bostempe
27th May 2012, 06:07 PM
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/aipeogqn.jpg
Sore itu terasa begitu indah ketika kaki baru saja menginjakkan kaki di sebuah stasiun tua di Ambarawa--sekitar 40 km sebelah selatan Kota Semarang, Jawa Tengah, dua pekan lalu. Ada panorama elok di depan mata. Kumpulan lokomotif tua di pajang di sana.
Ya...ya...ya, sore itu, saya dan sejumlah teman, di antaranya berasal dari Jepang, Malaysia, Thailand dan Filipina tengah bertandang ke stasiun Ambarawa, Jawa Tengah.
Tujuannya? Jelas! Kami ingin mencicipi bagaimana rasanya menikmati kereta tempo doeloe, yang kini masih bisa bergerak lincah.
Berlomba-lomba kami memenuhi dua gerbong yang telah tersedia di sana. Maklumlah, kami merasa tak mau berlama-lama untuk segera menaiki kereta uap buatan tahun 1902 itu.
Ada aroma lain terasa ketika kami memasuki gerbong-gerbong itu. Wusssss, pikiran lalu melesat jauh ke suasana zaman baheula. Ya, betapa sore itu, saya merasa telah dibawa ke zaman yang belum saya temui.
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/aqdjjerj.jpg
Tampak di depan mata bangunan tua yang masih memperlihatkan keperkasaannya, lengkap dengan ornamen-ornamen yang nyaris sama ketika bangunan itu dibangun 126 tahun lalu. Itulah gedung bekas peninggalan kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij atau Perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda kala itu.
Suasana yang sama kami jumpai saat memasuki gerbong itu. Tak ada yang berubah. Kursi-kursi jati tempat duduk para penumpang masih terawat dengan baik. "Hanya saja lantainya yang diganti karpet, dulu masih pakai kayu," kata Darwanto (51), salah satu teknisi kereta uap itu.
Arah mata saya tiba-tiba tertuju pada sebuah teks berbahasa Inggris yang dipajang di dinding dekat pintu gerbong kereta uap itu. Bunyinya: "It takes only one hour, but the memory of your railway tour will last forever" ("Perjalanan hanya satu jam, namun kenangan mengikuti tur dengan kereta wisata akan selalu abadi.")
"Hmm, sebuah tawaran yang menggiurkan," pikir saya.
Pritt...pritt... suara peluit itu memecahkan kekaguman saya akan kereta yang hendak saya tumpangi. Akhirnya, tiba juga waktunya. Kereta api tua berumur 103 tahun itu siap meluncur untuk membawa kami pada sebuah kenangan akan keindahan tempo dulu.
Dari Ambarawa awal perjalanan itu dimulai. Kekaguman kembali menyeruak di antara hembusan angin dari lubang-lubang jendela yang tanpa kaca itu. "Si Ular Besi" sudah mulai bergerak dengan kecepatan tak lebih dari 30 km/jam. Meski usianya tergolong uzur, toh kereta dengan lokomotif bernomor B2503 itu, masih mampu melaju bagai ular yang siap meliuk-liuk lincah.
Bukan isapan jempol memang, tulisan yang dipajang di dinding gerbong kereta itu.Sensasi sudah ditebar ketika menempuh jalur Ambarawa-Jambu. Suguhan panorama terhampar begitu indah. "Elok benar panoramanya," gumam Daniel Phoon (34), rekan saya yang asal Malaysia.
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/7rmoebvp.jpg
Di stasiun Jambu, kereta uap yang memboyong rombongan Yamaha Jupiter MX ASEAN Touring--selain dari Malaysia dan Indonesia, di antaranya berasal dari Thailand, Filipina, dan Jepang--sempat berhenti. "Lokomotif harus segera dipindahkan ke belakang," kata Darwanto.
Maklum saja, jalur yang harus ditempuh dari Jambu menuju Bedono terbilang menanjak. Inilah yang membuat lokomotif beralih fungsi. "Karena jalurnya menanjak, lokomotif harus dipindah ke belakang agar bisa mendorong gerbong," ujarnya.
Setelah berhenti sejenak, kereta pun kembali melaju. Tentunya, masih dengan pemandangan yang begitu elok. Kali ini kereta membelah bukit dan melewati lembah di kelilingi pohon-pohon yang rindang.
