini dikeluarkan karena banyak indikasi penyimpangan-penyimpangan penggunaan antibiotik.
Sri Indrawati mengatakan, sebenarnya sudah ada prosedur dalam pemberian antibiotik, tapi karena sarana dan fasilitas yang terbatas di rumah sakit, maka dokter langsung memberikan antibiotik kepada pasien dengan mengira-ngira.
Anak-anak merupakan populasi yang paling sering terpapar antibiotik tidak rasional, misalnya saat demam, radang tenggorokan, dan diare akut. Padahal, ketiga kondisi itu umumnya ringan, bisa sembuh sendiri, dan tidak membutuhkan antibiotik jika penyebabnya adalah virus.
Hasil Studi yang Mengejutkan
Sebuah studi yang dilakukan terhadap dokter umum dan apotek di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menguatkan hal tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Prof dr Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD, dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan, sebanyak 93 persen pasien anak yang menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) berupa batuk, pilek dan radang tenggorokan memperoleh resep antibiotik (Jurnal Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. 29, tahun 1997).
Dalam studi lain, ditemukan jumlah 92 hingga 98 persen penderita ISPA non pneumonia, baik anak-anak maupun dewasa, mendapat setidaknya satu macam antibiotik setiap kali berobat ke puskesmas. Kondisi ini juga terjadi pada praktik dokter swasta, dimana persentasenya mencapai 82 hingga 89 persen.
Padahal, menurut kriteria World Health Organization (WHO), persentase pasien ISPA yang benar-benar perlu memperoleh antibiotik hanya berkisar antara 7 sampai 14 persen. Sebagian besar kasus batuk, pilek, demam ringan, serta radang tenggorokan umumnya tidak perlu obat, karena umumnya itu disebabkan virus yang akan membaik dengan sendirinya seiring meningkatnya daya tahan tubuh. Kalau pun perlu obat, hanya berupa obat-obatan simtomatik (untuk mengencerkan dan memudahkan pengeluaran dahak, menurunkan panas, melonggarkan saluran pernapasan, dsb) yang bertujuan meringankan gejala.
Studi lainnya menunjukkan sekitar 40 hingga 62 persen antibiotik digunakan untuk penyakit-penyakit yang tidak memerlukannya.
Data dari Direktur Jendral Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan mengungkapkan, hingga 40% anak-anak yang menderita diare akut diberi antibiotik padahal mereka tidak memerlukannya. Begitu pula sebanyak 50% penderita pneumonia juga tidak tepat pemberian antibiotiknya.
Lingkaran Setan
Penggunaan antibiotik yang sembrono bisa memunculkan lingkaran setan. Cara kerja antibiotik yang tidak membedakan bakteri baik dan bakteri jahat � sehingga semuanya dibasmi � bisa menimulkan efek buruk bagi tubuh. Yaitu dengan munculnya ketidakseimbangan mikroorganisme yang baik dan yang buruk, yang pada akhirnya bisa mengganggu fungsi organ tubuh.
Maka sering dijumpai sejumlah keluhan usia minum antibiotik berupa sembelit, asam lambung meningkat, diare, lemas tanpa sebab yang jelas, keputihan, dan kekebalan tubuh yang menurun. Dalam kondisi yang demikian, tubuh menjadi lebih rentan kena alergi dan penyakit lain.
Jangan sekali-kali menggunakan antiiotik tanpa dosis yang jelas dan benar. Pemakaian antibiotik yang semau sendiri dan tidak dihabiskan akan membuat kuman menjadi familiar dengan jenis antibiotik tersebut dan dengan mudah akan mengecoh dengan cara berubah bentuk (bermutasi) menjadi jenis yang lebih kuat dan tangguh (kebal). Jadi, bukannya membuatnya mati, antibiotik justru menjadi semacam �vaksinasi� bagi kuman-kuman tadi.
Akibatnya, antibiotik yang diminum jadi tidak mempan dan diperlukan antibiotik lain yang lebih kuat. Lingkaran setan ini membuat penyakit semakin sulit dibasmi dan tubuh lebih gampang sakit-sakitan.
Munculnya Bakteri SUPER!
Jadi, menggunakan antibiotik secara sembrono sama saja dengan mengembang-biakkan bakteri super, yang kelak keganasannya tak akan mampu kita lawan lagi.
Dr. Sharad Adhikary, seorang perwakilan dari WHO, mengatakan, masalah kekebalan terhadap antibiotik bukanlah masalah baru, tapi makin lama makin mengkhawatirkan dan membahayakan. Di sejumlah negara kini telah bermunculan bakteri resistan atau superbug. Ia mengatakan, untuk mengatasi masalah ini mungkin kita bisa menerapkan pengobatan ke masa sebelum antibiotik ditemukan. �Kita dapat kembali ke era sebelum antibiotik ditemukan,� tandasnya.
Dari berbagai Sumber
</div>
Bagi orang tua yang pernah membawa anaknya ke dokter, entah itu karena demam, batuk, pilek, atau sakit lainnya, sangat mungkin diantara obat yang selalu diresepkan adalah antibiotik. Dengan antibiotik inilah diharapkan sakit yang disebabkan karena infeksi bakteri bisa sembuh. Namun, terlalu sering mengonsumsi antibiotik juga bisa berdampak buruk.
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh bakteri yang dapat menghambat atau membunuh bakteri jenis lain.
Kita perlu cermat dan berhati-hati dalam menggunakan antibiotik. Jangan sampai kita setiap sakit selalu mengonsumsi antibiotik untuk mendapat kesembuhan. Antibiotik memang bisa memberi manfaat, namun bila pemakaiannya sembrono akan memunculkan efek yang buruk.