Tak terasa hampir satu jam perjalanan, akhirnya kereta tiba di Bedono. Perjalanan yang menempuh jarak sepuluh kilometer dari Ambarawa itu, terasa begitu singkat. Kereta tua itu diistirahatkan sejenak, hanya sekedar untuk "minum".
Oh ya, karena digerakkan oleh tenaga uap, tak heran kereta yang dioperasikan pertama kalinya di Indonesia pada tahun 1904 itu, setidaknya membutuhkan 3000 liter air untuk setiap kali beroperasi. Sedangkan untuk pembakarannya, dibutuhkan 2000 kg kayu jati. Yang unik lainnya dalam pengoperasian kereta ini, yakni dibutuhkan waktu dua jam pemanasan sebelum memulai perjalanannya.
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/nhaq4jat.jpg
Usai mengisi air, kereta pun mengatarkan kami kembali ke Ambarawa. Lokomotif kembali pada posisinya semula, seperti saat menempuh jalur Ambarawa-Jambu. Nah, kali ini, dua petugas harus ekstra keras mengatur rem, mengingat jalur yang turun sedikit curam. Tapi, Anda tak perlu takut, toh jalur ini dirancang cukup unik dengan jalur yang bergerigi. Cukup duduk dan menikmati saja perjalanan yang menyenangkan itu.
Kami pun tiba kembali di Ambarawa dengan hati yang riang. Dan, lokomotif tua itu pun akan tetap setiap kembali menyambut tamunya esok hari.
Lokomotif tua itu memang tampak garang. Kulitnya dicat hitam legam. Tongkrongannya begitu gagah. Ada kekaguman padanya. Betapa tidak, darinya sejarah panjang telah ditoreh. Setidaknya sebagai transportasi yang hampir satu dekade bertugas menjelajahi Pulau Jawa. Mengantar orang-orang dari satu tempat ke tempat lain.
Adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda L.A.J.W. Baron Sloet van Beele Broke, yang memulai memperkenalkan kereta api di Tanah Air. Pada tanggal 17 Juni 1864, ia membuka jalur pertama kereta api, dengan rute perjalanan antara Semarang dan Tanggung.
Namun, acungan jempol jangan lupa juga diberikan kepada mantan Gubernur Jawa Tengah, Soepardjo Rustam, yang pada tahun 1976, menjadikan Stasiun Ambarawa--yang dikenal sebagai Stasiun Willem I itu--sebagai Museum Kereta Api.
Berkat usahanya, setidaknya kini tersimpan 24 lokomotif uap klasik. Lokomotif paling tua buatan tahun 1891 bernomor SS 300 (C 1140). Lokomotif buatan Jerman itu memiliki panjang 8,575 meter dan lebar 2,45 meter. Sementara yang paling �gres� buatan tahun 1928 bernomor SS 1600 (CC 5029). Lokomotif buatan Schweizerische Lokomotiv und Maschinenfabrik Winterthur, Swiss dan Werkspoor, Belanda itu dijuluki Bergkoningin alias Ratu Pegunungan, lantaran mampu melewati jalur pegunungan dengan tikungan-tikungan tajam.
Ada juga lokomotif kebanggaan perusahaan kereta api milik pemerintah Kolonial Belanda, Staatsspoorwegen (SS), C28. Loko buatan Henschel, Jerman, ini tercatat sebagai loko tercepat di seluruh dunia untuk ukuran rel sempit (1.067 mm) pada era 1920-an. Kecepatannya pada masa itu bisa mencapai 120 kilometer per jam.
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/4ua6e6f3.jpg
Kini hanya beberapa lokomotif saja yang masih bisa dinikmati. Satu di antaranya, yang kami pakai sore itu. Setidaknya, dua kali setiap minggunya selalu saja ada kelompok orang yang berniat mencicipi kereta uap itu. Untuk bisa merasakan bagaimana rasanya mengunakan kereta api tersebut, pihak PT. KAI mematok harga Rp2 jutaan dengan kapasitas 80-100 orang untuk sekali perjalanan.
Si Ular besi pun siap meliukan tubuhnya..tut..tut..tuttttttttt
sumber: Eko Hendrawan Sofyan
</div>
Sore itu terasa begitu indah ketika kaki baru saja menginjakkan kaki di sebuah stasiun tua di Ambarawa--sekitar 40 km sebelah selatan Kota Semarang, Jawa Tengah, dua pekan lalu. Ada panorama elok di depan mata. Kumpulan lokomotif tua di pajang di sana.
Ya...ya...ya, sore itu, saya dan sejumlah teman, di antaranya berasal dari Jepang, Malaysia, Thailand dan Filipina tengah bertandang ke stasiun Ambarawa, Jawa Tengah.
Tujuannya? Jelas! Kami ingin mencicipi bagaimana rasanya menikmati kereta tempo doeloe, yang kini masih bisa bergerak lincah.
Berlomba-lomba kami memenuhi dua gerbong yang telah tersedia di sana. Maklumlah, kami merasa tak mau berlama-lama untuk segera menaiki kereta uap buatan tahun 1902 itu.
Ada aroma lain terasa ketika kami memasuki gerbong-gerbong itu. Wusssss, pikiran lalu melesat jauh ke suasana zaman baheula. Ya, betapa sore itu, saya merasa telah dibawa ke zaman yang belum saya temui.
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/aqdjjerj.jpg
Tampak di depan mata bangunan tua yang masih memperlihatkan keperkasaannya, lengkap dengan ornamen-ornamen yang nyaris sama ketika bangunan itu dibangun 126 tahun lalu. Itulah gedung bekas peninggalan kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij atau Perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda kala itu.
Suasana yang sama kami jumpai saat memasuki gerbong itu. Tak ada yang berubah. Kursi-kursi jati tempat duduk para penumpang masih terawat dengan baik. "Hanya saja lantainya yang diganti karpet, dulu masih pakai kayu," kata Darwanto (51), salah satu teknisi kereta uap itu.
Arah mata saya tiba-tiba tertuju pada sebuah teks berbahasa Inggris yang dipajang di dinding dekat pintu gerbong kereta uap itu. Bunyinya: "It takes only one hour, but the memory of your railway tour will last forever" ("Perjalanan hanya satu jam, namun kenangan mengikuti tur dengan kereta wisata akan selalu abadi.")
"Hmm, sebuah tawaran yang menggiurkan," pikir saya.
Pritt...pritt... suara peluit itu memecahkan kekaguman saya akan kereta yang hendak saya tumpangi. Akhirnya, tiba juga waktunya. Kereta api tua berumur 103 tahun itu siap meluncur untuk membawa kami pada sebuah kenangan akan keindahan tempo dulu.
Dari Ambarawa awal perjalanan itu dimulai. Kekaguman kembali menyeruak di antara hembusan angin dari lubang-lubang jendela yang tanpa kaca itu. "Si Ular Besi" sudah mulai bergerak dengan kecepatan tak lebih dari 30 km/jam. Meski usianya tergolong uzur, toh kereta dengan lokomotif bernomor B2503 itu, masih mampu melaju bagai ular yang siap meliuk-liuk lincah.
Bukan isapan jempol memang, tulisan yang dipajang di dinding gerbong kereta itu.Sensasi sudah ditebar ketika menempuh jalur Ambarawa-Jambu. Suguhan panorama terhampar begitu indah. "Elok benar panoramanya," gumam Daniel Phoon (34), rekan saya yang asal Malaysia.
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/7rmoebvp.jpg
Di stasiun Jambu, kereta uap yang memboyong rombongan Yamaha Jupiter MX ASEAN Touring--selain dari Malaysia dan Indonesia, di antaranya berasal dari Thailand, Filipina, dan Jepang--sempat berhenti. "Lokomotif harus segera dipindahkan ke belakang," kata Darwanto.
Maklum saja, jalur yang harus ditempuh dari Jambu menuju Bedono terbilang menanjak. Inilah yang membuat lokomotif beralih fungsi. "Karena jalurnya menanjak, lokomotif harus dipindah ke belakang agar bisa mendorong gerbong," ujarnya.
Setelah berhenti sejenak, kereta pun kembali melaju. Tentunya, masih dengan pemandangan yang begitu elok. Kali ini kereta membelah bukit dan melewati lembah di kelilingi pohon-pohon yang rindang.