Tidak semua penyakit tepat diobati dengan antibiotik. Terlalu sering mengonsumsi antibiotik bisa menyebabkan bakteri menjadi kebal. Keadaan ini menyebabkan biaya pengobatan semakin mahal karena harus dipakai antibiotik yang lebih mutakhir dengan efek samping yang lebih besar dan waktu pengobatan yang lebih lama.
Tidak Rasional
Dewasa ini muncul di banyak kalangan kecemasan dengan semakin banyaknya pemakaian antibiotik yang tidak rasional. Ketidakrasionalan itu beragam, mulai dari menggunakan antibiotik dengan jenis tidak tepat, dosis tidak tepat, frekuensi keliru, hingga waktu konsumsi terlalu lama atau cepat.
Departemen Kesehatan RI melalui Direktur Jendral Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawati mengakui hal tersebut. Menurutnya, Depkes akan membuat aturan yang lebih ketat tentang pemberian antibiotik. Pedoman ini dikeluarkan karena banyak indikasi penyimpangan-penyimpangan penggunaan antibiotik.
Sri Indrawati mengatakan, sebenarnya sudah ada prosedur dalam pemberian antibiotik, tapi karena sarana dan fasilitas yang terbatas di rumah sakit, maka dokter langsung memberikan antibiotik kepada pasien dengan mengira-ngira.
Anak-anak merupakan populasi yang paling sering terpapar antibiotik tidak rasional, misalnya saat demam, radang tenggorokan, dan diare akut. Padahal, ketiga kondisi itu umumnya ringan, bisa sembuh sendiri, dan tidak membutuhkan antibiotik jika penyebabnya adalah virus.
Hasil Studi yang Mengejutkan
Sebuah studi yang dilakukan terhadap dokter umum dan apotek di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menguatkan hal tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Prof dr Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD, dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan, sebanyak 93 persen pasien anak yang menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) berupa batuk, pilek dan radang tenggorokan memperoleh resep antibiotik (Jurnal Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. 29, tahun 1997).
Dalam studi lain, ditemukan jumlah 92 hingga 98 persen penderita ISPA non pneumonia, baik anak-anak maupun dewasa, mendapat setidaknya satu macam antibiotik setiap kali berobat ke puskesmas. Kondisi ini juga terjadi pada praktik dokter swasta, dimana persentasenya mencapai 82 hingga 89 persen.
Padahal, menurut kriteria World Health Organization (WHO), persentase pasien ISPA yang benar-benar perlu memperoleh antibiotik hanya berkisar antara 7 sampai 14 persen. Sebagian besar kasus batuk, pilek, demam ringan, serta radang tenggorokan umumnya tidak perlu obat, karena umumnya itu disebabkan virus yang akan membaik dengan sendirinya seiring meningkatnya daya tahan tubuh. Kalau pun perlu obat, hanya berupa obat-obatan simtomatik (untuk mengencerkan dan memudahkan pengeluaran dahak, menurunkan panas, melonggarkan saluran pernapasan, dsb) yang bertujuan meringankan gejala.
Studi lainnya menunjukkan sekitar 40 hingga 62 persen antibiotik digunakan untuk penyakit-penyakit yang tidak memerlukannya.
Data dari Direktur Jendral Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan mengungkapkan, hingga 40% anak-anak yang menderita diare akut diberi antibiotik padahal mereka tidak memerlukannya. Begitu pula sebanyak 50% penderita pneumonia juga tidak tepat pemberian antibiotiknya.
Lingkaran Setan
Penggunaan antibiotik yang sembrono bisa memunculkan lingkaran setan. Cara kerja antibiotik yang tidak membedakan bakteri baik dan bakteri jahat � sehingga semuanya dibasmi � bisa menimulkan efek buruk bagi tubuh. Yaitu dengan munculnya ketidakseimbangan mikroorganisme yang baik dan yang buruk, yang pada akhirnya bisa mengganggu fungsi organ tubuh.
Maka sering dijumpai sejumlah keluhan usia minum antibiotik berupa sembelit, asam lambung meningkat, diare, lemas tanpa sebab yang jelas, keputihan, dan kekebalan tubuh yang menurun. Dalam kondisi yang demikian, tubuh menjadi lebih rentan kena alergi dan penyakit lain.
Jangan sekali-kali menggunakan antiiotik tanpa dosis yang jelas dan benar. Pemakaian antibiotik yang semau sendiri dan tidak dihabiskan akan membuat kuman menjadi familiar dengan jenis antibiotik tersebut dan dengan mudah akan mengecoh dengan cara berubah bentuk (bermutasi) menjadi jenis yang lebih kuat dan tangguh (kebal). Jadi, bukannya membuatnya mati, antibiotik justru menjadi semacam �vaksinasi� bagi kuman-kuman tadi.
Akibatnya, antibiotik yang diminum jadi tidak mempan dan diperlukan antibiotik lain yang lebih kuat. Lingkaran setan ini membuat penyakit semakin sulit dibasmi dan tubuh lebih gampang sakit-sakitan.
Munculnya Bakteri SUPER!
Jadi, menggunakan antibiotik secara sembrono sama saja dengan mengembang-biakkan bakteri super, yang kelak keganasannya tak akan mampu kita lawan lagi.
Dr. Sharad Adhikary, seorang perwakilan dari WHO, mengatakan, masalah kekebalan terhadap antibiotik bukanlah masalah baru, tapi makin lama makin mengkhawatirkan dan membahayakan. Di sejumlah negara kini telah bermunculan bakteri resistan atau superbug. Ia mengatakan, untuk mengatasi masalah ini mungkin kita bisa menerapkan pengobatan ke masa sebelum antibiotik ditemukan. �Kita dapat kembali ke era sebelum antibiotik ditemukan,� tandasnya.
Dari berbagai Sumber
</div>