Tak terasa hampir satu jam perjalanan, akhirnya kereta tiba di Bedono. Perjalanan yang menempuh jarak sepuluh kilometer dari Ambarawa itu, terasa begitu singkat. Kereta tua itu diistirahatkan sejenak, hanya sekedar untuk "minum".
Oh ya, karena digerakkan oleh tenaga uap, tak heran kereta yang dioperasikan pertama kalinya di Indonesia pada tahun 1904 itu, setidaknya membutuhkan 3000 liter air untuk setiap kali beroperasi. Sedangkan untuk pembakarannya, dibutuhkan 2000 kg kayu jati. Yang unik lainnya dalam pengoperasian kereta ini, yakni dibutuhkan waktu dua jam pemanasan sebelum memulai perjalanannya.
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/nhaq4jat.jpg
Usai mengisi air, kereta pun mengatarkan kami kembali ke Ambarawa. Lokomotif kembali pada posisinya semula, seperti saat menempuh jalur Ambarawa-Jambu. Nah, kali ini, dua petugas harus ekstra keras mengatur rem, mengingat jalur yang turun sedikit curam. Tapi, Anda tak perlu takut, toh jalur ini dirancang cukup unik dengan jalur yang bergerigi. Cukup duduk dan menikmati saja perjalanan yang menyenangkan itu.
Kami pun tiba kembali di Ambarawa dengan hati yang riang. Dan, lokomotif tua itu pun akan tetap setiap kembali menyambut tamunya esok hari.
Lokomotif tua itu memang tampak garang. Kulitnya dicat hitam legam. Tongkrongannya begitu gagah. Ada kekaguman padanya. Betapa tidak, darinya sejarah panjang telah ditoreh. Setidaknya sebagai transportasi yang hampir satu dekade bertugas menjelajahi Pulau Jawa. Mengantar orang-orang dari satu tempat ke tempat lain.
Adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda L.A.J.W. Baron Sloet van Beele Broke, yang memulai memperkenalkan kereta api di Tanah Air. Pada tanggal 17 Juni 1864, ia membuka jalur pertama kereta api, dengan rute perjalanan antara Semarang dan Tanggung.
Namun, acungan jempol jangan lupa juga diberikan kepada mantan Gubernur Jawa Tengah, Soepardjo Rustam, yang pada tahun 1976, menjadikan Stasiun Ambarawa--yang dikenal sebagai Stasiun Willem I itu--sebagai Museum Kereta Api.
Berkat usahanya, setidaknya kini tersimpan 24 lokomotif uap klasik. Lokomotif paling tua buatan tahun 1891 bernomor SS 300 (C 1140). Lokomotif buatan Jerman itu memiliki panjang 8,575 meter dan lebar 2,45 meter. Sementara yang paling �gres� buatan tahun 1928 bernomor SS 1600 (CC 5029). Lokomotif buatan Schweizerische Lokomotiv und Maschinenfabrik Winterthur, Swiss dan Werkspoor, Belanda itu dijuluki Bergkoningin alias Ratu Pegunungan, lantaran mampu melewati jalur pegunungan dengan tikungan-tikungan tajam.
Ada juga lokomotif kebanggaan perusahaan kereta api milik pemerintah Kolonial Belanda, Staatsspoorwegen (SS), C28. Loko buatan Henschel, Jerman, ini tercatat sebagai loko tercepat di seluruh dunia untuk ukuran rel sempit (1.067 mm) pada era 1920-an. Kecepatannya pada masa itu bisa mencapai 120 kilometer per jam.
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/4ua6e6f3.jpg
Kini hanya beberapa lokomotif saja yang masih bisa dinikmati. Satu di antaranya, yang kami pakai sore itu. Setidaknya, dua kali setiap minggunya selalu saja ada kelompok orang yang berniat mencicipi kereta uap itu. Untuk bisa merasakan bagaimana rasanya mengunakan kereta api tersebut, pihak PT. KAI mematok harga Rp2 jutaan dengan kapasitas 80-100 orang untuk sekali perjalanan.
Si Ular besi pun siap meliukan tubuhnya..tut..tut..tuttttttttt
sumber: Eko Hendrawan Sofyan
</div>